Friday, December 31, 2010

Sajak Akhir Tahun

gerimis
dingin
kenangan
keinginan
menyatu di penghujung tahun

akankah sajak-sajakku
kan menyentuhmu...
bersama duka kerinduan
dalam bait-bait kata
berpeluk makna

Tuesday, November 2, 2010

sebingkai kenangan

Sebingkai potret terlukis di atas batu
ku satukan rasa di riak gelombang
perlahan seirama pasang yang menggelora
leburkan rasa dalam redup mendung siang itu

pemancing itu asyik lempar kail
di antara ayun gelombang
rasa pun berkecamuk dalam jiwa
menggelora dalam buai angin pantai utara





Monday, October 11, 2010

Di Bulan Sabit Malam Ini

semalam bulan tersenyum di langit barat daya
mengembang di antara kerlip kunang-kunang cakrawala
debur riak masih saja basahi pasir yang bisa dipeluk malam

dingin dan sepi sesunyi purba
di pesisir ini
biduk masih saja tergolek
sesuci bayi tujuh bulan tatap semesta

di bulan sabit malam ini
aku lihat senyum dan bola matamu
siratkan makna peluk kerinduan

Wednesday, October 6, 2010

Seperti Malam Kemarin

Seperti malam kemarin
masih saja berderet di dinding kamar ini
detak nyaring kerinduan
satu persatu bayang terserak
menyatu dan wajahmu menyeruak sapaku

tertatih hening menyapa purba
bagai deretan rindu yang tercipta tiap waktu
mimpi dan ilusi pun menghias kamar ini

lamunan panjang terbangun pada lembar tanda tanya,
tak ingin bertanya apakah yang berkecamuk ini
hingga fajar pun merayap susuri kelam tinggalkan purba

diam membisu tak pernah bergerak,
kembali kerinduan peluk sepi di ujung malam ini.
Hening dan kembali hening seperti malam lalu,
tak harus terhentak namun hempaskan rasa
di Grand Jambi ini aku merindumu

Sunday, October 3, 2010

Aku Ingin Kabarkan Padamu

aku ingin kabarkan padamu
bahwa burung putih itu masih saja mengejekku
bahwa ikan kecil di sela riak-riak kecil masih menatapku
kepiting kecil yang tertatih diantara lubang pasir dan sela-sela batu pantai itu
masih memanggil-manggil tuk ajakku bercanda

aku ingin kabarkan padamu
aku masih saja termangu
aku masih saja rasakan khas pesisir
menyeruak dibulu-bulu hidungku

aku ingin kamu tahu
panas yang menyengat tak hanguskan rasaku
rasaku masih bersemayam
rasaku masih peluk bayangmu
rasaku masih kan memiliki asa
asa tuk tetap tulis sajak-sajak baru

Friday, October 1, 2010

Saat tiba Tatap Korneamu

saat tiba pada rindumu

hari pun merangkak hingga bulan berganti
Dan arakan mendung yang ranum
Menitikkan gerimis satu satu
Biduk yang kukayuh akan merapat ke dermagamu
Menyibak kabut keraguan dihatimu
Lalu menambatkan hasrat yang hangat dibakar rindu

saat tiba tatap korneamu,

Di ujung pertemuan nanti
Akan kubingkai binar korneamu
Bersama gelegak gairah rasa dalam jiwaku
akan kulukis indah di lekuk hatimu

aku kabarkan rasaku padamu

diantara semburat merah melumuri langit
ditingkah semilir angin banjar pagi ini
membelai lembut titik-titik embun diujung daun

Saat tiba pada dirimu,

Akan kubuat dirimu terjaga dari lelap mimpi
lalu bersama merajut impian yang tak segera usai,
Dalam genangan rasa dipalung kalbu
dengan getar cumbu tak berkesudahan

saat tiba pada harimu nantikan hadirku


Tuesday, September 28, 2010

Ingin Kusingkap Tabir dalam Sajak Hatimu

aku tahu pendar awan selimuti rasamu
butir bening dibalik wajahmu
ingin kukeringkan satu-satu
ingin kuusir gelisah mendung
dan singkap tabir dalam sajak hatimu
sebab aku ingin menyimpannya dalam sekerat sajak

ada tapak-tapak asa mengandeng pada siluet hari
yang menghangatkan kita
lukisan senyum, renyah candamu
beriku nafas
kusunting sekuntum puisi
untuk semaikan sajak dalam tamanmu
hingga tumbuh kelopak-kelopak rindu
maka terbangkanlah hatimu hari ini padaku

kukabarkan padamu
di sini matahari pun malu tuk menyapaku
seperti hari-hari dalam sajakku di sana
maka hadirlah di setiap detik kerdip mataku
sekedar menyapa sajak-sajakku

Sunday, September 26, 2010

Kulukis dan Kusemayamkan Rindu

purnama pun berlalu tanpa kehangatan

detik dan menit begitu cepat untuk beranjak pergi

hanya secuil kenangan yang bisa terlukis dan bersemayam di sudut jiwa

dan bila tiba semua harus kembali purba

semua pun bermuara pada rasa...

rindu.....


Tuesday, September 21, 2010

Renungkan dengan Hati terdalam

Dia bertanya kepadaku dengan lembut..

“Apakah kau mencintaiku karena kecantikanku?”

Dan aku sekuat tenaga berkata bahwa aku tak seperti itu..

Hingga hatiku terasa begitu berat..

Dia berkata kepadaku dengan sangat lembut..

“Kenapa kau mencintaiku?”

Dan sekali lagi lidahku begitu sibuk mencari kata yang tepat..

Hanya tuk meyakinkan dialah orang yang tepat untukku..

Kemudian dia berkata dengan sangat-sangat lembut..

“Kalau begitu..jangan kau mencintaiku karena jawabanmu itu..”

Dan dia tersenyum..

Aku bertanya kepada diriku sendiri..

Bila aku benar-benar mencintainya..

Kenapa aku harus begitu berat mengatakan kejujuran yang ia pinta?

Bila aku benar-benar menginginkannya untukku selamanya..

Kenapa aku harus membiarkannya pergi begitu saja?

Dan kini aku sadar..aku hanya melihat dengan mataku..

Aku mencari cinta karena inderaku yang duniawi..

Aku tak melihatnya dengan hati dan jiwaku..

Bukankah itu sebaik cinta yang kita impikan?

Aku melihatnya sebagai makhluk yang sempurna..

Aku melihatnya sebagai orang yang begitu tepat untukku..

Dan itu membuatku mencintai dunianya saja..

Perempuan itu..yang begitu saja meninggalkanku..

Mengajariku arti cinta yang baru..

Tentang peluruhan jiwa dan jasad untuk jatuh cinta..

Karena cinta tak sesederhana itu..


Catatan Sahabatku

Novanka Radja

Sunday, September 19, 2010

Senja pun Tak Lagi Simpan Cerita Kita

Aku tak tahu kenapa tak bisa lagi tulis sajak
entah tak ada lagi kata yang lukiskan tuk menulis tentang kamu
atau bahkan diriku sendiri

Bising dunia terlalu berisik membuat aku tak mengenali suaramu
atau bahkan suaraku sendiri

aku beritahukan padamu bahwa pantai yang sering kita singgahi
kini becek oleh nanah yang seharusnya tak tumpah
jalan berkelok, berliku yang sering kita lalui
kini tertutup geram dan marah

senja pun tak lagi simpan cerita kita
bahkan cinta telah dionarkan kebencian
daging bernama kasih sayang yang selalu kita manjakan
kini terpanggang kebencian

entahlah aku tak bisa menulis sajak lagi
tentang kita tentang diriku dirimu
aku pun tak tahu harus mengeluh pada siapa

Biola itu tlah tak berdawai
gitar itu tlah putus senarnya
seruling itu tlah rusak lobangnya
aku tak mampu perbaiki semua

kulihat langit muram tiap waktu
mendung berarak selimuti duka dilangit kita
aku benar-benar tak bisa lagi menulis sajak
sajak tentang kita


Saturday, September 11, 2010

Purnama, Akankah Kembali Esok?

