Tuesday, March 31, 2009

Secangkir Teh di Senja Akhir Maret




Angin pesisir berhembus mesra menyapa biduk.

Tiang tali tertambat malas dalam pelukan senja

Kutuangkan secangkir teh yang penuh dengan gula manis.
kau minum dengan penuh rasa dahaga yang tinggi.
Kau berikan sisanya untukku tanda kita berbagi rasa.
Rasa yang ada padamu membuat akupun luluh .

Kau membuatku terpesona akan aura yang kau pancarkan.
Kau pancarkan seberkas harapan tuk saling bersama.
Kau berikan impian-impian yang begitu indah.
Seuntai asa yang kita rangkai bersama menjadi tanda.

Namun semuanya tlah sirna dan berbekas pahit.
Aku tak sanggup merasakan kepahitan itu.
Apakah kaupun ikut merasakan kepahitan itu?
Mungkinkah kepahitan itu berubah kembali menjadi manis?
Semanis gula yang pernah kita rasakan dalam secangkir teh waktu itu.

Menjelang 1 April 09

 


Thursday, March 26, 2009

Biarlah Angin Sejukkan Bathinku (Janur Kuning pucat dimataku 2)


Remang cahaya perlahan menyusup di sela-sela bulu mata dan menelusup jauh menusuk retinaku, perlahan darahku pun terasa mengalir cepat memerintah otak tuk menyangga badan dengan gerak kakiku yang terasa kaku. perlahan leherku pun spontan menggeleng seirama nafasku.

"Aku di mana?......kenapa dengan Aku...?"

"Kamu sudah di rumah
Nang..., tadi kamu kenapa? sakit..?" dari seorang yang tidak asing bagiku

"Nggak papa kok
Mbah..."

" Ndak papa kok di bawa banyak orang, di pesta
nganten lagi?"

Aku tidak bisa menjawab hanya gerak tubuhku yang memaksa ingin duduk, tapi kembali bumi serasa bergoyang hebat. Sepi sesepi rasa dalam benakku, teringat beberapa menit yang lalu aku berada di tengah pesta pernikahan Wisma yang meriah kala bumi kembali membalikkan aku dalam kesunyian.

"sudahlah kamu istirahat saja di
dipan ini..., jangan kemana-mana, senangnya kok merepotkan orang..."

"Iya
Mbah....."

Aku pun manjakan tubuhku diantara anyaman bambu yang mengkilat, entah kali keberapa punggungku bersenggama dengannya, hingga bambu itu bersinar bak pualam. Alunan Musik dari pengeras di rumah Wisma tak terdengar lagi. Ada yang aneh? sebuah perhelatan besar tanpa suara musik. sangat kontras dengan perjalanan waktu yang lalu saat aku juga rebah di
dipan ini.

"Mas dapat titipan dari mbak Wisma....."

"Eeee kamu to...? apa itu?

"gak tahu Mas..., aku hanya mengantar saja kok " dengan kethus dan berlari menjauhiku
Aku cuma bisa menatap kertas lusuh yang nyaris koyak itu.

Huruf demi huruf tulisan tanganku dan tulisan tanganmu ,
Menyatu menjadi kata kemudian terjalin menjadi kalimat
lalu tercipta menjadi rangkaian puisi hidup yang teramat indah.
Banyak sudah kisah tentang tawa kita lewati,

pun perihnya duka yang menghadang terlampaui,
membuat kita sangat bangga pada buah karya itu
dan memastikan semua hati pasti akan iri
saat membaca jalinan kisah kita yang di penuhi wangi semerbak.

meski kita menyadari tinta yang kita gunakan adalah tinta hitam
kertasnya tetaplah kertas putih perlambang cinta nan suci,
buktinya adalah begitu perkasanya ruang dan waktu
melindungi kita dari fitnah yang setiap saat ingin ikut membubuhkan tinta

tinta merahnya yang berintikan bara api…………..
Mungkin …. baru separuh perjalanan kita lalui
tapi teramat banyak angkuh yang telah kita tundukkan,
kitapun segera mengawinkan asa , agar terlahir karya sempurna.

Namun puisi hidup tak bisa terduga kemana ujungnya.
Tak kusangka dengan hanya setitik dusta yang tersiar,
mampu menutup semua pintu kejujuran.

dan imaji kita terhenti………
Tinta hitam kini menjadi bening.
Sebening air mata kita yang membanjir.

Kini … Tak ada jejak hitam yang bisa terbaca lagi,
Kecuali Kebeningan yang pernah kau puja itu.
Melumuri Putihnya segala itikad kita.

Kertas putih …..berisi wangi puisi hidup itu…..
kini lusuh….Basah…………


"Aku pinjam puisi ini special untukmu"

Kristal bening pun menggores
menarik garis lurus hingga sudut bibir, aku tidak bisa mencegah biarlah bening air itu membersihkan dan kuharap bisa menghapus bayangmu dari pelupuk mataku. Maafkan, bila aku hanya ingin sesaat tak melihatmu menari-nari.

Tanpa sadar Kakiku melangkah menuju sepeda tua peninggalan
Simbah Kakung, Kukayuh perlahan kuajak berjalan-jalan mengarungi lautan duka, dering bel di kemudi pun masih nyaring, jeruji berdenting seiring nafasku berkejaran dengan waktu. semakin kupercepat hingga aku pun rebah di gubug tua tempat aku berkeluh kesah bersama cericit emprit , kepiting sawah, serangga padi, serta angin yang setia menyejukkan bathinku.

"
Mbah maafkan aku, aku tidak bisa nemani Mbah makan siang hari ini"


Boja, 27 Maret 2009




Tuesday, March 24, 2009

Janur Kuning Pucat di Mataku



Janur kuning berdiri kokoh di depan rumahmu, terjulur hampir menyentuh tanah berjuntai-juntai seakan menyambut salam pada tamu.Wangi melati pun semerbak menghembus bersama harum kamarmu, sementara harum bawang goreng dan bumbu pun mulai menodai udara kampung.Telah tertata rapi di depan rumah ugo rampe di bawah teduhnya tenda biru putih. Semua saudaramu, tetanggamu pun sibuk bersatu tangan menyambut hari istimewa bagi keluargamu.


