Thursday, July 31, 2008

Di Matamu Aku Memohon

Kepada matamu yang berpelangi
di tengah kobaran rasa
Ku tak sanggup menyentuh beningmu..
tapi ku bisa merasakan hawamu
yang menyesakkan kalbuku

Membayangkan pelangi terhampar
Sejenak aku ragu..
Tapi kau yakinkan jiwaku,
Tak peduli keindahan kan pudar oleh waktu,
aku akan menunggumu..
hingga kau memelukku..
hingga peluh menetes ditiap pori kulitmu
akan damai menjadi bagian diriku

Kepada retina di bola matamu
Aku sungguh menginginkanmu..
dan pasti kutunggu
dan saat itu aku tak akan hanya diam

Sajak Akhir Bulan Juli

Kabut fajar tipis tersapu mentari jingga di timur
serta teriakan detik jam di sudut kamarku
kupandang pesisir dengan debur dan riak berirama
aku tulis sajak ini untukmu yang di sana
ingin ku kabarkan pagi ini
udara di pesisir tak lagi sejuk
rimbunya pohon tak lagi mampu selimuti tidurku
karna asap pabrik tlah lebih dulu menyeruak hidungku

Kulihat burung blekok berbulu putih terseok dalam lumpur
ia begitu kelelahan setelah berjuang melawan cerobong asap
diantara awan yang tak lagi perawan

burung putih itu mengingatkan kembali
pada tembang jawa yang kini jarang terdengar
juga pada tangis anak-anak dipagi buta
burung putih itu telah mampu merenda benang-benang kusut di kamarku
melukis bidadari diatas selimut kumal
sementara kalander tetap membisu dengan deret angka yang tiada berkata
seakan mencabut sukma di kamar ini dengan lentik jemarinya

kutulis sajak ini
di atas kertas kusam
sekedar mengingatkan bahwa kusam tidak berarti kuno
sarang blekok itu adalah kusam dan kumal
tapi adalah istana dengan singgasana permadani

Perlahan mentari semakin menyengat
sementara awan tipis berpacu dengan asap pabrik
ingin kukabarkan kepada engkau yang jauh di sana
burung blekok itu tlah kembali mengepakkan sayapnya
tidak lagi terseok di kubangan lumpur
ia telah arungi kembali cakrawala kehidupan

itulah hidup
hidup adalah bagaimana kita bisa memaknai dengan hati
bukan dengan emosi
aku tak mau lagi mendengar tangis dan rintihmu
keluh dan kesah
jerit dan deritamu
seperti semalam, saat kau berkunjung di stasiun mimpiku

aku tengah mencipta irama langit
tanpa asap pabrik
kuharap kau dengarkan aku
kuharap kau tegar dan mendengar
seperti burung blekok yang terseok dalam lumpur

Tuesday, July 29, 2008

Inilah Aku Apa Adanya




Aku bersyukur masih bisa menghirup
Udara atas Ijin Allah SWT.
Aku tidak ada apa-apanya tanpa Ridho Allah SWT.

Sunday, July 27, 2008

Hari itu Bulan Terluka


langit pekat
mentari tak tampak pada ujung senja
bumi terengkuh awan
mendung membertebal jarak
sementara bulan bersingsut dengan kegelisahan
gelisah tiada akhir
bulan tak mampu menyibak mendung
walau sesaat ingin menatap bumi
rinai berdenting menghujam
tandai luka yang tak terperikan
bumi tak terenggut
tercabik
tertatih
merayap
lepas dari genggaman

Friday, July 25, 2008

Teater Tetas dalam Sebuah Panggung












Inilah kenangan Komunitas Tetas divisi Pementasan"Teater Tetas" saat mementaskan lakon "Ponirah Terpidana" di bawah asuhan aak didik.