Tertegun tatap rintik saru-satu
kusibak tabir jendela
kutangkap resah pada jarum-jarum bening
menghujam timpa cakrawala

resah itu makin menghujamkan makna
desir di dada bergumam seiring senja selubungi alam
almanak merangkak tertatih di malam ke 2 bulan syawal ini
langit masih berarak mendung
purbakan malam tanpa rembulan

detik menit pada jam usang masih berdentang
angin pun lembabkan udara di awal malam ini
membeku bersama helaan nafas seirama resah
pada gerimis satu-satu

kucari ruang di langit berharap terbuka
ruang tuk rembulanku mengintip
pekat masih saja merajam langit
menipis pun enggan apalagi terbuka

membayang di pelupuk kelam
rembulan pucat tertutup tabir
segumpal awan tlah bawa rembulanku
purnama akankah datang kembali esok?

Wednesday, September 8, 2010

Rembulan di Wajah Emak saat Lebaran Tiba

Riak-riak menggelitik di senja menjelang 1 syawal tahun ini. Kulihat Emak masih saja memandang ombak yang terus bergulung menerpa kakinya. Aku tak berani menyapa, terlalu dalam luka yang Emak rasakan.
Ramadhan tlah berlalu hingga tahun ketiga ini, bahkan 1 syawal tinggal selangkah lagi terbuka gerbangnya. Tapi Mak tak bahagia, selalu saja Emak pandang luas samudra tiap lebaran menjelang. Hanya angin, ombak, pasir, camar, kepiting kecil dan biduk tertidur mungkin yang bisa maknai isi hati Emak. Aku hanya bisa pandang lelehan bening membelah pipi Emak hingga lurus menetes di sudut dagu Emak. Tak pernah Emak mengusap airmata itu.
Sering tak sengaja aku lihat coretan-coretan Emak di kertas kumal robekan buku tulisku, berserak di meja yang Emak lupa menyimpannya.
"Mengapa siang terasa cepat berganti menjadi malam, dan benderang berubah menjadi kegelapan, sementara harapan-harapanku masih mencari dan mengharapkan terang, akankah aku selalu berjalan meraba-raba pada malam tanpa dirimu Kang, hari terus saja berjalan menuju malam, dan langit pun kudapati telah menghamparkan renda-renda kegelapan. Malam telah menangguhkan mimpi-mimpiku menjadi kenyataan, malam yang menjadikan kesepianku makin sering menyapa dan kesunyianku makin terasa. Tak ada yang dapat kulakukan, tak ada yang dapat kutemukan. Kini setiap langkah yang kujejakkan hanya berakhir pada janji-janji belaka. Kebencian pun makin menerobos masuk melalui celah-celah kulitku, mencari dirimu, lalu diam dijiwamu. Lalu, akankah hari-hariku yang penuh kegelapan kan melahirkan kebahagiaan, ataukah akan berakhir dalam sedu-sedan ?, Kang mengertilah Kang..... sampai kapan kau buat aku begini Kang, kasihan Thole Kang....."
Itulah coretan Mak yang selalu membuat aku sadar, bahwa Bapak tak pernah lagi pedulikan Emak dan Aku..., seperti senja ke 30 ramadhan ini, Mak masih saja memandang laut, Emak sadar bahwa lebaran ini Bapak takkan lagi pulang, hanya aku dan laut yang bisa buat Emak tenteram.
"Bersyukurlah Kang, Thole tak pernah punya rasa iri pada teman-temannya, selama ini Thole nurut Kang, tak pernah minta baju baru, seperti layaknya teman-teman Thole saat lebaran tiba. Aku tak bisa berpikir lagi Kang seandainya Thole tidak patuh padaku Kang."
"Aku masih menantimu Kang, entah sampai kapan aku bertahan begini Kang, Kau masih ingat Kang kepiting kecil yang kukejar-kejar dulu masih saja menggodaku tiap kali aku dipesisir ini, atau kupu-kupu putih yang selalu mengitariku di terik senja, tak bosan aku bercanda dengan mereka, aku masih ingat ucapan kamu Kang, bercandalah dipesisir ini bila kamu rindukan aku.. ajaklah kepiting dan kupu-kupu putih ini" Tapi kenapa kamu tak pernah mengingat itu lagi Kang"
Kuperhatikan EMak yang tiba-tiba berjongkok membelai pasir dan menggapai kepiting kecil yang berlari masuk lobang di debur ombak yang tiba-tiba menghempas. Mak kecewa karena kepiting kecil tersapu ketengah buih-buih putih. Aku hanya tersenyum pandangi kekecewaan EMak.
Sayup adzan maghrib berkumandang perlahan, sayup-sayup pula alunan takbir menggema di seantero pesisir bersahutan dari langgar satu dan langgar yang lain.
"Mak, lebaran dah tiba Mak"
"Oh Thole, sejak kapan kamu di sini,... Mak sampai kaget"
"Barusan kok Mak bersamaan dengan adzan yang Mak dengar"
"Iya Le,.... maafin Bapakmu ya..., sampai kini tak pernah rayakan lebaran bersamamu"
Aku tak bisa bicara, kupeluk Emak erat. Tanpa kata, emak benar-benar larut dalam dukanya. aku tahu dari getar dan isak Emak berusaha hibur aku. kulihat teman-temanku berlarian menuju langgar dengan sarung dan peci baru.
"sabar ya Nang..."
"Iya Mak..."
Benar-benar rembulan bersinar di hati Emak, tiga tahun berlalu tanpa Bapak, begitu sabar Emak jalaninya, Kulihat purnama di wajah Emak, walau baru tanggal 1 terasa tanggal 15 purnama.
Kembali lebaran tahun ini aku tanpa Bapak, tanpa baju, sarung dan peci baru.., hanya Emak dan rembulan di hati Emaklah yang selalu menemani lebaranku seperti 2 tahun lalu. dan kumaknai ramadhan ini sebagai kerendahan diri di mata Allah, keikhlasan telah Mak ajarkan padaku. Tak perlu baju, sarung dan peci baru, tapi hati inilah yang jadi ukuran berhasilkah menjalani ramadhan sebagai kewajiban seorang hamba.
"Sana mandi dulu Nang..."
"Iya Mak..., "
"Allahu Akbar, Allahu Akbar....Allahu Akbar.... Laa Illah ha illahahu allahu akbar......... allahu akbar walillahilham"
"Aku sudah maafkan kamu Kang seperti lebaran tahun lalu walau kamu tidak pulang. Tiga piring berisi lontong dan sayur nangka muda pun sudah aku siap untukmu Kang, meski tanpa opor ayam seperti keluarga lain. "
Kulihat Emak kembali menangis, terduduk di sudut amben, pandang pintu terbuka yang tak pernah di ketuk lagi oleh Bapak, hanya laut lepas yang bisa dipandang Emak. Pesisir tak lagi sepi, petasan pun berentetan dan kembang api menerangi pesisir malam lebaran ini. aku pun menikmati indah malam lebaran dipelukan Emak tanpa harus beli petasan dan kembang api.







Tuesday, September 7, 2010

Persembahan Lebaran (buat Bapak/Ibu Partner, Atasan, Teman, Sahabat dan Orang Terdekat)




Sebelas bulan Kita kejar dunia,
Kita umbar napsu angkara.
Sebulan penuh Kita gelar puasa,
Kita bakar segala dosa.
Sebelas bulan Kita sebar dengki Dan prasangka,
Sebulan penuh Kita tebar kasih sayang sesama.
Dua belas bulan Kita berinteraksi penuh salah Dan khilaf,
Di Hari suci nan fitri ini, Kita cuci hati, Kita buka pintu maaf.
Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir Dan batin

Ada yang sudah bergegas pergi meninggalkan sekeping jiwa yang senantiasa merindukan bulan penuh kemudliaan Syawal menjelang. Taqobalallahu minna wa minkum.