Sementara di kamar, kamu mencoba baju pengantin berkali-kali sebelum calon suamimu datang, cincin tlah melingkar di jari manis sebagai tanda ikatan sunnah Rosul. Kamu tlah siapkan buku tamu yang kan berisi semua karib dan rekan kerja. kamu membaca undangan yang tersisa dari yang telah tersebar, daftar nama pun kembali kamu baca "adakah yang terlewat" dalam bathinmu berucap.


Tepat pagi itu Tanggal yang kamu dan Orang tuamu nantikan. Suara Kebo giro mengalun menyayat hati, hilir mudik kendaraan dan orang tiba-tiba meramaikan jalan yang biasanya purba ini. Aku terdiam tatap padi yang mulai menguning seiring dengan bunga mangga yang tak kalah semerbak dengan melati. Burung sawah pun berlomba dengan angin tuk hinggap di ujuang padi, sementara suara kaleng ditarik penunggu sawah berdenting dengan alunan kebo giro membising di pagi itu.


Ada yang aneh, tidak seperti biasa aku enggan beranjak dari dipan ini. Aku tlah berkali rebah, namun rebah yang paling menyentuh dasar hati hingga aku enggan beranjak. Kebo giro tlah berganti irama dangdut, Kak Rhoma pun bersenandung dengan "Kehilangan" yang makin membuat aku rebah. Ya aku kehilangan sesuatu yang memang tidak seharusnya aku miliki.



"Kalau sudah tiada baru terasa"

"Bahwa kehadirannya sungguh berharga"

"sungguh berat aku rasa kehilangan dia"

" sungguh berat aku rasa hidup tanpa dia"



Tak terasa aku pun semakin terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam yaitu jurang kekecewaan. Ngarai yang begitu terjal semakin menghempaskan hati yang tlah terluka. Entah sampai kapan luka ini kan mengering. Kembali kuberusaha bangkit dari keterpurukan akal dan pikiranku. Kulihat burung, padi, awan dan mentari yang semakin terik ditengah pesta meriah pernikahanmu .
"Kamu kok masih tiduran to? mbok sana bantu-bantu, wong ada orang mantu kok di rumah saja?" Suara yang begitu kukenal mendesing bagai peluru ditengah kegalauanku.
"Nantilah mbah..., sudah banyak yang bantu kok, tanpa aku pesta juga masih berlanjut mbah"
"He ladalah..., kamu kan teman dekat wisma..., gak baik ditengah pestanya kamu tidak membantu...., ada apa to Nang?"
"Ndak ada apa-apa kok Mbah.., ya sudah sebentar lagi Nang ke sana...."
"Yo wis, Dah mandi sana..., kamu itu Nang! Nang!...."
Angin kembali berhembus bersama langkah Simbah menyibak tirai menyekat serambi dan ruang tamu. Angin yang begitu menyesakkan, kembali membuat aku terpenjara dalam rana.
Sepenggal tanah tlah aku jalani dan detik waktu tak pernah mampu menentramkan perasaanku. aku berada dalam kebimbangan antara datang dan pergi jauh meninggalkan desa yang sedang menggelar hajat besar dari sebuah pernikahan Wisma. Batik kesukaanku tlah memeluk erat, bau khas "Fougere" pun tlah mengharumkan tubuhku hingga menusuk ruang kamarku. cericit burung sawah seakan mengejekku berteriak agar aku segera menentukan sikap.
Kubiarkan kaki ini melangkah mengikuti asa dalam jiwaku, tanpa sadar entah mengapa lajuku justru menuju keramaian yang sangat ingin aku hindari. Mengalun lagu "Arjun" dari pengeras suara.
"Mengapa......dalam perjalanan cintaku......"
"Selalu ada yang merintang.........."
"Pada diriku....... yang Hinaaaaaaa"
Aku makin terhimpit dalam keraguan yang memuncak haruskah aku teruskan langkah ini menuju ke depan pelaminan, atau aku harus ke belakang membantu para Ibu-ibu memasak. Kutatap mata tetanggaku yang entah apa makna yang tersimpan di dalamnya. Tak satu pun mata yang tak memandangku tiap aku melangkah. Aku berdiri di persimpangan antara dapur dan tenda pelaminan.
Wisma berdiri di altar menatapku. Tersenyum. Senyuman paling indah yang pernah kulihat. Matanya memancarkan sinar kebahagiaan. Aku temukan pelangi indah di matamu, tapi sayang pelangi itu tidak untukku. Dan aku disini, berjalan dengan lambat, mencoba menenangkan degup jantungku. Keraguan itu kembali datang, haruskah aku terus berjalan, ataukah aku berhenti dan lari meninggalkan tempat ini pergi kemana angin membawaku.

Mataku tiba-tiba gelap, langit terasa berputar membawaku ke tengah pusaran duka, gempa kecil terasa menggetarkan seluruh tubuhku. Tanah tak lagi bersahabat, kaki ku pun tak lagi mampu menopang tubuh, aku limbung sejurus dengan teriakan tamu undangan.

