Friday, January 31, 2014

Senyum itu

purnama berarak dalam gerhana mendung
berkendara kupu-kupu
melayang diantara pelangi
pendar itu serupa selendang
sambut permadani hati
tergelar dalam jagat pesona
pualam menyimpul
di sudut pipimu

Monday, January 27, 2014

Luruh dalam Keringat Fatamorgana

Rintik satu satu masih saja menderas
Kau hadir tibatiba sapa mesra di telingaku
Bersama angin membadai
senja membiru dalam pelukmu

Kau bilang rindu aku pun merindu
Menyatu telapak kita hangatkan suasana
Perlahan kabut senja menelan kita dalam syahdu
Bercumbu dalam keremangan waktu

Mendesah mengulum detik memasung detak
Berpacu hitungan serupa almanak
bisu merangkak perlahan
Luruh dalam keringat fatamorgana
Genggammu merentas
Menyublim di balik tirai jendela
Gerimis itu masih saja menderas

Kau pun pergi tibatiba
Tinggalkan kerinduan bersama
Gerimis senja

26012014

Sunday, January 26, 2014

Di Stasiun Kereta Api, Aku.......

Di stasiun kereta api,
entah apa yang kucari hingga tiap jam kusinggahi
sepanjang pantura
rel itu tak peduli jerit dan resah penumpang
kursi hijau mengejek tajam
selimut hijau merayu tanpa henti
kaca jendela sketsakan cerita lalu
kulihat di luar kereta
bercengkerama anak kucing dua bersaudara
ayam bercinta di tengah kerumunan penjaja tiban
kebul asap hempaskan bau sedap menyusup
berkolaborasi bau wc yang menyengat

Di stasiun kereta api,
bermacam ekspresi lukiskan luka
luka ingkari waktu
ingkari asa yang tertunda
berlari menuju toilet, berlari mencari sepincuk gudangan
berlari demi sepotong gorengan
berlari berlari buang duka hadirkan senyum getir kegalauan

Di stasiun kereta api,
aku hanya diam
serupa luka menganga semakin menganga tanpa sapa
banyak sudah kado rindu kusiapkan tapi selalu saja duka kau suguhkan
ingin rebah sejenak tuk hadirkan pesta
kembali belati runcing menyayat ingatan



25012014

Luka Merindu

luka itu
luka itu tak mudah disembuhkan
serupa rindu ini
tak jua pula dihentikan

Saturday, January 25, 2014

Bisikkan Langit

kudengar bisikkan langit

"lihatlah bulan saja berenang di awan"
"lihat pula matahari bermain kecipak air
bersama kilat dan guntur di sana"

aku hanya diam memandang ke atas
dan air itu pun berlompatan ke bumi

Sunday, January 19, 2014

Monolog Luka Seorang Pecinta



Panggung Gelap perlahan lampu meremang sesosok laki-laki menunduk membelakangi penonton mengangkat kedua tangan berteriak panjang menggumamkan luka yang tertahan

“aaaaaaarrrgghhhhhhhhh!!!!!!!!!!!!”

Perlahan bangkit terseok dan begitu tampak derita bathin dari pakaiannya, memegang kertas kumal catatan lalu yang pernah ditulisnya.

“Tolong, berpuralah mencintaiku, Eflina. sampai kau lupa bahwa kamu sedang berpura-pura. tolong.
setidaknya, kau mencintaiku bukan lantaran tidak ada yang mau mencintaiku, Eflina. Setidaknya.”

Suara Ghaib tiba-tiba menyapa pemuda tersebut saling bersahutan dalam dialog duka

“Sebegitunya derita yg kau mesti gendong, hingga butuh berapa nama lagi kah Agar sembuhkan lukamu?. Mengapa tak kau panggil maria magdalena pariyem, dewi sukesi, sri sumarah, atau lasi dihadapanmu”

“aku tak ingin kesakitan ini berkesudah mas. Sungguh”

“Ah,bagaimana kau bisa menerima cinta dalam kepura-puraan?meskipun nanti dia lupa bahwa sedang berpura-pura, wahai perempuan yg tlah buatmu luka, betapa cinta tlah sebegitu hebat utkmu, sepertinya kau lebih mencintai luka-luka itu”

“Setidaknya masih ada cinta untukku”

“aku mencintai luka itu sendiri. Sungguh”

“Itu bukan cinta hai pemuda gagah, Kau cintai luka dengan menghadirkn luka baru dari perempuan-perempuan barumu yang. Entah siapa itu”

“cinta itu apa?”
“bisa jadi.., bisakah itu kusebut pelarian?”