Hari ini kunantikan sejenak langkahmu, untuk memohon tulus maafmu, atas ucap laku yang tercela dulu. Ku ingin bayang salah yang pernah ada terhapus bersama gema takbir. Mohon maaf lahir dn batin.

Mencari setetes air penghapus dosa terkadang terasa sulit dan berat. Namun bukan berarti tidak dapat dilakukan selagi Allah berkenan. Mohon maaf lahir dan batin.




Faith makes all things possible.
Hope makes all things work.
Love makes all things beautiful.
May you have all of the three.
Happy Iedul Fitri.”


Fitrah sejati adalah meng-Akbarkan Allah..
Dan Syariat-Nya di alam jiwa..
Di dunia nyata, dalam segala gerak..
Di sepanjang nafas Dan langkah..
Semoga seperti itulah diri Kita di Hari kemenangan ini..
Selamat Idul Fitri Mohon Maaf Lahir Batin

Waktu mengalir bagaikan air
Ramadhan suci akan berakhir
Tuk salah yg pernah Ada
Tuk khilaf yg sempat terucap
Pintu maaf selalu kuharap
Met Idul Fitri

Satukan tangan,satukan hati
Itulah indahnya silaturahmi
Di Hari kemenangan Kita padukan
Keikhlasan untuk saling memaafkan
Selamat Hari Raya Idul Fitri
Mohon Maaf Lahir Batin

Tuesday, August 31, 2010

Mimpi-mimpi dalam Sajakku

bisik angin pada dinding bersama awan
aku terpaku dalam ruang bersama anganku
derit roda perlahan tertatih terhenti kala merah menyala

jerit malam pada bulan dan bintang membisu
purba menjelma seketika dibalik jendela
bias lampu - lampu merayap susuri dingin
sibak kabut bandung dalam balutan mendung

aku tak tahu lagi harus bagaimana,
korden jendela pun mengejekku
kembali kutatap sepi jalanan di hadapanku

kau muncul bersama senyum dan kerling matamu
menatap tajam ke arahku
aku hanya bisa diam tanpa pembelaan
tersudut dalam beku kerinduan

aku tak tahu lagi harus bagaimana
selimut putih pun turut lantang memakiku
kembali kutatap sepi jalanan dihadapanku

rebah lelah tubuh dalam buai pendingin ruang
kususun kembali bayangmu dalam teka-teki hidup
bias sinar dan senyummu menyembul tiba-tiba
aku menghiba pada malam
akankah kau kan datang distasiun mimpiku
seperti mimpi-mimpi dalam sajakku

Wednesday, August 25, 2010

Sepasang Kupu-kupu dalam Buai Purnama

Senja berselendang semburat merah
dua kepompong bergelayut pada dahan pisang
terayun-ayun dalam buai angin senja
perlahan mendung berarak selimuti senja

dalam temaram senja kepompong bergerak
perlahan menjelma kupu-kupu
terbuka mata pandangi musim cinta
terbang beriring di remang petang

beriring serasi hangatkan rasa
indah purnama perlahan biaskan sinar
kemilau di kedua sayap pun membias
tebarkan pesona di musim cinta

kupu-kupu terbang dalam ayunan purnama
diantara tebaran lampu-lampu dunia
kupu-kupu tetap beriring menari
tebas purnama berkali hingga bayang pun menjelma

bayang sepasang kupu-kupu
dimalam purnama kedua ini
membuai hati dan rasa
dalam sajak-sajakku

Tuesday, August 24, 2010

Pelangi Lingkari Purnama dalam Sajakku

langit benderang dalam buaian purnama
karpet biru tergelar memayung di langit
dingin pun turut kian menggigit
pendarkan rasa dalam sajakku

senja tadi kau merasuk perlahan
sandingkan rasa dalam kalbuku
dalam buaian gerimis satu-satu

bayang matamu siratkan sejuta makna
hingga sajak-sajak baru tertoreh
rangkai makna hujamkan rasa
indah dalam tiap sudut

malam ini kau kembali hadir
bersanding bersama pelangi lingkari purnama
pandangi aku yang tersketsa
pada senyum dan sayu matamu
hingga kata pun terangkai
tingkahi sajak-sajakku

Monday, August 23, 2010

Purnama, Mendung dan Sajakku

masih basah tanah tersiram gerimis satu-satu
senja itu pun muram dalam balutan mendung
merangkak perlahan tertatih renungi langkah

tanah basah, dingin mewabah kelam pun sekarat
tersibak tiba-tiba dalam balutan purnama
bulan tak lagi separoh, binar cahaya berpendar
langit biru pun tergelar

lukisan itu,
biru yang berpendar bersama purnama musnah
terbalut kabut yang menghitam tiba-tiba
kulihat kelam kembali selimuti purnama

purnama malam ini
tak seterang purnama dalam sajakku
kata kan tetap terangkai
frasa kan tetap tereja
bait kan tetap bermakna
walau mendung selimuti langit dan rembulanku

Tuesday, August 17, 2010

Dalam Telaga Matamu

Tiap kali terbayang kornea itu
serasa rasa meradang
seperti menatap telaga
di bening mengalir makna
kucoba rangkai makna menjadi sajak
kulihat jernih kaca bergelombang
aku pun berkaca pada korneamu mencermati diriku

Kutatap diam-diam dalam telaga bening itu
Riak itu menyembul mengalir satu-satu
Perlahan membentuk butiran-butiran bening.
Telaga itu pun berkabut.
perlahan rasa itu tak bernama
otakku tak sanggup menguraikan
Ada gairah di setiap langkah kaki, ringan, melayang
Bernyanyi, tersenyum riang

Semuanya menjadi abu-abu. Tak ada hitam, tak ada putih
tak dapat kubedakan
Tetapi aku semakin terpenjara rasa
Rasa itu kembali hadir dalam memori pertemuan
Aku marah pada waktu yang merangkak bak siput

Aku tersenyum mengingat
walau tak ada yang lucu
Mencermati wajah setiap senti dalam ingatan.
Aku tak lupa. Aku pun tak tahu apa sebabnya.
Tetapi aku tak kuasa melawan rasa
di Aryaduta merangkak rindu perlahan

Monday, August 16, 2010

Mendung Berarak di atas Aryaduta

jendela bisu memandangku penuh tanya
"adakah yang kau lamunkan kenapa diam?"
kupandangi kunang-kunang jalanan
berarak di bawah gelayut awan pagi ini

sendiri mematung di atas gedung aryaduta
menerawang jauh menghempas pada sebuah wajah
remeh remeh yang berserak terhempas
membentur dinding dinding kesadaran

gedung-gedung tinggi bagai tembok jiwa
halangi hati tuk satukan remeh berserak
emosi angin cerai beraikan titik-titik kenangan
tak mampu satukan lukisan indah dalam lembar jiwa

sendiri mematung di gedung artayuda
menerawang menghempas pada sebuah wajah

Tuesday, August 10, 2010

Almanak Lusuh di Dinding Bisu

satu per satu tanggal berlalu dalam bisu
almanak lusuh masih bertahta diantara memori
berkali tanggal tersketsa bayangmu

detik tak peduli tanggal yang berteriak
detik tetap berlalu dengan cerita sajak-sajakku

aku hanya bisa mengeja
hanya bisa merangkai
retak-retak yang melebar

almanak lusuh tetap membisu
dalam detik tinggalkan cerita lalu

Saturday, August 7, 2010

Kemarau pun Membasah tiap Waktu

kemarau tak lagi gersangkan pekarangan
kering yang dulu terjadi
kini selalu basah dengan rintik satu-satu

seperti indah senyummu
seperti indah kerling matamu
seperti damai di sisimu
kemarau pun membasah tiap waktu

Wednesday, August 4, 2010

Senja dalam Kabut Bisu

Tanpa kata kau tatap aku dengan korneamu
tanpa kata kau rangkai senyum di bibirmu
tanpa kata telapak tangan kita menyatu
hanya rasa berkecamuk seiring gerimis satu-satu

senja, gerimis, hujan dan kita diam
nikmati senja dalam kabut bisu

Tuesday, August 3, 2010

Kau pun Mengembara di tiap Tidurku

Kau yang kini hadir menyapaku
yang tak lelah berputar dipelupuk mataku
yang selalu manja bergelayut dipundakku
yang menyatu dalam desah nafasku

kerling korneamu malu tuk sapa pelangi di mataku
kau pun mengembara ditiap tidurku
hanyut dalam lingkar semu abu-abu
semakin bergolak berteriak hingga degup pun
berdetak melintas bawa kerinduan
adakah rindu yang sama tergurat di lembar memorimu?