Sebuah Kado untukmu yang kan berbahagia

Cerita Untuk Dia

"Aku Pergi......."
Aku terperanjat. Aku menatap matanya, ada keseriusan disana.
“Pergi kemana?” tanyaku pelan.
Dia menggeleng. Tatapannya menerawang ke angkasa, ke langit bertabur bintang. “Entahlah. Mencari jalan pulang mungkin. Mencari jalan kembali.”
“Jalan kembali?” ulangku bingung.
Dia tersenyum kecil.
“Langit malam ini indah ya,” ujarnya seolah tidak mendengar perkataanku. Aku yakin benar, dia tahu aku menanyakan sesuatu. Aku mendapat kesan dia menghindari pertanyaanku.
“Aku tidak akan pernah mengelak dari pertanyaanmu, kalau itu yang kamu pikirkan,” katanya tiba-tiba.
Untuk kedua kalinya aku terkejut. Dia memang seperti cenayang. Aku memilih diam. Sayup-sayup aku mendengar suara binatang malam. Menimbulkan sebuah sensasi di batinku. Aku memejamkan mata, mengikuti alunan iramanya.
“Barangkali dia tidak akan pernah kembali lagi,” kata-katanya membuatku tersadar dari syahdunya nyanyian alam. Aku kembali memperhatikannya. Dia masih tetap memandang purnama yang bersinar keperakan di atas sana.
“Memangnya dia pergi kemana?” aku mendesaknya.
Dia tertawa kecil. Tawa tanpa perasaan bahagia. Angin berhembus. Aku menggigil. Aku menaikkan kerah jaket, menghalangi tengkukku dari terpaan angin dingin.
Dia pergi. Aku masih ingat ekspresi wajahnya saat dia melangkah meninggalkanku. Padahal aku sudah memintanya untuk tetap tinggal. Padahal aku telah berkata supaya dia jangan menghilang. Tapi dia tetap berlalu.
Suaranya bergetar. Mungkin karena dinginnya udara. Atau dinginnya hati?
“Apakah dia pergi karena…” aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku. Matanya yang menatap bulan sekarang berkaca-kaca. Hari semakin malam. Malam semakin dingin. Dan kami semakin membeku. Dalam diam.
Angin lagi-lagi bertiup. Dia memejamkan mata. Setetes air mata jatuh. Aku memalingkan wajah, tidak sanggup melihat pemandangan ini. Entah mengapa hatiku sakit. Aku mendengarnya menghela nafas. Tuhan… Aku makin merasa sakit… Sakit sekali…
“Jangan ikut sedih karena aku. Semuanya terjadi gara-gara aku,” dia berkata lirih.
“Tapi…” aku hendak menyampaikan sesuatu tapi dia mengangkat tangannya menyuruhku diam.
“Karena aku… Akulah yang menyebabkan dia terluka. Dan juga kamu…” dia menambahkan pelan sekali, nyaris berbisik.
“Aku tidak terluka. Sama sekali tidak,” bantahku.
Dia tertawa lagi. “Jangan bohong. Aku mengenalmu. Matamu itu… Matamu tidak pernah bohong.”
“Jadi…” aku berhenti sebentar, menunggu adanya interupsi, tapi dia tidak melakukan apa-apa, maka aku melanjutkan, “jadi kemana dia pergi?” ulangku.
“Sudah aku bilang dia mencari jalan pulang. Jalan kembali ke kehidupannya semula. Hidupnya tanpa aku.”
“Kenapa dia mencari jalan pulang?” tanyaku heran. “Bukankah dia bahagia?”
“Bahagia?”
“Sepertinya begitu…”
“Dia tidak pernah bahagia. Dia menderita. Aku yang membuatnya menderita. Dia pergi karena dia tidak tahu mau kemana bila dia tetap tinggal disini. Dia tersiksa dengan semua ketidakpastian ini. Sehingga dia memutuskan untuk lenyap dari hidupku. Selamanya…”
“Kelihatannya dia sangat bahagia. Tertawa. Tersenyum…”
“Kamu belum mengerti juga ya? Perhatikan matanya saat dia tertawa. Apakah mata itu ikut tertawa? Lihat dia ketika dia tersenyum. Apakah senyumnya sampai ke matanya?”
Aku merenung, mengingat-ingat. “Aku… Aku tidak tahu… Maksudku aku tidak pernah mempedulikan hal itu sebelumnya.”
Purnama semakin condong ke barat. Dedaunan yang tidak bergoyang menandakan bahwa angin sedang tidak bertiup.
“Tak banyak yang peduli. Namun aku peduli. Aku sadar dia berjuang sekuat tenaga untuk tidak menangis. Dia kuat. Harusnya aku tahu bahwa dia tidak mungkin bertahan selamanya. Dia toh juga punya impian. Impian dengan aku di dalamnya.”
Aku mencerna kata-katanya. Aku juga tidak pernah tahu kalau gadis yang diceritakannya selemah itu.
“Aku tidak pernah menjanjikan impian itu. Dia membangunnya sendiri. Karena dia mengira aku mencintainya,” katanya lagi.
“Mengira? Berarti kamu tidak mencintainya?”
“Pertanyaan itu pula yang menggangguku. Dia juga menanyakan hal itu sebelum dia beranjak pergi. Dia bertanya dengan air mata menggenang, dan tersenyum sewaktu aku tidak menjawab apa-apa.”
“Dan setelah itu dia pergi?” tanyaku.
“Ya. Setelah itu dia pergi. Masih tetap tersenyum. Senyum paling tulus dan paling jujur yang pernah dia perlihatkan kepadaku. Mengapa dia begitu tenang? Padahal aku tahu betul betapa perihnya dia,” ada kebingungan dalam suaranya.
“Mungkin dia lega akhirnya dia menemukan jawaban dari pertanyaannya selama ini. Aku juga akan begitu. Tersenyum ketika aku menemukan pencerahan dari sebuah ketidakpastian.”
Untuk pertama kalinya dia menatapku. “Begitukah?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Dan setelah itu apa kamu juga akan pergi?”
“Mungkin,” jawabku pelan seolah ditujukan untuk diri sendiri. “Paling tidak aku tidak perlu berharap lagi. Dan menurutku dia juga berpikiran yang sama.”
“Aku salah…” gumamnya.
Aku tersenyum menenangkan. Matanya kembali melayang ke bulan.
“Tapi mengapa dia pergi saat aku sendiri masih mencari jawaban dari pertanyaannya? Seandainya dia menunggu sedikit lagi…”
“Dia lelah menunggu. Dia lelah menerima perlakuanmu… Dia bingung. Kadang tindakanmu seolah berkata kalau kamu suka dia. Namun kadang kamu bisa menjadi sangat kejam dengan tidak mempedulikannya,” aku memotong ucapannya.
“Aku tidak mengerti apakah yang ku rasakan ini cinta atau bukan. Aku hanya… hanya tidak sanggup berkata-kata. Aku menginginkannya. Tapi aku juga tidak mau menjanjikan apa pun.”
“Dan itu makin menyakitinya. Sadarkah kamu?” aku mulai emosi sekarang.
Dia mengangkat bahu.
“Kamu membuatnya berpikir untuk tetap tinggal atau melanjutkan langkah. Kamu membuatnya ragu. Dia dihadapkan pada dua pilihan yang dua-duanya gelap!”
Nada suaraku yang meninggi membuatnya terlonjak kaget. Dia menoleh ke arahku. Aku dapat merasakan dadaku bergemuruh. Tidak seharusnya aku marah. Tidak di saat-saat seperti sekarang.
“Aku… Maaf…” aku berkata gugup.
Dia menggeleng. “Kamu pantas marah. Aku patut diperlakukan seperti itu.”
Hening kembali meraja. Aku disibukkan oleh pikiranku sendiri. Sementara dia tercenung di sampingku, lagi-lagi memandang ke atas, ke arah langit.
“Akankah dia kembali?” tanyanya memecah kesunyian.
“Aku tidak tahu.”
Sunyi. Lagi. Kali ini lebih lama. Ada sendu bernyanyi dari dalam hatiku. Sendu yang membuatku ingin menangis, berharap air mata itu mampu mengubah beban yang menggelayut di jantungku menjadi asap, sehingga aku tidak perlu merasa sakit setiap kali aku mengingatnya. Mengingat orang di sampingku ini.
“Aku ingin tahu apa yang sedang dilakukannya saat ini,” katanya perlahan.
“Mungkin dia masih tidur,” jawabku.
“Mungkin juga dia masih terjaga, aku merasa dia belum tidur. Sama seperti kita.”
“Yah, mencari tahu kenapa dia bisa begitu menderita.”
“Dan jawabannya…”
“Ada padamu. Jawaban yang mungkin tidak akan pernah dia ketahui kan?” kataku padanya.
Dia tidak menjawab.
Langit di ufuk timur mulai terang. Sepertinya rembulan akan pamit pulang, dan mentari akan datang. Dia menghela napas panjang.
“Sudahlah. Dia toh telah pergi. Semuanya telah berlalu. Dan yang lalu biarlah jadi abu,” katanya seraya berdiri.
“Tunggu!” aku menahannya.
Aku ikut berdiri. “Kenapa kamu selalu memandangi langit?” tanyaku.
Dia tersenyum. “Dia pernah bilang, kita berdiri di bawah langit yang sama, kita melihat bulan yang sama, kita menghitung bintang yang sama. Maka tataplah langit jika aku merindukannya, supaya aku merasa dekat dengannya, karena di suatu tempat yang lain, dia pasti juga sedang memandangi langit, selalu, karena dia selalu merindukanku.”
Setelah berkata begitu, dia melangkah pergi. Namun sebelum langkahnya menjauh, dia berhenti dan membalikkan tubuhnya.
“Aku memang tidak pernah bilang kalau aku menyayanginya, tapi aku pernah bilang kalau aku merindukannya, dan aku tidak akan pernah marah padanya.”
Dan dia pun melenggang pergi, meninggalkanku sendiri.
“Kamu tahu? Kamu juga pernah bilang kalau kamu merindukanku,” batinku.
Perih…
Aku pinjam catatan Vye's Site