Thursday, July 24, 2008

Kenangan bersama penulis "Menyusuri Lorong Dunia"
















Inilah beberapa foto kenangan perjalanan selama satu hari bersama Penulis "Menyusuri Lorong Dunia" Perjalanan Boja-Kopeng-Keteb Pass-Candi Borobudur. Bersama Claudia (istri mas sigit dan anak-anak eks Bahasa SMA N 1 Boja. 10 Juni 2008

Ingin

Ingin ku jadi mentari dalam tiap fajarmu
ingin ku jadi lembayung dalam tiap senjamu
ingin ku jadi purnama dalam tiap malam-malammu
ingin pula ku jadi mimpi-mimpimu dalam tiap tidurmu

ingin
ya ingin
mungkinkah?

Tuesday, July 22, 2008

Untukmu yang Tersenyum di musim kemarau Dingin ini

Relung hati tertoreh sayatan rasa
dalam menempati dasar purba
itu sebab bulan merindukan bumi
seperti matahari merindukan awan

langkah tlah tertatih, kata demi kata
rasa demi asa
wahai kau permataku
Baluran rasa terboreh
terpatri melekat disisi jiwa

andaikan takdir pertemukan lebih awal
tiada mungkin matahari kan terbit dahului bulan
tiada mungkin kereta api meniggalkan rel dalam kedinginan

air tlah menetes di tengah gersang savana
diantara tatapan kaktus menantang
angin pun tiada berhembus ramah

memang rasa itu suci
Kau dan aku tidak salah bila rasakan ini
bahkan tidak ada yang salah dalam rasa kita
hanya tugas dan tanggung jawab kita yang tidak sempurna

biarlah rembulan tetap malam
dan biarkan pula matahari rajai siang
sementara biduk tlah lepaskan diri dari pelabuhan
biar ombak yang membawa kemana arah dan persinggahan

aku hanya ingin tetap berpeluk
aku hanya ingin tetap hangat

peluk hangatmu wahai
penghuni dasar hati
yang selalu menggapai dalam tidurku
yang selalu berteriak dalam imajinasiku
dan yang selalu bergejolak dalam tiap detak nadiku

Thursday, July 17, 2008

Satu Pagi di Kemarau Bulan Juli

Suatu pagi..

Aku terbangun di atas musim kemarau yang dingin

Sepasang sandal jepit kumal terserak

di atas jam dinding yang sudah lama tak berdentang

sementara ukur angka tak lagi terhitung

menggantung bisu pada dinding waktu

Aku terlambat menyapamu hari ini

Langkah melambat mengiringi gerai kelambu di sudut sepi

lihat senyum hari

tak peduli awan berselimut kelam

ataupun meracak cahaya mentari

aku telah bangun altar

dalam gelombang

cinta tak sempurna



Agitasi Rasa

merindukanmu
aku akan menjelma angin
yang diam-diam membisik ditelingamu
masuk ke dalam nafasmu
menyusuri tiap relung rongga tubuhmu

aku akan menjelma angin
hingga nafasmu adalah aku
dan aku adalah hidupmu

aku akan merayap perlahan
ke dalam setiap pori kulitmu
mengisi tubuhmu hingga aku adalah engkau
dan engkau adalah aku

pada setiap desah yang kauhembus
kau melihat desahkulah yang berhembus
pada setiap angin yang kauhembus
aku melihat hembusanmu adalah aku


Pada Awan Kugantung Rindu

Di sela-sela awan, kata itu kusimpan
berpilah lusuh menari di atas kapas terbang
bius resah menjuntai
dan mimpi menyeret rindu
senantiasa genit di malam yang lugu

setoreh kedalaman menyentuh
bibirku diantara sengal nafas
mengalir di resah mata

suara hati dikejauhan membias warna fajar
pada dedaunan
pinjami aku namamu
sebagai jawaban dari
kerinduan diantara awan

dan rasamu mengalir serupa musim mendekapku erat
aku mencumbu resahmu di ujung subuh
mengabarkan rasa
biar matamu menumpahkan selaksa duka
agar esok matahari dalam dadamu tersenyum padaku

