Saturday, October 17, 2015

kidung puisi

Kenanga, melati perlahan mewangi
di bawah langit pucat tanpa gemintang
rindu dan sepi menyatu kidungkan puisi

Hajikan Saudaraku Ya Rabb

Tergugu gerak tubuhnya bergetar seiring isak tangis kemudian tenang dan tetes bening itu berkecipak di telapak tangannya. Perlahan terdengar suara dari bibirnya "Ya Allah, bukakanlah hidayahMu agar Saudaraku benar-benar memahami ibadah yang telah ia kerjakan, limpahkan kelapangan hatinya untuk mengamalkan laku muslim setelah pulang dari rumahMu, hijrahkan perilakunya agar benar-benar haji mabrur yang engkau berikan, amiiin"
kulirik ia, ternyata bukan aku saja yang memperhatikan, tetangga kiri shaffnya pun menatap tajam. kami kembali menunduk tatkala ia membuka matanya. Perlahan ia bangkit dan tertatih melangkah, sesaat kemudian terduduk. aku pun duduk di sebelahnya karena kebetulan sepatuku bersebelahan dengan miliknya.
kesulitan ia kenakan sandal lusuhnya karena getar kakinya belum juga berhenti.

"Maaf, mari saya bantu"
"alhamdulillah , terimakasih Nak, subhanallah masih ada yang mau bantu Bapak ternyata"

Aku hanya tersenyum, setelah usai aku pun duduk di sebelahnya kembali, lama ia terdiam memandang kosong ke halaman masjid, sesekali ia pandang langit.

"kenapa Bapak masih di sini? maaf " kucoba membuka pembicaraan
"iya Nak, aku meraya nyaman di sini, begitu damai hati ini"

Masih juga belum bisa kupahami maksud kalimat-kalimatnya , bila kuteringat doanya tadi, serasa ada benang merah yang perlahan menjadikan otakku berpikir.

"iya Bapak"kujawab sekenanya.

aku lihat jam di hapeku, sudah hampir pukul 13.00 Wib, sementara matahari kian menyengat. aku berpikir untuk sejenak meluruskan kaki karena memang sangat pegal dan lelah.

"Assalammualaikum" terdengar merdu mengalun tiba-tiba
"waalikum salam " bersamaan kami pun menjawab
"Subhanallah Abah, kenapa abah masih di sini, ditunggu untuk makan siang bersama, Abah jangan dengarkan kata-kata Bang Arman, mungkin sedang lelah sehingga khilaf membentak abah."

Terhenyak aku mendengar percakapan mereka.

"Astaghfirullah jadi kalian masih menunggu aku, seandainya suamimu seperti kamu Mun. aku masih saja belum percaya. Mekkah tidak mengubah perangainya, madinah tidak melapangkan hatinya, lantunan lantunan suci selama di sana tidak juga mengubah bahasa bicaranya, tawaddu' tidak terlihat di wajah suamimu, astaghfirullah sabar kamu ya Mun"

"iya, Abah, mungkin sudah takdir Mumun. Bang Arman juga sudah pergi tadi, entah ke mana, cuma berpamitan mau beli rokok"
"Abah mungkin lebih baik pulang saja Mun, kalian makanlah dulu Ummi kamu tentunya juga sudah memasakkan abah di rumah."

"Mari Nak saya duluan ya, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh"
"waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh"

Mereka pun memandangku tersenyum dan melangkah meninggalkan kami beberapa jamaah yang kebetulan masih beristirahat di serambi masjid.
Aku lihat beberapa jamaah saling bertatapan dan berkomentar, aku pun melangkah tinggalkan mereka, masih kudengar kata Abah tadi, hijrah, hijrah, begitu mudah diucapkan dan begitu berat dilakukan.


Kaliwungu
1 Muharram 1437 H

Malam kemarau

Debu tingkahi senja
Sayatkan kembali luka pada kemarau
Rintik tak jua sapa dinginkan hati
Sisa purnama membuncah
Menjemput malam pada peraduan semu

Ilusi Semu

Bias bening di ujung daun
bergelantung menitis pada bibir pagi
Kupinang sunyi, kutulis tentang sepoi ninabobokan ilalang
Pagi hadirkan ilusi semu, semaikan
berlembar-lembar impian, merenda dedaun, memeras sengatan pagi
Mengasingkan diri sembunyi di dingin pagi pada selembar puisi