Sunday, March 22, 2009

Profesor dan Sopirnya

"Cepat, nanti kita terlambat sampai ke Salatiga, Pak!, Ayo berangkat" ajak profesor
"Iya, Prof...!" jawab sang sopir

Percakapan di atas sering terdengar antara seorang profesor pakar pendidikan dengan sopir setianya. Undangan mengisi seminar, workhsop, dan pelatihan bagi calon sarjana, guru, bahkan mahasiswa s2 serta pemerhati pendidikan hampir setiap minggu selalu dilakukan dan tidak hanya di satu tempat. Minggu ini di kota magelang, minggu selanjutnya di Salatiga dan begitulah kehidupan Profesor dan sopir setianya.

Profesor selalu membaca saat berada di mobil guna menyiapkan bahan yang akan disampaikan, sehingga dalam mobil itu tidak hanya sopir dan profesor tetapi juga buku-buku menjadi penumpang lainnya.

Profesor selalu memberi kesempatan pada sang sopir untuk selalu mendengarkan setiap kali ia mengisi ceramah. Panitia tidak bisa menghalangi sang sopir untuk duduk dikursi peserta walaupun hanya di kursi sudut belakang, karena permintaan sang profesor. Begitulah setiap kali profesor berbicara sang sopir pun menjadi pendengar setia. Satu dua kali hingga akhirnya sang sopir hafal betul apa saja yang disampaikan tuannya.

Setiap kali selesai acara dalam perjalanan pulang sang profesor selalu berdiskusi dengan sang sopir, awalnya memang sang sopir ragu, tetapi atas desakan dan ajakan profesor untuk memberikan tanggapan dari proses seminar akhirnya sang sopir terbiasa berdiskusi dengan tuannya.Bahkan sang sopir berani mengkritik sang profesor.

Hari itu jadwal seminar di kota Kendal akan dilaksanakan pukul 08.00 Wib di Pendopo Kabupaten. Profesor datang atas undangan praktisi pendidikan dengan peserta dari pejabat dikpora baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat kecamatan, para guru, dan tenaga kependidikan lainnya. Hingga pukul 06.30 sang profesor merasa tidak nyaman dan ada yang aneh hari itu. Profesor mengeluh sakit pada lambung hingga mempengaruhi kerja darah dan merasakan pusing.

"Pak...., hari ini jadwal seminar di kota mana?" tanya sang sopir
"Hari ini kita ke Kabupaten Kendal..., tapi khusu hari ini kamu yang mengisi menggantikan saya"

Tersentak sang sopir mendengar kalimat tuannya.

"Tapi Pak? saya hanya lulusan SD, SMP saja tidak tamat... bagaimana mungkin saya harus ngomong dihadapan para sarjana dan guru Pak?"sanggah sang sopir

"Kamu kan setiap kali saya ceramah selalu mendengarkan di belakang..., nah hari ini materinya sama persis dengan seminar kemarin ketika di Ungaran" jawab profesor sambil mengambil Jas di lemarinya.

"Tapi.. Pak!" sergah sang sopir
"Sudahlah kamu pakai Jas ini dan saya akan memakai baju kamu.

"Nanti kamu tetap kendarai mobil ini bila menjelang tempat seminar aku yang gantikan."
"Iya Pak" jawab sopir dengan setengah hati

Akhirnya mereka tiba di pendopo kabupaten kendal, sang sopir yang telah menjelma jadi profesor disambut pejabat penting bahkan diajak berdiskusi singkat di ruang transit. sementara sang profesor yang telah berbaju sopir duduk di kursi paling belakang seperti halnya sopirnya.

Dag dig dug jantung profesor ketika sopirnya tampil di podium utama memaparkan makalahnya. Lega campur haru sang profesor tersenyum ternyata sopirnya mampu menjelaskan dengan lancar bahkan sama persis seperti apa yang sering ia sampaikan.
Tiba saatnya sesi tanya jawab. Ini adalah bagian yang paling ditakutkan profesor. Di luar dugaan profesor ternyata sang sopir mampu menjawab dengan lancar semua pertanyaan pada sesi pertama. Demikian juga pada sesi kedua sang sopir mampu menjawab 2 dari tiga pertanyaan peserta karena kebetulan pertanyaannya sama dengan pertanyaan yang ditanyakan peserta di kota kabupaten lain. Satu pertanyaan belum terjawab jantung profesor berdegup kencang karena memang pertanyaan ini baru muncul di Kabupaten Kendal.