Wednesday, July 28, 2010

Pesan Hujan pada Angin di Preanger

Mendung berarak di langit preanger

peluk dingin menghimpit tiap waktu

detik jam berkejaran memburu hari

sedangkan tanggal tetap membisu didinding biru

seratus tiga puluh dua jiwa bersatu di preanger

dari penjuru nusantara kau datang


kau tinggalkan mereka yang tlah menyatu dihati

kau tinggalkan mereka yang selalu kau bimbing

kau tinggalkan mereka yang selalu berkeluh kesah

Kulihat tatapan sayu kelelahan dari wajah penuh harap

setelah semalam kau tatap laptop dengan mesra

jari-jari pun menari berlompatan dari tuts tuts keyboard

hingga tersusun bahan ajar yang kan kau persembahkan

untuk anak bangsa dalam wadah PSB-SMA

tetaplah semangat berpegang prinsip dari kita ,

oleh kita, dan untuk kita bersama

agar kita rela berbagi ikhlas memberi


Mendung tetap bergelayut di langit preanger

pesan hujan pada angin, pesan dingin pada peluk

janganlah kau lupa akan sesama

bila esok saat kembali ke tugas utama

sebarkan oleh-oleh yang kau bawa

untuk membesarkan PSB-SMA

untuk kemajuan pendidikan di Indonesia

Monday, July 26, 2010

Dingin Malam di Preanger

Kepada mendung yang bergelayut di atas preanger
biarlah menggantung di sana
tebal menggumpal berarak iringi sajakku
tlah terjalin sajak baru dalam rotasi perjalanan suci

apakah tentang kisah kita
atau pada kerinduan semu yang menebal
aku tetap terpaku di sisi jendela
tatap kunang-kunang jalanan beriring sibak dingin kota

dua malam kulalui tanpa hangat senyum dan kerling matamu
aku tetaplah setia pada kesepian
setia pada kesendirian

dalam dingin malam preanger
di lantai tujuh aku mematung
menatap sajak-sajak yang tertoreh
bagai buku sejarah yang kan tetap terbaca

detak menit ke jam berkejaran selimuti malam
dalam dingin preanger aku belajar padamu
wahai sajak-sajakku

Friday, July 23, 2010

Sajak Dingin Tertoreh di bawah kilau Bulan separoh

Dari pesisir dingin kemarau bulan ini
lambaian bayangmu berderai lembut
angin senja tetap terisak menahan keluh di sudut hati
termenung dalam sajak-sajak pesisir

Indah nian sajak yang tertoreh karena senyummu
seikat rasa tercengkeram rindu tuk tatap kedua korneamu
bercumbu dengan ramah dalam raut cantikmu

Aku yang sekarat tak kuasa ungkap
akhirnya tercecer dalam tatapan semu
mungkin malam dan dingin bulan ini
kan bicara pada hatimu

tentang angan yang tak tersampaikan
tentang rasa yang tak kau mengerti
hanya kornea dan detak jantungku
berharap kau mengerti
bahwa awal kemarau tahun ini
sajak-sajak kerinduan tlah tertoreh
bersama bulan separoh malam ini


Tuesday, July 20, 2010

Aku Sapa Cinta pada Bayang Semu Wajahmu

Perlahan tertatih nafas ini merangkak dan mengembara
dalam tiap langkah aku tambatkan rasa dalam jiwamu
separuh nafas jiwaku tlah terawan di senyum dan kerling matamu
aku pun coba bertanya saat berkaca di kedua korneamu
adakah aku di kedua matamu

Tak ingin kabut menutup lembut
berharap angin sapu dan singkirkan tirai di dasar jiwamu
hingga terbuka rasamu yang ingin kulihat secara nyata

berkali kucoba hapus dari jengkal langkahku
aku hanya ingin kau bersemayam tidak hanya berhembus

maka aku sapa cinta pada bayang semu wajahmu
pada bayangan yang semakin tersketsa
pada malam yang tak pernah bosan
temani aku dalam sajak-sajakku

Saturday, July 17, 2010

Rinduku bersama gerimis

Langit tak pernah berubah, masih saja bersemayam awan dan rintik satu-satu
mendung menggelayut tak kuasa bertahan
gerimis makin tak sabar buai pendar-pendar rasa yang tak terungkapkan

Entah gerimis keberapa aku kembali lihat wajahmu membayang
aku masih memaksakan diri menunggumu, hanya untuk sepotong senyum
Aku sudah menyiapkan sajak, sajak yang akan mengenang senyummu
sajak-sajakku tlah juga ada kau dalam jiwaku.

Sajak yang kutulis dalam selembar kisah , ketika angin membimbing jariku,
sajak kutulis dalam malam hujan berkabut, yang melukiskan betapa
aku tak mampu tuk kuasai rasa yang terus membara
dalam gerimis aku tersungkur merindumu



Thursday, July 15, 2010

Siang mengawal Indah Senyum dan kerling Matamu

Siang berlalu seakan tergesa
hingga tak lagi bisa kutatap kerling indah matamu
aku terpuruk dalam sungging senyummu

siang terlalu cepat pulang
kata-kata pun enggan bermain dalam bibirku
hanya sketsa wajah terangkai
membayang di kelopak mataku

malam pun tergesa usir senja
hingga cakarawala
tak seindah sajak-sajak langit
kala siang merayap mengawal
kerling dan indah senyummu

solo, 16 Juli 2010

Sunday, July 11, 2010

Puzzle Bulan di hamparan Pasir

Riak-riak kecil senja di awal juli telah membuatku terpaku bersama bangau putih dan kepiting kecil bermain rasa yang tak mampu kumaknai. Aku begitu tersudut dengan kata-katanya yang sebenarnya telah dipahami beberapa minggu yang lalu.
Sejak bulan menghilang aku tak lagi bisa memaknai tiap langkah yang aku jalani. selalu saja ada yang dianggap salah, padahal tidak ada perubahan sedikit pun. Pesisir menjadi tempat bagiku untuk merenung kembali merangkai cerita usang yang masih saja tak lapuk oleh waktu. Lembut kakimu berlarian mengejar kepiting dengan tawa khasmu kau pun pandangiku. aku simpan rapat senyum itu agar tak menyublim seiring waktu. kini aku rasakan senyum itu tak lagi memiliki makna. Kau selalu salahkan semua yang aku jalani, padahal kamu tahu itulah aku, aku yang dulu kau kenal.