“aku tlah lihat kedahsyatan luka itu dari bicaramu”

“Sangat luka, yangg pasti,yang aku tahu tak ada kepura-puraan dalam cinta”

“ada”

“Ah,berarti aku yang tak mengerti cinta seperti itu”

“cobalah melihat cinta dari angle yang berbeda”
“Tlah aku lakoni kepura-puraan itu selama hampir seribu hari, tapi tak jua kulupa ini tak seharusnya terjadi.Aku lebih memilih terluka yang benar2 luka daripada luka karena pura-pura cinta “

“bukankah lebih indah jika mencintai dalam diam meski itu menimbulkan luka daripada mencintai dalam kepura-puraan disertai luka?”

“,,luka tetaplah luka, darimana pun muasalnya. ah!”

Pemuda itu menatap tajam penonton dan menyobek-nyobek kertas kumal itu
Music menanjak dan lampu perlahan redup

Penulis antologi "Tifa Nusantara"
(Dimaz, Anna Mariyana, Nurhadi)

Hujan Masih Menderas di Kotaku

Tiada embun pagi ini
Yang ada basah, gigil daun
Gemeretak
Shimponikan lengang
mempurba
Rintik masih saja menderas

Geliat itu tak kuasa bergerak
beku
kaku
Dekap hati , berharap mimpi kan bersambung

Celoteh prenjak, koong perkutut,
Cericit empriit, membisu...... takzim pada kehendak alam

Kabut Luka

Tanpa semburat senja merayap
Aku lewati pekat dalam sepi
Rintik satusatu kian tajam
setubuhi malam gigil terdekap

Lenguh jaman teriakkan duka
Singkap kabut bertirai luka

Friday, January 17, 2014

Lek Sarto

"eddiaaaaaan, wedhus, oplosan, rak mikir babar blassss, jarene nyalon caleg partai besar tapi yo gendeng tenan, wis rak duwe pranatan, lha mbo yo sampeyan mrene tak paku bathukmu, ben nempel nang wit sisan, lha wong uwit isih ditandur satahun hurung ono wis di tempeli poster lha rak nglentuk, nek wit iki mati, oo....... jajal tak pateni sisan awakkmu, rak peduli calon caleg preketek...."

Nang pun berlari tergopoh-gopoh melawati kerumunan penduduk menonton lek Sarto yang marah-marah pagi ini.


"Mak, lek sarto kumat mak, lek Sarto kalap Mak"
"ada apa to nang, ambil nafas dulu..tenang baru cerita"
"lek Sarto Mak, esmosi Mak"
"Kenapa kok marah?"
"pohon kelengkeng yang baru itu mak, ada poster caleng eh caleg Mak, di paku, skrang pohonnya mau roboh gak kuat nahan Mak"
"wealahhh ono wae, yo mesti ngamuk, lha wong iku wit kelengkeng bibitnya beli dari jauh, wis jan-jan ono ono wae, lha pohon gak tahu apa-apa dipaku, ya bener Sarto marah Nang"
"tapi Mak, lek sarto bawa Gaman mak, lek sarto bawa pisau besar Mak"
"wee la dalah bakal rame ki Nang... "


Mak pun masuk kembali ke kamar Nang hanya mematung diam.


"lho-lho Mak, kok bawa Tali, untuk apa Mak"
"ngewangi Lekmu sarto mesakke dewekkan, iki tali nggo naleni caleg mau arep tak bondo nang wet pelem ben di rubung semut angkrang ben kapok"



glosarium :
ediaaan : gila
gaman   : senjata
gendang : gila
kumat   : kambuh
ngamuk : marah
sampeyan : kamu
tandur   : tanam


Thursday, January 16, 2014

Serupa itu

bening embun itu
menitis di pucuk daun
bergelayut menetes pada kalbu

Wednesday, January 15, 2014

Tertawa dan Menarilah

Teruslah menari
bila itu bahagiakan hatimu
aku kan tulis saja sajak-sajak ceritamu
tak perlu lagi sepanggung
karena cerita itu tak bersambung
klimaks t'lah kau endingkan
degresi kucoba buat tapi slalu saja kau akhiri duka
skenariomu terlalu hebat untuk lakon ini
akan kupentaskan esok suatu saat
agar kau tahu
ada bagian cerita yang kau paksa hilangkan
terus, teruslah menari dengan tawamu