"Baiklah hadirin, pertanyaan yang sangat bagus dan terus terang pertanyaan ini baru ditanyakan di Kota ini selama saya berkeliling tidak ada peserta yang bertanya pada masalah ini, jadi ini pertanyaan yang sangat bagus" jawab sopir sambil tersenyum

Profesor terperangah atas jawaban sang sopir, "bagimana mungkin dia menjawab, membaca bukunya dan mendengar jawaban saya juga belum pernah" pikir sang profesor

"Pada kesempatan ini, biarlah sopir saya yang akan menjawab" sambil menunjuk profesor yang duduk di kursi belakang.

Profesor kaget tetapi ia kagum dengan kecerdikan sang sopir, Ia pun dengan santai maju menuju mimbar dengan diiringi tatapan mata peserta. Ia pun menjawab dengan lancar karena sebetulnya Ia profesor yang asli. Tepuk tangan pun membahana ketika sopir yang sebenarnya profesor itu selesai menjawab dengan lancar.

"Hadirin sekalian, sopir saya saja bisa menjawab, apalagi saya.........." mengakhiri ceramahnya

Tepuk Tangan kembali membahana mengiringi turunya sang sopir dari mimbar, sang profesor tersenyum haru di belakang dengan linangan airmata yang melintas tanpa bisa dicegah.


Sekedar Perenungan
digubah seperlunya dari sisipan pidato tanpa teks Ketua PGRI Pusat
DR. Sulistyo, M.Pd

Thursday, March 19, 2009

Catatan Kenangan

Ketika tak sengaja memandang bintang di langit Boja, ternyata muncul banyak sekali, saya terkejut dan kaget. Entah apa memang setiap malam bintang terlihat begitu banyak berkilauan dan saya terlalu cuek melewatkannya, saya tak begitu tahu, yang jelas tebaran bintang yang tak sengaja saya lihat itu sudah bawa ingatan saya kembali. Ingatan tentang perjalanan di kegelapan setiap malam, menembus hutan jati yang lebat dan sunyi, meniti hati hati jalan kecil yang mirip sungai yang dikeringkan dari pada jalanan, memandang bintang yang terasa lebih terang dan besar di kegelapan total, di atas rumpun pepohonan jati, di puncak tertinggi perbukitan.

Apakah saya rindu?
ya, saya rindu saat itu, dan seketika mencintai, saat saat dimana kesunyian terasa sangat erat mendekap.

Beginilah yang sering dikatakan orang, rasa mencintai itu akan terasa lebih besar ketika kita tak lagi bisa dekat dengannya (siapapun…apapun..)
Hanya bisa mengenang dengan senyum kecil yang tersungging tulus…



dari lubuk hati.



Secarik kertas kumal terbuka, secara manual mata ini meraba tiap jengkal kalimat yang tertuang. Tak terasa lembut mengalir menyentuh sudut bibir menoda dan menggores pipi. Kenangan itu kembali menebar ditiap rongga fikiran. Tertegun aku tatap langit begitu indah langit yang selama ini jarang aku pandang.

Kuresapi kembali memori yang tlah tersimpan rapat dalam fikiranku, satu per satu berloncatan, ada yang berloncatan dengan lincahnya, ada yang merangkak tertatih-tatih mengiba, bahkan ada yang terbaring enggan keluar.

Semua hanya bermuara pada satu kata "Rindu datang, kita merasa kehilangan, apabila semua telah meninggalkan kita"

Aku rebahkan diri di Bale-bale sambil mengintip langit dari sela-sela daun yang merentang. Aku renungkan kalimat dalam kertas kumal bersama ukiran jiwa yang tiba-tiba membentang bersama bintang-bintang.









Organ Tunggal (Sebuah Kado yang Maradang)

Mahnun betul-betul meradang. Ia merasa sangat marah melihat pertunjukan organ tunggal yang berlangsung di halaman samping rumahnya itu. “Ini sudah keterlaluan, tidak ada toleransi untuk maksiat macam begini.”

Ia merasa tidak bisa terima pakaian penyanyi seminim itu. Tanpa risih sedikit pun ia melenggok di panggung dengan rok yang jauh di atas lutut sehingga memperlihatkan celana dalam hitam ketatnya, baju tanpa lengan yang memperlihatkan pusar dan sebagian perutnya serta membiarkan punggung bagian atasnya terbuka.

“Memang begitu tradisinya, Mas.” Mugi, adiknya menanggapi. “Namanya juga menghibur.”

“Dia menghibur dengan nyanyian atau tubuhnya? Kau mengundang organ tunggal untuk mendengar musik bukan? Bukan untuk tubuh terbuka dan goyangan demikian.” Sungutnya.

“Ya bagaimana lagi?!” Mugi menjawab setengah kesal setengah bercanda. “Sudah satu paket dari sananya.”

Mendengar itu Mahnun kian marah dan berbalik meninggalkan adiknya yang hanya bisa melongo.

Mugi menggaruk kepalanya. Ia heran dengan tingkah kakaknya. Bukankah organ tunggal memang identik dengan goyangan. Soal pakaian, itu kan hanya baju panggung. Mugilmengenal satu-dua orang penyanyi organ tunggal. Bahkan dia juga nyaris berpacaran dengan Lisya, salah satu artis organ tunggal yang agak populer dan masih sekolah. Jika itu terjadi yang menjadi pendampingnya sekarang bisa-bisa bukan Yeyen. Atau sama sekali belum menikah saat ini. Siapa tahu!

“Kalau tidak berani begitu, tak akan ada yang mau ngajak kita manggung, Mas.” Mugi ingat kata-kata Lisya dulu. “Mana ada orang mau mengundang kita yang menyanyi dengan pakaian rapi.”

Mugi paham akan hal itu. Ia biasa dengan hiburan organ tunggal dan hampir selalu mengikuti di setiap hajatan. Lisya benar, jika penyanyi tidak berpenampilan seksi mana ada yang mau menonton pertunjukan itu. Dan biasanya, sepanjang yang dibicarakan juga soal artisnya, cantik-tidak cantiknya, soal goyangnya, dan semacamnya. Tak ada pembahasan masuk ke soal suara dan teknik bernyanyi. Baginya, lagu apa pun yang dibawakan para penyanyi oke aja. Yang penting goyangnya, Mas!