"Nang, kenapa melamun" Mak duduk disisiku tiba-tiba
"Bulan Mak,...."
"kenapa dengan Bulan Nang."
"Bulan tlah benar-benar pergi, Mak"
"Kenapa dengan Kalian..?"
"Tidak apa-apa Mak, bulan tak lagi percaya pada Nang, Mak. Mak ingat kan, bahwa dalam rasa itu ada kepercayaan, maka bila kepercayaan itu sudah tidak ada berarti rasa itu pun pasti hilang kan , Mak?"
"sudahlah Nang...Mak tahu perasaanmu ...Memang berat bila kepercayaan sudah tidak ada lagi Nang.., apalagi untuk mengembalikan kepercayaan itu"
"Tapi Mak, bulan sudah tahu semua dan Nang sudah jelaskan, bulan pun sudah mengerti dan bisa menerima tapi tidak tahu kenapa bulan tiba-tiba begitu saja mengatakan Fucking, Nang nggak menyangka Mak"
"Ya sudah redakan rasamu biar adem Nang, jangan biarkan kamu larut seperti ini..sudah ya Mak masuk dulu, bila mendengar azan maghrib segera pulang ya.."
"Iya Mak..."

Kembali lembayung merah menyilaukan mata untuk terakhir sebelum terusir malam. riak-riak pun melemah seiring naiknya air ke pesisir. senja ini aku hanya bisa merangkai cerita-cerita bagai puzzle alam di hamparan pasir lembut ini. Puzzle itu tak lagi bisa menyatu ada saja yang kurang sehingga tak terbentuk lagi gambar yang indah seperti dulu.

Saturday, July 10, 2010

Siluet Hati pada Senja di Pesisir

Hari ini senja berlalu dalam buai ombak
pasir tlah manjakan punggungku, yang
lelah mengukur waktu bersama langit yang memerah

telanjang telapak ini menyisir pasir kenangan
tersenyum buih bergulung, tersketsa di sepanjang pesisir
ombak, pasir, angin, camar, biduk tlah bercerita tentang keabadian
membisikkan kenangan pada pasir yang tersenggama rasa

berlari kepiting kecil masuk ke satu lubang dan lubang yang lain
terhempas kala ombak mendeburkan buih-buih putih
kepiting kecil itu tak lelah tuk kembali berlari
sementara aku hanya bisa menulis dalam sajak-sajakku

sajakku melepaskan cengkeraman pada sketsa-sketsa kenangan
penat menyatu menusuk-nusuk bersama ombak yang kian pasang
aku terpuruk dalam kesendirian pulas tertidur dalam bahagiamu
seraya mengucap selamat jalan pada pantai kenangan

Sketsa Hati di Awal Juli

Musim terindah bersamamu tlah berlalu
kini rasa pun membelenggu tangisku
lagu mengalun merdu pada masa itu
semua termemori dalam otak bahagiaku

aku hanya ingin kau tahu bahwa embun rasa itu
masih bersemayam di sudut hati ini
luka, marah, iba memang pernah singgah bersamamu

aku hanya bisa membayangkan kehangatan rasa
saat kau tersenyum menyatukan pelukan hasrat kita
semua hening berubah menjadi hingar bingar suaramu
semua hilang penat, gundah yang ada hanya ceria

aku tak tahu masih pantaskah kudambakan waktu itu kembali
biarlah tersimpan dalam hati dan terpatri dalam sketsa rasa
untukmu aku ingin katakan bahwa hidup terus berjalan
tak guna kau tengok kebelakang

kutulis coretan ini seiring kata "kasarmu"
menampar mata dan hatiku
biarlah sebagai tanda bahwa aku masih mengenangmu
biarlah kabut kan sembunyikan hadirmu
biarlah airmata dan luka terbiaskan oleh waktu

ku yakin kau mampu menjalani sisa waktu
yang kini memangkumu dalam bingkai kebahagiaan
kutulis sajak ini sebagai bentuk terimakasihku
waktu tak lagi akan kubuang walau kau tahu perih dan pahit
biarlah semua terkubur kisah yang tak akan bangkit kembali

aku masih seperti dulu wahai kau yang punya rasa
sesekali tengoklah ke bawah di sana
di pesisir ini, masih ada aku yang akan menjaga
kisah ini menjadi cerita malam sebelum lelap
dekap ombak dan biduk dalam kesendirian

Saturday, June 26, 2010

Gundahku di Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk

Kembali membuka kenangan di kepala,
membias hari yang gersang dan berpura-pura riang
tak ada yang bisa mencegah lamunan tuk membuka episodemu
aku takkan lupa akan kalimatmu yang membuat koma sajak-sajakku

Di atas ferry penyeberangan Ketapang-Gilimanuk
mengucur deras angin menerpa anganku
rindu seakan mengembara di terjal perbukitan
kian merangkak tuk gapai puncak
menyiksa diri dalam kesunyian

haruskah kutulis gundahku
dalam sajak-sajak airmatamu atau
kutelan bayangmu bersama debur
ombak selat Bali
meski kenangan itu tetap berada dalam sajak-sajakku

Sunday, June 20, 2010

Senja dan Malam dalam Memori Sajakku

Angin pesisir merayap semilir singkap semburat merah di ujung langit
rintih mendesah pada biru lembar sajak-sajak kita
sajak yang perlahan menua meniti kalander jiwa
hanya senja tetap sendiri, sepi menanti gemintang rembulan

gelap pun jatuh meluruh jauh ke pangkuan hati
selimuti senja dengan selimut mimpi
tiada kata sajak berpadu pada haru suram senja hati
mentari setengah jingga seakan menahan laju cerita kita

senja tak habis dan takkan pernah usai di ujung hari
tanganmu kian erat genggam tanganku menjalin kemesraan
bernaung pada senja merayap kelam pucat merona
pertemuan senja dan malam hanya ada dalam sajak kita
sendiri luruh singkap memori atas semua yang pernah ada

Saturday, June 5, 2010

Di bawah Bulan Separoh Malam Ini

terpaku mematung di hamparan pasir
lepas pandangan ke tengah lautan
kilau pantulan sinar sang malam
bagai kaca si kecil diombang-ambingkan
sang penguasa lautan

walau separoh
purnama tetap tinggalkan jejak di langit

pasir lembut paksakan aku tuk sekedar
sandarkan lelah tubuh ini
semakin malam angin semakin tunjukkan jatidirinya

genderang tetap meradang di telingaku
tawa riang si rambut pirang dan bau bir tak pernah reda
dari indera pendengaran dan penciumanku

Kau tetaplah pantai seperti pantai-pantai lain
hanya mereka yang membedakanmu
kusapa kau tiap senja, tak bosan rasanya rasakan
riak-riakmu, debur riangmu dan aromamu

masih kuingat senja tadi
kau rengkuh ratusan toge'-toge' kepelukanmu
diiringi teriak riang dan tepuk tangan
dari si putih, si hitam, si coklat

itulah senja yang kan pisahkan kita esok,
kau tetaplah kuta
kuta yang tak pernah tercemar
walau multi kultur tlah hiasi hari harimu

malam ini kutingkahi kamu
esok ku kan kembali, esok pula
aku tak sapa kembali

di bawah bulan separo malam ini
kusapa kau, moga esok kan kembali
kusapa kau untuk sajak-sajakku
di sini pula rinduku berpeluk
karena bayangmu selalu hadir menari

Monday, May 31, 2010

Saat Wajahmu Rengkuh Purnama

kurangkai sajak ingin ku jadikan purnama
bait-bait alur terangkai dalam sajakku
kububuhkan kata “purnama mendekap dirimu dalam hangat”

langit tak lagi ramah,
awan berarak menuju samudra tinggalkan aku di pantai kuta
tiba-tiba tersketsa wajahmu bak purnama
Ada kehangatan menerobos garis-garis rasa
saatwajahmu rengkuh purnama
Tatapanmu sejukkan udara di ruang hati ini
sayup kudengar degup jantungmu berirama rasa

Kusuguhkan rindu hangat dalam sajak
biarlah uapnya menyatu disudut hatimu
terbayang kembali wajahmu merona
Majnun kan tetap lisankan kata-kata
Laila pun takjub tersipu terbelenggu rasa
Tapi purnama tetaplah purnama
Walau langit tak lagi sempurna