Tuesday, January 14, 2014

Pementasan Siang itu

Teruskan tarian dan tawamu
kan tergelar koreo bahagiamu
pun hatimu menangis
ah mana mungkin,
kutahu jenis tarianmu itu
aku tak mau monolog palsumu
merusak tarian kemenanganmu
menarilah terus, dan terus menari
semakin banyak penonton bergumam
"ahhh tokoh siapa lagi yang dia ajak menari itu? kok bukan kamu?"
"dia bebas memilih tokoh mana pun yang ia sukai, asal pas dengan
cerita yang ia inginkan"
kau pun menari dan tertawa siang itu
"Shinta Gugat" itulah lakon yang kau pentaskan,
kau langgar sendiri pakem yang pernah kau ucap
sementara dewa dewa memandang tanpa kata
hanya jalak dan gagak hitam berkaok
seiring rentetan pertanyaan penonton

aku hanya bergumam tak sedikit pun kau tahu aku ada di sana
kecrek, kenong, gong menggema menutup
pementasan siang itu

lakon apalagi yang kan kau mainkan esok
biarlah penonton pahami cerita tarianmu
berharap tak lagi ada penonton bertanya tentang isi tarianmu
kar'na kaulah yang menulisnya,
bukan naskah yang pernah kita pentaskan dulu

Sunday, January 12, 2014

Dalam Istirah di Kursi Panjang, Aku......


Bersandar istirah di kursi panjang
berkelana aku ke kota gudeg
bertamu di rumah raden sentono
ah aku bertemu sosok perempuan desa
sapa ramah maria magdalena pariyem
ya gadis gunungkidul itu
memijat aku sepanjang tidurku

kurasakan pijitan itu kian berbeda
kubuka mata ahh ternyata sumarah t'lah gantikan pariyem
ya sri sumarah, perempuan dengan kebaya ketat
janda seorang guru yang kini hidup dengan cucunya
"Tuan tidur saja lagi biar kuselesaikan tugasku" ucapnya

sejenak aku tlah jauh melayang
"tuan pernah mendengar sastra jendra hayuningrat pangruatingdiyu?"
bergetar aku mendengar pertanyaan itu, perlahan kubuka mata
sosok putri sukesi tlah bersimpuh ingin tahu tentang makna kalimat itu.
tak dapat kuungkap aku hanya takut tak dapat mengudarnya ahh aku pun kembali pejamkan mata

tak kusangka aku tlah dijalan menuju arah jakarta
hingga perempatan akhir kudengar gedorgedor di bak belakang
ahh ternyata lasi minta turun, aku tak tahu kapan gadis itu naik
kiranya ia masuk ke bak truk saat aku bertemu sukesi di warung tegal tadi

terhenyak tibatiba aku melihat sosok raksasa menggendong putri cantik melesat melanggar lampu merah
"tolong sampaikan Rama suamiku, aku di bawa seorang koruptor bilang padanya janganlah mencari Shinta, tapi pesankan untuk ke kantor KPK saja, pasti bertemu di sana...."

pusing tibatiba terasa bagai Srintil di akhir cerita
mematung tanpa kata diam tanpa fokus kemana mata memandang
terjatuh dari kursi panjang saat istirah aku

Saturday, January 11, 2014

Ranum Senja di Pipimu

riuh tawamu, tertahan dalam katub bibirmu
sungging lesung pipi itu kian buatku luruh
tajam kutatap indah bola matamu kau pun berkedip
lentik benar bulu matamu itu



merah ranum pipimu pun seolah tertampar pandangku
serupa mawar kutarik rembulan dan kutahan di atas kepalamu
betapa kau tersipu bersandar manja pandang senja merayap

Do'a

Melangit doa menyibak tipis kabut di remang malam
berkendara kunang-kunang kugendong kamu
bersenandung sholawat mengetuk pintuNya

Elegi Luka hati

embun berjuang di ujung daun tak ingin terjatuh
serupa itu pula aku kepadamu
tapi mengapa kau biarkan embun itu menetes
tidak lagi perlahan tapi terhempas begitu keras

Thursday, January 9, 2014

Pada Subuh Pagi Ini

Gigil daun getarkan jagat pagi
suara itu bersahutan dari langgar satu
bangunkan mushola hingga masjid pun terjaga
rapal tereja menghembus perlahan
melangit menyusup di sela mendung berarak

beku peluk erat
kaku
bisu
tanpa kedip nafas mengalun
tiada mendengar
purbakan subuh dikampungku