***

Wiwin Kombor yang menjadi MC sekaligus yang mendapat tanggung jawab kelompok organ tunggalnya, merasa kalang kabut setelah didamprat Mahnun. Ia bingung sekaligus heran, biasanya tuan rumah yang meminta penyanyi organ yang cantik dan berpakaian yang lebih terbuka. Tetapi kali ini kok ada tuan rumah yang tersinggung karena pakaian artisnya?

“Pokoknya, kalau sampai artismu tidak berganti pakaian, acara ini akan dihentikan pada pukul dua belas pas.”

Wiwin melongo. Jika berhenti jam 12 malam, teman-teman pemuda yang setengah teler itu bisa ngamuk. Padahal di jam-jam itulah para pemuda bertingkah agresif, meminta dinyanyikan lagu dengan irama triping dan para penyanyi organ harus bergoyang lebih hot. Inilah puncak acara bagi pemuda dan pertunjukan kebolehan bagi sang artis. Pemuda terhibur, tuan rumah senang, si artis bisa terkenal!

Ia lalu mengadu pada mugi.

“Kami tidak ada masalah sebenarnya kalau acara ini diberhentikan jam 12 malam atau sekarang. Tapi kami ndak tanggung jawab kalau pemuda nanti pada ngamuk.” Cerocos Wiwin Kombor

Mugi melamun sejanak. Wah, gawat juga! Pikirnya. Ia serba tidak enak. Kakaknya ini baru beberapa hari ini di rumah. Ia sengaja pulang ke rumah untuk merayakan lebaran sekaligus ingin melihat pernikahan adnya. Ini kepulangan pertama sejak empat tahun belakangan. Semula bahkan Mugil berpikir kakaknya itu tak akan pulang menyaksikan pernikahannya ini. Di kampung ini, tidak etis seorang adik melangkahi kakaknya dengan menikah lebih dulu. Untuk membicarakan pernikahan melalui telepon pun Mugi rasa begitu sungkan dan hati-hati. Tetapi kakaknya yang kuliah di Yogyakarta itu terdengar sangat riang mendengar kabar tersebut dan berjanji akan segera pulang jika acara pernikahan itu bertepatan dengan waktu liburnya.

“Memang harus begitu,” ucap kakaknya dari seberang. “Jika merasa sudah mampu harus segera menikah. Agama menganjurkan berbuat demikian, agar tercipta keluarga yang mawaddah warahmah…”

Kakaknya tidak bertanya lebih jauh lagi soal siapa calon istrinya atau tempat tinggal dan semacamnya. Ia lebih banyak memberi nasehat dan dukungan. Mugi tentu sangat senang mendengar reaksi kakaknya itu.

Setelah melakukan rapat dengan keluarga besar, akhirnya pernikahan itu disepakati akan diadakan selepas lebaran, agar kuliah Mahnun tidak terganggu lantaran kepulangannya tersebut. Dan kini, kakaknya ngamuk, itu membuat Mugi tak enak hati. Ia tak ingin kakaknya kecewa, tetapi ia juga tak ingin mengusik ketenangan orang-orang dan kawan-kawannya yang menonton.

Mugi tahu, kalau kakaknya tidak senang dengan sikap kawan-kawannya tersebut. Mereka meminta minuman dan rokok pada tuan rumah. Tetapi hal itu bukan pula rahasia. Siapa pun yang bikin hajat untuk acara apa pun, sudah menyiapkankan hal tersebut. Itu menjadi tradisi bagi anak muda dan pemilik hajatan. Mereka sudah menyiapkan berbotol-botol minuman, berslop-slop rokok untuk para pemuda setempat untuk keberlangsungan acara.

. “Tidak ada uang untuk membeli minuman haram, tidak ada uang untuk rokok dan keamanan segala. Kalau mereka mabuk dan terus merokok, bukannya keamanan yang tercipta…” Kata Mahnun menentang

Mugi mengiyakan keinginan kakaknya tersebut, tetapi diam-diam tetap memberi lembaran uang pada teman-temannya untuk membeli minuman dan rokok.

Mugi tak tak ingin bertengkar soal tradisi anak muda dengan kakaknya itu. Sudah pasti akan sangat bertentangan. Dulu, pernah terjadi pertengkaran hebat antara kakaknya dengan sahabat ayahnya gara-gara omong-omong soal partai. Teman sang ayah ngambeg. Mahen dibujuk-bujuk untuk meminta maaf. “Meminta maaf apa? Bukankah dalam sebuah debat ada ide yang paling unggul? Dia saja yang tidak bisa menalar logikaku.”

Pada akhirnya, sang bapaklah yang mengalah dan kembali berkunjung. Untunglah tak terjadi pertengkaran lagi. Selama kunjungan itu tak satu pun yang mengungkit sesuatu yang sifatnya ideologis.

“Bagaimana kalau kau turuti saja keinginan dia, Jang?” Ucap Mugil putus asa.

“Menuruti bagaimana?” Tanya Wiwin Kombor bingung.

“Ya, suruh semua artismu ganti baju. Yang lebih sopan saja…”

“Lho bukankah biasanya juga begitu? Yang diprotes cuma Sheila. Dian Arista dan Yayuk Pratiwi ndak masalah. Sheila Pustipa kan bintang organ kami. Kalau dia pakai baju tertutup wah bisa ngamuk Bos Tasman. Bakalan gak laku organ ini.”

Mugi mengangguk bingung.

“Kamu tahu kan, Sheila itu sedang naik daun? Tak gampang mengajak dia untuk main di acara kita. Ini karena aku yang ngajak. Dan aku mengajaknya juga karena kamu kawanku, lo..”

“Iya, aku paham. Tapi bagaimana usulku tadi?” Mugi kembali menawar.

“Bukan kami menolak. Mereka bawa kostum panggung kan cuma satu. Nyari di mana sekarang? Nah, kalau diberitahu sama Sheila, kemungkinan dia bisa tersinggung. Apa yang mereka pakai kan sudah standar pentas?”

***

“Ndak bisa lagi, Bang. Kalau dari awal dibilangin tentu akan lain masalahnya. Kita juga ndak bisa menghentikan acara ini begitu saja.” Kata Mugi pada kakaknya yang sedang marah itu.