Friday, May 28, 2010

Mendung, Gerimis, Hujan dan Kamu

kala gundah aku tulis curahan ini
waktu tergurat ukiran langkah kita,
senyum tetap menggantung dalam balutan mendung

senja itu hujan kembali rebah ke bumi ,
genangan air di lubang-lubang jalanan dibawah cahaya trotoar,
menjadi alur berdigresi indah
di bawah langit tersenyum pucat pada kita

ada suatu momen terbersit saat itu
alur waktu bergulir kejar senja sebelum gelap
tak ada istilah terlambat ketika kita menuju tak terbatasnya horizon
dalam cakrawala senyummu

ada sebuah rasa yang ingin aku menggapainya lewat tanganmu
jalanan kecil,riuh dan penuh gemerlap lampu menghujam mata
aku pun terpuruk dan terpekur dalam peluk rasamu
saat di mana aku bisa menatap apa yang engkau rasakan
dan berada dalam sajak yang sama, irama yang sama

senja ini kembali aku terpekur
sesaat setelah hujan dan cuaca dingin
tinggalkan jejak di atas jalanan
kita bersama hiasi udara dengan hangat nafas kita

apa yang pernah kau ceritakan padaku rasamu
akankah kau jadikan sajak gambarkan kisah kita
atau cukup waktu yang tahu

ada satu sajak singkap memori bersama gerimis
terbersit di langit jingga perlahan kelam
sebuah jalan dan pepohonan yang meranggas tegar
dalam batas antara ada dan tiada

Tuesday, May 25, 2010

Bayang Senja di Pelupuk Mata

Senja gerimis menetes satu-satu
dalam kabut menatap gelap
merayap perlahan di aspal jalanan
tertatih jalin kerinduan dalam angan

mendung sore itu membalut hati
hangatkan suasana jiwa dalam dingin
udara senja dalam pandangan jati kering
kokoh menantang cakrawala

kau yang tersipu
kau yang tersenyum
kau yang tiba-tiba membangunkanku

kembali menerawang
peristiwa lalu tlah kembali
hangatkan jiwa yang meranggas

purnama seakan hadir
dalam senja yang merindu

Saturday, May 15, 2010

senja bangkitkan cerita lama

Senja kembali menyapa cerita yang telah ending
mengusik jiwa yang terlelap 
dan memaksa membuka memori yang hampir punah
dalam relung kerinduan

aku ragu apakah cerita ini akan kembali bersambung
dalam drama yang telah berganti episode,
setelah sekian lama peran telah berganti 
dan berjalan tanpa akting

kuharap cerita itu tak akan berulang 
walaupun kutahu tidak mudah melupakan alur itu kembali

apalagi untuk membuat digresi baru




Friday, April 23, 2010

Yang Kumiliki Kini Hanyalah Sebuah Sajak

Bulan sepenggal menggelantung di titian awan
Kau datang tanpa pesan
tiadakah kata kau bawa agar hiasi sajakku
rindu tlah matikan kata dalam otakku

Bulan sepenggal mengintip di balik tirai awan
Pesanmu dahulu masih tersimpan
Pada langit dan waktu yang sama
saat perpisahan menjemput pertemuan

Bulan sepenggal memandangku curiga
sajak tlah terangkai hingga titian
tapi tak jua bersua bayangmu
Entah purnama keberapa
sukmamu dan sukmaku kan terbang
dalam sayap kupu-kupu

Bulan sepenggal masih saja terjaga
temaram kisahmu tlah hiasi rona awan
Yang kumiliki kini hanyalah sebuah kisah
kata dalam sajak dan sajak dalam hatimu

Tuesday, April 20, 2010

Sajak Dirimu Bersamaku di Sayap Kupu-Kupu

Remang bulan sabit merambat berselimut mendung
perlahan mennggeliat bagai kepompong
hembus angin malam semilir di langit temaram
mengalir berarak laksana sinar di matamu
bagai tetesan kalbu menjelma embun di sudut hati

berguguran rasa di sinar korneamu
menjelma setangkai keheningan saat tatap dunia
dan terbang kepakkan sayap
serupa kupu-kupu bayangmu mengitari sukmaku
hinggap di altar kerinduan dalam temaram bulan sabit

sukmaku dan sukmamu selaksa menyatu
terbang dikedua saya kupu-kupu
terbang diantara ranting-ranting
dan beribu kepompong kerinduan tersenyum
saksikan sukmaku dan sukmamu menyatu

bulan sabit menjerat mendung
sementara kabut berarak sergap purnama
aku yang terpekur diantara sayap kupu-kupu
hanya mampu tulis sajak
sajak kerinduan purnama kala bulan sabit tersenyum
sajak kupu-kupu dalam temaram
dan sajak dirimu bersamaku di sayap kupu-kupu
dalam buaian purnama bulan sabit malam ini

Saturday, April 17, 2010

Padamu Mutiara yang Tersembunyi

Kurasakan belai lembut menghembus syahdu
permukaan laut tenang senja itu
sedikit cahaya mengintip di sudut langit
suasana temaram dan tenang menggelayut di pantai senggigi

seharian berpeluh dalam guratan instrumen
tlah sandarkan aku dalam kepenatan
riak kecil gemerisik luluhkan rasa
terhampar terpal biru dalam terpaan senja

mutiara tersembunyi tlah tersingkap
menggeliat dalam desah angin laut
mutiara itu tlah bersinar
mutiara itu tlah bersiap tuk semakin terang

narmada dan gerung tlah kusinggahi
merangkak perlahan bersiap tuk berlari
tangan-tangan berharap tuk besarkan asa
dalam pintalan benang pendidikan

kini mutiara itu menunggu goresan
hingga menjelma mutiara emas
menyinari narmada
menerangi gerung

padamu mutiara yang tersembunyi
pintalah pada tuanmu tuk peduli
hingga kau mandiri menjadi mutiara emas
di lombok barat mendekap harap

Tuesday, April 13, 2010

Sepanjang Tanjakkan Senggigi Kembali kau Membayang

malam belum lagi sempurna
melaju aku di jalan membias kelam
terbius aku dalam gelap
sergap angin beku di perbukitan senggigi

sebatas mata memandang
hamparan pantai dengan kerlip lampu remang-remang
enggan beranjak dalam buaian jagung bakar dan sate ayam
mata bersenggama dengan rasa di bukit senggigi
yang menjalar membawa lamunan

mematung aku dalam kerinduan
canda penjual sate tiada lagi bisa kumaknai
menyingkap sebuah hakikat
tentang dirimu yang tiba-tiba menutup korneaku

sepanjang jalanan terturut penjaja makanan
rahasia alam mengantar kehidupan
terpintal kisah dalam kain berbenang rasa
mencatatkan sajak sepi dalam keramaian
sepanjang tanjakkan senggigi kembali kau membayang


Tuesday, April 6, 2010

Senyummu

aku terkenang kembali pada senyummu
senyum yang selalu hanyutkan hati ini
senyummu menderu bak gelombang
mengombang-ambingkan biduk rasa ini

aku terkenang kembali pada senyummu
senyum yang tlah terpatri di sudut hati

aku hanya mampu bayangkan kembali senyummu
senyum yang teduh dan damaikan rasa ini
ijinkan aku tetap menempatkan senyummu
di sudut hatiku

Saturday, April 3, 2010

Biduk Kembali berlayar

Biduk tlah kembali berlayar
Kubawa risau dan kuadukan pada awan
gelombang menggulirkan harapan

Tentang asa, rasa dan kerinduan

Biduk tlah kembali berlayar
kulihat secercah cahaya dan terangi jiwa yang meradang
kuhiaskan pada dinding dinding hati
kuarahkan sesekali dengan cemburu dan air mata

Biduk tlah kembali berlayar
bidukku kini sarat akan muatan
terbentuk hasrat tuk mengajakmu bersamaku

aku tak sanggup terombang ambing sendiri

Biduk tlah kembali berlayar
Terguncang keras diterpa gelombang
Tinggalkan cerita dalam sajak kerinduan,
Mengikis gumpalan rasa yang mengakar