Sunday, January 5, 2014

Gumam Pasung Rinduku

Kurasakan apa yang mendesak ingin hati kecil ungkap
merayap perlahan di ujung tenggorokan
menggantung pada pangkal lidah
tertatih huruf, suku kata, kata
hingga frase memberontak. tapi,
bibir enggan bersuara

ah kau t'lah buat otakku syok
kau t'lah buat semuanya beku
kaku, purba dalam senja
hanya gumam kembali memfakta
pandangi bayangmu
setubuhi wangimu
dan satu nafas panjang pasung rinduku

Wednesday, January 1, 2014

Tidak ada terompet dan kembang api untuk Nang 3

"kemana saja kamu sesore ini baru pulang Nang"
"aku tidak kemana-mana kok Mak, tadi temani dedek tiup terompet"
"jadi kamu beli terompet?, cukup uangmu?"
"iya Mak, bahkan tidak jadi beli Mak!"
"trus kamu ambil dan mencuri terompet itu?"
"tidak Mak, aku tidak mencuri...., aku tahu mak mencuri itu dosa,

Mak kan yang ajarkan, walau miskin kita punya harga diri, 
lebih baik tidak punya daripada hasil mencuri.."
"trus kok kamu tidak beli?"
"begini mak tadi waktu mau beli ada Ibu-ibu dompetnya jatuh

 terus Nang kejar dan kembalikan, Nang mau di kasih uang, 
tapi Nang tidak mau terus nang lari ke tukang terompet takut pergi,
 kasihan dedek kalau tidak dapat terompet. waktu Nang mau bayar
 ternyata Ibu-ibu tadi ngikuti Nang mak, dan Ibu-ibu tadi yang bayar Mak, 
padahal Nang sudah menolak mak, tapi ibu itu memaksa sama tukang terompetnya"
"syukurlah nang Mak senang mendengarnya, sudah sana mandi dulu"
"Oh ya Mak, ini uang Nang Mak, alhamdulillah Mak, 

bisa untuk makan malam ini ya Mak, kan mak tadi tidak cari kayu di pantai, 
jadi pakai uang Nang saja ya Mak"

Tidak ada terompet dan kembang api untuk Nang 2

"Mak, apakah Mak masih punya uang siang ini?"
"Nang, kamu tahu kan Bapakmu tak pernah pulang apalagi kirim uang, 

sementara hasil jual kayu yang kemarin mak cari, 
sudah buat beli makanmu tadi siang, Nang"
"boleh tidak Mak, tabungan Nang di bawah dipan nang ambil"
"untuk apa si ? mengapa kamu begitu ingin uang saat ini"
"itu Mak, dedek tetangga sebelah mengamuk minta terompet, 

aku kasihan Mak, 
mungkin saja masih ada sisa terompet semalam yang dijual murah Mak"
Mak tak mampu mencegah ketika nang meraba-raba uang simpanannya di bawah dipan,

berlari Nang tinggalkan Mak yang hanya mematung 
mengingat Nang sendiri tidak meniup terompet semalam.

Tak ada terompet dan kembang api untuk Nang 1

"Mak, nanti malam jangan tidur dulu ya, 
aku mau tunjukkin Emak sesuatu yang Indah malam ini, 
di belakang gubug, dekat pantai Nang sudah siapkan meja kecil dan kursi"
"untuk apa Nang?, maafkan Emakmu Nang, tidak bisa belikan kamu terompet, 

dan kembang api"
 

"justru itu Mak, kita cukup duduk di sana dan nikmati langit 
yang kan bercendawan pelangi malam ini Mak,
tidak bising letusan dan terompet Mak"
Emak hanya diam, 

dipeluknya Nang erat, 
wajahnya berubah sembab
 isak pun perlahan terdengar 
seiring azan magrib mengumandang senja itu.

Sajak dan gerimis di hari pertama

Akan kutulis berlembar-lembar halaman
geliat itu tlah bangkitkan aku
sapa itu membuka segala
tentang asa, makna, dan rasa yang entah apa ini

bukanlah cinta atau percintaan
tapi kerinduan meletupletup tanpa tertahan

akan kutulis berlembar-lembar halaman
seperti gerimis di hari pertama tahun ini
begitulah ku ingin
beratus hujaman kata kan kutulis untukmu
beratus makna semoga kau mengerti
bahwa ada sajak yang tak pernah usai untukmu