“Ndak bisa bagaimana? Orang yang mengundang mereka itu kita. Mereka kan kita bayar untuk mengikuti permintaan kita. Kalau kita bilang berhenti sekarang mereka juga harus berhenti.”

“Bukan itu perkaranya. Anak-anak muda bisa ngamuk kalau sampai acara dihentikan.”

“Kalau begitu, mereka, para artis itu harus berganti pakaian yang sopan. Apa kau tak malu, melihat penyanyi setengah telanjang itu. Hei, keluarga besar kita sedang berkumpul lho. Kau tak malu pada Meksi adikmu. Apa kau senang melihat Nanda, dan ponakan-ponakanmu yang lain melihat goyangan porno tersebut?”

“I-iya..!! Tapi…”

***

Rapat keluarga kemudian digelar. Mahnun memaparkan lagi hal-hal yang dia tidak senangi dari pertunjukan itu.

“… Ini menunjukan kelemahan iman kita.” Kata Mahnun setengah emosi mengakhiri kalimatnya. Mugi dan ibunya saling pandang. Bapaknya tampak bergetar menahan diri. Hampir dalam banyak hal Mahnun selalu bertentangan dengan bapaknya. Laki-laki di atas limah puluhan itu biasa dipanggil Dukun oleh orang-orang. Mahnun yang paling tak suka dengan panggilan itu.

“Sudahlah, kita ikuti saja kata kakakmu itu, Gi.” Ibunya kemudian bersuara.

Tapi bapaknya tidak setuju. “Kenapa harus meributkan soal iman. Inikan hanya hiburan. Biarkan sajalah…”

“Ini mengundang dosa ke rumah sendiri…” Mahnun segera memotong.

“Kalau dia beriman tak akan dia terpengaruh melihat itu. Selama ini tak ada yang merasa kalau itu mengumbar birahi. Mereka tahu itu bagian dari pertunjukan dan bukan porno. Kamu tahu apa soal itu...”

“Bukan porno bagaimana. Orang jelas-jelas dia telanjang di depan umum.”

“Menurutmu, dia harus pakai jilbab? Kalau dia berceramah tempatnya kan di masjid.”

Mahnun ingin bicara, tapi cepat-cepat dilerai ibunya. Perempuan itu kemudian menggiring suaminya menjauh. “Ndak elok bertengkar di hari baik ini.”

“Anakmu itu sudah disekolahkan jauh-jauh kok malah makin bodoh saja. Sudah besar di kota masih saja pikirannya seperti itu. Ini salah, itu salah, apa-apa salah.” Maki si Bapak.

Sementara, Mugi juga berusaha membujuk kakaknya yang tampak emosi itu.

Setengah berbisik, setengah memohon Mugi berkata, “Saya tahu pemikiran Abang akan bertentangan dengan keinginan Ayah dan yang lainnya. Tapi, ini kan hari istimewa saya. Abang tak ingin membahagiakan saya di hari istimewa ini?”

“Sekarang, terserah Mas saja bagaimana baiknya. Di sini yang paling tua kan Mas.” Mugi melanjutkan.

“Kalau memang acaranya dihentikan sekarang, ya kita hentikan saja. Ndak apa-apa. …”

Mendadak ruangan itu menjadi lengang. Di luar terdengar suara genit berteriak pada penonton, “Masih mau digoyang sayang? Tapi goyangnya bareng-bareng ya, biar enak..tarik maasssss......”

Yogyakarta, 2009

Digubah seperlunya berdasar cerita nyata

Dari Kado Pernikahan sahabatku di Yogjakarta


Tatapan Mata Itu

Ku rasa getaran cinta di setiap tatapan matanya andai ku coba tuk berpaling akankah sanggup ku hadapi kenyataan ini oh tuhan tolonglah aku janganlah kau biarkan diriku jatuh cinta kepadanya sebab andai itu terjadi akan ada hati yang terluka Tuhan tolong diriku walaupun terasa indah andaikan ku dapat juga dirinya namun ku harus tetap bertahan menjaga cinta yang tlah lebih dulu ku jalani


Sekejap lirik itu berbisik mengalun menyentakkan lamunannya. Rasa takut tiba-tiba menyusup dalam benak Wisma. Ia tidak dapat berpikir lagi. Bayang tatapan mata yang begitu tajam selalu menghujam retinanya setiap detik, setiap menit, dan setiap kali bertemu dengan sosok yang mulai bersemayam di hati, ada yang kurang lengkap jika tidak melihat sehari saja.
Bergelayut manja tubuh itu di dipan bambu teras rumah yang semakin renta. senja pun bergelayut mulai merangkul pekat seiring cericit kelelawar memanggil manggil malam.

"Ada apa to
Nduk....? akhir-akhir ini kamu selalu gelisah?" suara parau menegur pelan
"Ndak ada apa-apa kok
Mbah..."
"Kamu banyak pekerjaan, apa sedang ada masalah?
"Betul Mbah tidak ada apa-apa"
"Ya sudah kalau kamu memang tidak apa-apa, aku hanya kuatir saja..."
"Matur nuwun
Mbah......"