Tuesday, July 15, 2008

Pada Malam di Kedua Matamu

Malam merangkak di tengah danau matamu
kerlip lilin lengang diantara retinamu
kelelawar berkelebat menyayat pekat
entah ini malam keberapa
setelah aku jatuh di kedua sunyi matamu
sinarnya membuat bisu

kau menggelepar di malam gagu
bercerita tentang cinta lewat matamu
meratapi perpisahan karena malam
perasaan berenang di kepala
sunyi hati terbakar kegundahan
malam pun melengang tanpa isyarat makna

pada malam hanya aku sendiri
yang kau temukan tenggelam
larut meninabobokan gerimis
di bening kedua matamu

Saturday, July 12, 2008

Dalam Malam Rindu Mengembang

Bergelayut pekat merambah malam
angkuh dan sombong sang malam menebar angkara
engkau yang di sana tersiksa dalam duka
rindu rasa tiada rupa
hati gundah tanpa dalam kerinduan

bibir berkata tidak
tapi hati dan mata kan bicara
jauh menelusup dalam rongga jiwa
tlah tertoreh tinta cinta

purnama tetap mengembang
walau malam kian suram,
walau awan selubungi bulan
aku kan tetap memelukmu dalam dingin

detak jam berdenting berkejaran dengan menit
walau jiwa bersorak dalam sepi
jiwa bergejolak dalam rindu

aku kan datang
selimuti rindumu
memelukmu
dalam desah nafas cintaku
kubelai dengan rinduku

bagai kelelawar dan malam
selalu bersenggama dalam simphoni kehidupan

sabarlah wahai kerlip yang menyala,
menyebar dalam jiwa
bersama asap kerinduan

kerlip ini kan bersinar walau
lilin tlah leleh dalam cawan kerinduan
terangi jiwa yang mabuk bunga cinta

sementara malam pun semakin larut
hingga fajar kan datang menyapa
membangunkan kita
terlelap biduk
di tengah lautan asmara

Friday, July 11, 2008

Ku Ingin Malam Cepat Berlalu



Senja tersingkap dalam kegundahan
perlahan merangkak malam
pekat menjelang bersama kekosongan

malam tlah jatuhkan hukuman
malam tlah pisahkan sang pecinta
malam tlah renggut bulan menjelang purnama

kembali teringat akan siang penuh ceria
tawa, canda, keluh kesah menyatu dalam
sekotak kecil di genggaman

"kau telah hidupkan aku kembali"katamu
kau benci malam
kau benci gelap
padahal aku tetap bersinar dalam purnama

"kuingin malam cepat berlalu"katamu
agar kita bisa bercanda, cerita, berkeluh
dalam sekotak kecil digenggaman

ku kan hadir dalam tiap waktu
walau tanpa sekotak kecil digenggaman
karna aku tlah ada didirimu

Bulan pun Kian Purnama

Aku tak tahu
gelas itu bicara apa pada gula
pada sekeping malam
yang jauh berdenting hantarkan pekat

Bintang yang merayapi langit
seperti membentuk asa dalam mimpi
jendela, almari, tertegun tanpa kata

hanya angin mengantar berita
memendam hari rindu rupa

terang kau silaukan hati
tertunduk aku tantang purnama
purnama hati
purnama jiwa
pernama sang pecinta

tubuhku memasuki ruang waktu
puluhan tahun memburu
purnama cahaya

Wednesday, July 2, 2008

Purnama Mengembang Saat Bulan Sabit

Wajah ayu menyeruak membuka mataku
senyum membelah pualam hati
indah tawa teriring dalam langkah
berirama seperti angin dan dahan

Kau sungging senyum dalam wajah ayu
terhempas aku ke dasar altar
telah tersenggama hati dengan mata
luluh lebur dalam ketidakberdayaan

busur tlah lepas dari gendewa
tertancap dua hati tanpa daya
kebisuan tercerai dalam keindahan

Bulan sabit tersenyum dalam kepekatan
bintang pun takjub pada kodrat illahi
angin beringsut perlahan
hembuskan hawa mesra dalam jiwa pecinta

purnama mengembang dalam rona
kepucatan tersingkap
cadar semu tertata dalam wajah ayu
bersinar purnama
saat bulan sabit mengakhiri malam