Sunday, March 28, 2010

kurindui kau wahai purnama

Sisa senja terpotong malam ini
semburat merah tak berujung
tipis berhembus bersama kabut
mengelana rembulam berselimut mendung

Di kelam ini ingin kuraih
Setitik sinar menemu muara rindu
hanya rembulan yang terurai
Meski kutahu tak sempurna

Tapi esok tetap kan berjalan
bersama rindu di ujung senja
rembulan pun terpasung mendung

kurindui kau wahai purnama
bayang wajah ayu menyembul
tertata bagai keramik-keramik pualam
senyummu pun menyeruak
menyapa lara terpasung dalam kenangan

Monday, March 22, 2010

Ada Sukma Merintih Setia Menyapamu

Tanah ini masih basah sisa rintik sore tadi
matahari tlah purna tugas bersama sang camar
derak dahan dan ranting dikejauhan
terus berderak ditiup angin gunung malam ini

gelap masih pucatkan langitku
tipis bergulung seliputi sang sabit membisu
sesekali kilat menyambar
di langit jauh di atas sana


aku yang membeku semakin dingin
membeku bersama rindu
dinding tlah berlumut rindu
mulai retak tergoncang waktu

kuraba kembali sisi hati ini
agar pintu tetap bisa terbuka untukmu
agar pintu menyambutmu saat engkau datang
walau sekedar menjenguk hati ini

bayangmu dalam hatiku
adalah kilat yang membelah langit di atas sana
membias cahaya walau sesaat

walau rembulan hanya sabit malam ini
senyummu seakan kembali menampar kenangan lalu
ada lembaran-lembaran hasrat tersketsa
di sini masih ada sukma merintih setia menyapamu


Monday, March 15, 2010

Pada Awan Merah yang Gugur Senja ini

Pada awan merah yang gugur senja ini
tertulis liku sajak dalam benakku
merah meradang dalam otakku
hanya perih pedih menggores tiap lara kataku

Pada awan merah yang gugur senja ini
serupa senyum dan bulan tersungging
mewarnakan muram
menggores langit tanpa sapakan awan

Pada awan merah yang gugur senja ini
wangi pucuk muda tlah sirna
titisan kalbu menari berteman senandung mimpi

Pada awan merah yang gugur senja ini
kutitipkan mimpi padamu
semoga tak diterpakan angin
rebah dan manjalah di pelukku
wahai kau yang kuimpikan

Saturday, March 13, 2010

Kucoba Rebahkan Rembulan dalam Bayangmu

Aku kembali tersesat dalam mimpi
Gontai mulai ragu dalam langkahku
Tak satu isyarat mampu kubaca
kulihat rembulan terpahat di sudut senyummu
Tapi aku ragu apa yang kulihat
Benarkah itu rembulan semalam
Atau sebuah sketsa silam

kucoba rebahkan rembulan dalam bayangmu
Sungguh sebuah kepiluan yang menyayat
rembulan pucat berselimut kabut
bayangmu pun pudar dalam pekat malam

Aku bukanlah pilihan yang tegar
Meski sajak tlah tertoreh dalam desah nafasku
biarlah sajak-sajakku temukan bayangmu
aku tak ingin kau terluka dalam sajakku

biarlah rembulan tetap di sana
Tetap terpahat di sudut senyummu
kan kulukis saja dalam mimpi
Meski aku kembali kehilangan dirimu

Thursday, March 11, 2010

Di Kereta ini Kita Bertemu dan Berpisah

untukmu yang pernah singgah sesaat di kereta mimpiku
aku ingin kabarkan padamu
semalam kau tlah duduk bersamaku dalam gerbong ini
bersama membisu dalam temaram malam

derit gerbong tlah bisukan hati kita
tlah satukan haru dan rasa di jiwa
meliuk ular besi singkap malam
terabas pedesaan hingga pantai penghabisan

aku yang terduduk di gerbong kereta
sesaat lihat langkahmu gontai perlahan
menapaki karpet merah tinggalkan aku sendiri
aku tak tahu makna senyummu

tatapan tajam korneamu penuh makna luruhkan rasa
lambaian jarimu karamkan luka
menganga akut dalam balutan hampa
aku hanya termenung pandangi jendela

kau pun melenggang tinggalkan
gerbong
aku
kenangan dan
mimpi
kita bersama

aku ingin kabarkan padamu
seringkali kubersandar dikursi gerbong ini
syahdu terasa tiap kali lewati kotamu
mata ini pun tak lelah pandangi jendela
sekedar tuk menatap dan mencari
masih adakah bayangmu
masih adalah kerlingan matamu
masih adakah lambaian jarimu
dan masih aadakah aku di sudut matamu


Monday, March 1, 2010

Kerinduan pada Senyummu

Aku tak pernah dan tak akan berlari darimu
Menjauh pun tak pernah terpikir dihatiku
Aku masih di sini…. tetap ada untukmu
sebait sajak selalu kutulis untukmu

tiap detik kuhanya berbisik pada hati
esok mungkin dapat kuluangkan waktu untukmu

aku tulis sajak tentang hati…
mengembara dalam cakrawala
hingga asa dan rasa menyatu dalam rindu
aku ingin luangkan waktu yang tepat untuk senyummu

Kerinduan pada senyummu kembali menjadi
suara hati dalam sebentuk sajak

Sunday, February 21, 2010

Aku Butuh Engkau Sejukkan Bara Ini

Melangkah gontai kaki ini tapaki putih lantai
memijat mesra rasa dalam tiap langkah
susuri labirin panjang terlukis senyummu

Lelah kusandarkan dalam altar kerinduan
seribu rasa bergemuruh bergolak
ku terpenjara fatamorgana senyummu

dinding putih kamar kembali rangkai sketsa kenangan
jiwa bergolak redakan bara hasrat yang membara
aku butuh engkau sejukkan bara rasa ini
selimut kumal makin nyalakan genderang sepiku


Thursday, February 18, 2010

Hujan Senja Ini

Hujan masih rintikkan tetes satu satu
kabut membadai bergemuruh terpa wajahku
beringsut tubuh ini merapat di tembok bisu
dingin senja itu tlah kurung aku dalam sketsa kenangan

Hujan memang penuh pelangi kala sinar rasa
terangi kecepak air di awan
tersketsa keindahan dirimu dan diriku
menggenggam hujan disetiap lekuk langit
hingga sentuh sudut cakrawala dipucuk pohon pinus

Hujan tlah hadirkan kembali
wangi khas yang kau tebarkan
hingga menusuk jauh kerongga hidungku
seperti saat kau berjalan dalam tudung jaketku
hindari hujan agar tak menampar parasmu

Hujan kembali kau temani aku senja ini
kenangan di sudut jalan yang pernah kita lalui
tersketsa dalam bingkai kerinduan
dalam hujan senja ini kembali aku lukis bayangmu

Tuesday, February 16, 2010

Pekat Mendung Malam Ini

Pekat mendung malam ini tersibak tiba-tiba
pisau cahaya belah awan dan getarkan sukma
gemelegar menggemuruh susupi gendang telinga
korneaku hanya pandangi pisau cahaya menjadi akar langit

aku yang terpekur entah kenapa membisu
nafasku memburu
jiwaku memburu
entah apa yang aku inginkan

kucoba rangkai sajak
rangkai syair nyanyian hati
yang hanya bisa aku nyanyikan
tanpa iringan orkestra rasa

pekat mendung malam ini
kembali aku bergulat dengan pisau langit
terpekur saksikan akar langit sentuh bumi
entah apa yang aku inginkan

sementara entah dimana
sketsa yang dulu pernah kutulis dan kulukis
seakan menghilang
musnah ditelan alam

cahaya dilangitkah kau saat ini
siapakah mendung dan awan yang selalu menebal
aku hanya bisa terpekur kembali
tuk temukan sketsa yang hilang

Sunday, February 7, 2010

Terpekur dalam Gundah di Pesisir

Gerimis satu satu usik kesendirianku, sketsa peristiwa perlahan
Menelusup dan membayang diantara biduk bisu

Rembulan bergumul dengan selimut mendung
saat aku terpekur dalam gundah di pesisir

Ranting bakau bergesekan tertiup angin pesisir
korneaku berpendar dalam gelap mencari bayangmu
pada dahan lembut kugantung asa pada gerimis
Menatap jiwa tertelan waktu dan jarak

Denting air berkecepak seiring detik jam ditanganku tak berhenti.....
Gemanya menggetarkan hingga terajut kerinduan
Termangu menatap bayangmu dalam korneaku

Lagu rindu berdesau dalam kerinduan tak berujung
iramanya lembut menari dalam jiwa
kutatap langit yang masih menetes satu satu tuk mencari jejakmu
perlahan menghilang dalam kabut selaput korneaku





Thursday, February 4, 2010

Kabar Pesisir di Awal Februari

ujung ilalang pagi ini masih teteskan embun
riak-riak kecil lirih beringsut merapat ke pantai
semilir angin pesisir bangunkan biduk dan tali yang lelap sebab hujan semalam

aku kabarkan padamu yang jauh di sana
hari ini pesisir damai dalam ekosistem rasa
asap mengepul dari perapian nelayan
jerit, tawa, tangis anak-anak pun riuh bangunkan pagi

aku kabarkan padamu yang jauh di sana
pagi ini masih lalu lalang sepeda dan becak
berebut jalan tuk cepat sambut tawa dalam kehidupan
sementara istri-istri nelayan sibuk menata ikan

aku kabarkan padamu
udara pagi silih berganti aroma rasa
bau masakan,
bau ikan yang dikeringkan
dan bau khas ombak pesisir

tiba-tiba kau menyembul diantara ombak
tersenyum
berbisik

Thursday, January 28, 2010

Serpih-serpih Berserak dalam Keruh Ombak Pesisir


aku tulis sajak ini

saat mendung kembali singgah di langitku

gumpalan awan bagai serpih serpih yang terserak

berarak munculkan kembali kisahku dan kisahmu


aku ingin memberi kabar padamu

bahwa biduk tak lagi melaut

bahwa jaring tak lagi tersebar

keruh laut kecoklatan tlah kotori pesisir

tentu kamu tak tega lautmu tercemar


sengaja aku tulis sajak ini

ingin kembali rangkai serpih serpih yang berserak

ingin kembali kenang segala yang pernah ada

hingga keruhnya ombak kembali bening

hingga biduk tak lagi hanya mendengkur

hingga jaring kembali tersebar

hingga pesisir tersenyum tuk sambut bayangmu


aku tulis sajak ini

tatkala kau membayang

kau berlari kejar kepiting kecil

dihalusnya pasir yang manjakan telapakmu

kau pun berteriak dengan senyum simpulmu


Kurangkai kembali semua itu hari ini

kala pesisir tak lagi bisa kau sapa manja

kala pasir tlah berubah jadi lumpur


biarlah lumpur dan keruh ombak

tak lagi seperti dulu,

hati ini masih sapa serpihan serpihan bayangmu

tiap kali kumelangkah di pesisir ini





Thursday, January 21, 2010

Gerimis dalam Sajakku

Seperti pagi-pagi yang lalu
sajak terbata per kata dan per bait
dingin beringsut memelukku
kau pun berkali membayang
tersketsa dalam tiap tetes embun

matamu dan hatiku tlah tersenggama rasa
aku pun berlari tatap langit
adakah matahari di sana

kusapu langit perlahan
yang ada hanya kemuraman
kepucatan
dingin kembali hadir
hingga berkali kubunuh rindu ini

sajak menetes satu satu menghujam bumi
semakin menusuk
semakin membasah
terpekur aku dalam buaian gerimis
tuk kembali bunuh rindu ini

Monday, January 18, 2010

Dalam Sketsa Kau Membayang


Kuncup mendung di ujung langit

selaksa daun terserak

bergerumbul saling dekap dalam pekat

asa lama tertoreh menumpuk tlah kaburkan embun

dalam tipisnya cahaya.....


mendung hari ini kembali

menguak sketsa yang tlah kugores

rintik satu satu pun pilukan rasa

hingga sketsa terkotak-kotak


kutata kembali alur alur dalam balutan

sketsa itu kembali tersusun rapi

tetap kudekap hangat

seperti kerinduan dan pertemuan

Sunday, January 10, 2010

Bersama Rinai Petang Ini

Aku tulis sajak ini kala rinai membentur dinding bisu
Senja memang baru saja berlalu
Tinggal rinai dan kerlip kornea kornea lima watt
dalam lembayung kabut yang semakin syahdu

Aku tulis sajak ini kala rinai membentur dinding bisu, rinai pun mempercepat kelam dalam buaian azan mengharubirukan rasa, angan, kerinduan dan keimanan

Aku tulis sajak ini kala rinai membentur dinding bisu, Sebersit rasa pun memburu Mengoyak kenangan yang tlah tertanam dalam altar asa, Perlahan retak dan membentuk alur alur yang pernah tertulis

Kau kembali hadir dalam alur-alurku, kau tlah menjadi roh dalam sajak-sajakku, Aku rasakan kehidupan kembali hadir dalam sajakku

Aku tulis sajak ini kala rinai membentur dinding bisu, Perlahan tetes satu satu terhenti dalam lorong berkabut, orang-orang pun berlarian mengejar rakaat pertama

aku hanya pandangi sajak-sajakku yang kembali kehilangan roh, saat pecahan-pecahan alur semakin menghilang bersama rinai petang ini

Thursday, January 7, 2010

Ketika Aku Kehilangan Kata-kata

Terhempas ombak berkali karang tiada bergeming
sementara mendung masih saja bergelayut tebal di pesisir ini
Aku tertunduk kehilangan kata-kata
Mulutku t’lah lelah ungkapkan rasa
Hingga mati rasa, mati kata
Kutak peduli lagi apa kata camar dipelukan angin pesisir

Hari pun seakan lelah menyapaku
bahkan bulan pun tak sadar tlah kuarungi
aku tak pernah temukan lagi kata hilang itu
letih aku rangkai kembali, kini pun lenyap tanpa muara
Mencarinya pun kini ku tak tahu entah ke mana?

ingin lupakan semua kata itu
perlahan kususun rangkaian sajak baru
kumulai tautkan kata frase klausa hingga kalimat baru
Kembali sajakku kini dengan kata-kata baru

aku terisak ketika kutemukan kata-kata baru
teringat mawar yang pernah mekar
Kuresapi dan ku rasakan
Walau mungkin suatu saat nanti mulutku tak berhenti eja
ku sadar seperti menemukan kata-kata yang hilang itu
Ya, aku berharap hati ini mampu bersajak lagi dengan kata-kata baru
seiring angin yang berhembus di pesisir ini
karang pun tetap terhempas ombak
dan aku makin tertunduk di bawah nyiur

Saturday, January 2, 2010

Berharap pada Sajak


Sajak cinta yang kurangkai dalam tiap merindumu
perlahan terombang-ambing dalam makna
tak beraturan bersama teriakanku

Sajak Rasa itu kini jadi sumbang
Seperti kamu yang selalu membayang
dan tak pernah mau menghilang

aku tulis sajak ini kala pesisir
semakin lusuh pucat tanpa cahaya
aku kabarkan padamu bahwa angin pesisir
selalu merindukan angin gunung yang sejuk

aku hanya berharap
dalam sajak-sajakku kelak
kau tetap hadir bersamaku
rangkai kata-kata tuk buat sajak baru