Rasa malas tlah hinggapi benaknya, dengan gontai ia raba lantai tak berubin dengan telapak kakinya. tiap jengkal Ia lalui menuju kamar yang tlah menunggu. Dingin udara pegunungan menyusup perlahan, Wisma pun membuka buku kumal yang selalu jadi tumpahan perasaannya. dengan cepat tangannya menari bersama pena diantara baris-baris putih belum terisi.
Aku masih disini dalam dekapan rindu yang begitu sangat, kilatan matamu bagai sebuah garis asa yang tegak. Sadarkah kau kalau dalam setiap tarikan nafasku hanya dirimu yang selalu kurindu. apakah serpihan hati ini tak membuat karangmu luluh mencair betapa berat.. hati yang biasa kosong tiba2 terisi oleh tatapan matamu.Matamulah yang sanggup mengangkat dunia beserta isinya, yang memaksa mentari menebarkan cahayanya di atas gemerlip percikan riak ombak, betapa menenangkan, saat tiap masalah dalam kehidupan ini dapat menghilang dengan tatapan matamu, jika rembulan itu tak mau bercahaya, kan kutorehkan kata-kata indah hingga matamu berkaca-kaca bak kristal menaburi mayapada.Aapabila pelangi tak lagi menorehkan warna-warna indah, aku tetap akan melihat keindahan dari tatapan matamu. karena matamu adalah pelita hati dalam dunia penuh kegelapan ini.wahai pelita, tetaplah bersinar walau malam telah datang dan gelap pekat telah mencekam.ahhh.. sinar itu selalu menutupi kelamnya jendela-jendela rasa yang bergerak tak teratur dalam metabolisme perasaanku.sinar itu pun bagai mentari yang memberi cahaya terang pada setiap pekat dari partikel hatiku. yaa...mentari yang selalu datang di setiap fajarku dan kuhalang pergi walau tau senja kan segera pulang.Tapi kenapa kau hanya singgah bagai embun yang menghilang terserap berlahan-lahan di telan semakin telanjangnya sinar mentari yang menyapu kisi-kisi repuh hatimu.Haruskah sang ranting ini bertanya-bertanya, mengapa angin itu selalu menyapu daun-daun kering yang begitu rapuh menempel.Seperti angin yang menyapu dedaunan. Seperti itu juga kau menyapu setiap hentak cerita mengapa aku harus bertanya kepadamu? sementara punai lain beterbangan diatas mayapada menyapaku indah.Betapa ingin kamu melegakan.. dengan suara lembut dirimu dapat selalu menemani dan mengisi kehampaan dari hidupku ini. Desiran bisik renyahmu kuharap menyusup tak terbendung menumpahkan asa yang mulai merekah.Tumbuh menjadi bait-bait harapan, beranting syair-syair indah masa depan, berbuah anggur syahdu.Betapa memabukkan.. kala desir rasa merasuki relung hampa. Tapi aku hanya temui tatapan matamu tanpa sepatah kata pun terucap.
Tetes rinai tertoreh membekas di kertas putih mengakhiri kalimat dari curahan hati yang selama ini hanya terkubur dalam lubuk hatinya.
"Nduk makan dulu nanti keburu dingin lho"
"Iya Mbah......"
Gontai dan malas, kakinya pun kembali bangkit meraba ubin tak berlantai, dingin semakin menyusup bersama hawa dingin yang terus menusuk tiap jengkal pori-pori kulitnya. Bantal kumal dan seprei putih pun membisu diantara hiasan dinding yang menatap tajam tiap laku yang Ia lakukan. Entah sampai kapan Ia harus seperti ini.
"Maafkan aku Mbah untuk kali ini Aku tidak bisa jujur"
Wisma terpaksa sembunyikan perasaanya. kembali lirik lagu itu mengusik dan mengaduk-aduk perasaannya.
Ku rasa getaran cinta di setiap tatapan matanya andai ku coba tuk berpaling akankah sanggup ku hadapi kenyataan ini oh tuhan tolonglah aku janganlah kau biarkan diriku jatuh cinta kepadanya


Maret 09

Tuesday, March 17, 2009

Rani Tidak Lagi Menangis



Rani masih menangis digang sempit itu, ketakutan dan rasa cemas masih mengglayuti perasaannya, ya Tuhan jangan ambil nyawa ibuku sebuah kalimat yang keluar dari mulut seorang gadis kecil berusia 9 tahun. Rani berlari dan berlari mencari pertolongan dikegelapan sementara di rumah Rani sedang terjadi pertengkaran hebat antara ibu dan ayah tirinya.Sampailah Rani disebuah rumah tetangga yang menurut Rani bisa menolong dan bisa melerai pertengakaran antara ibu dan ayah tirinya.

"Assalamualaikum...."

"waalaikum salam "

"Tolong Rani tante, ibu Rani mau dibunuh sama papa...tolong Rani tante," pinta Rani sambil melirih dan menangis.

Kejadian ini sudah kesekian kalinya dialami Rani semenjak ibu Rani menikah lagi dengan bajingan itu. Dengan mata berkaca-kaca tante memeluk Rani.

"ya nanti tante tolong, kamu disini aja dulu ya.." jawab si tante.

"ayo tante sekarang nanti ibuku mati dibunuh..." permohonan Rani kembali.

Tante Dewi menjawab, "Rani tante gak bisa menolong kamu, karena itu urusan rumah tangga orang lain, kamu makan aja dulu ya."

Rani menolak tawaran tante Dewi dan pamit pulang.Sambil berjalan pelan Rani membayangkan apa yang sedang terjadi dirumahnya sekarang, apakah ibuku masih hidup..? karena sewaktu Rani pergi tadi ayah tirinya mengeluarkan pisau dan mengancam akan membunuh ibunya. Gadis kecil itu terus menangis, dengan penuh ketakutan dan membayangi ibunya telah mati dibunuh ayah tirinya.

Kembali terdengar suara kecil dari mulut Rani," Ya Tuhan jangan ambil ibuku, cukup cuma papa aja yang Tuhan ambil. kasihanilah aku Tuhan.."Tiba-tiba Rani terjatuh lemas dia baru menyadari bahwa suhu badannya tinggi.

Rani berdiri dan terus berjalan pelan menuju rumahnya. Dengan sejuta harapan dan selalu berdo'a sepanjang perjalanan.Tibalah Rani dirumah. Pelan - pelan sekali Rani memasuki rumahnya sambil mengamati apa yang sedang terjadi.

"Kok sepi sekali..." dihati Rani bertanya, Rani semakin cemas, wajah Rani semakin pucat seluruh badan Rani bergetar ketakutan. Rani terus mencari ibunya disetiap ruangan. Ditengah kecemasan Rani mendengar suara halus yang sedang tertawa kecil, "Loh itukan suara ibu.." Rani terus mengamati suara itu diikutinya dari mana suara itu berasal, ternyata benar itu suara ibunya Rani.

Rani terduduk dan terdiam Rani menangis dan berterima kasih kepada Tuhan " terima kasih Tuhan ibuku gak jadi dibunuh..." Suhu panas di badan Rani semakin tinggi namun Rani tidak merasakannya sama sekali, Rani gadis kecil itu cuma merasakan bahagia untuk sa'at itu.



Cerita Pilu dari sahabatku

Ekspresi-diri

March 09


Tragedi



Setiap kecemasan tentangmu datang mengancamku, aku tidak mau berdiam diri, tercekik dalam rasa takut yang mencekam. Aku memilih menggenggam senjata itu erat erat, lalu tanpa rasa ragu sedikitpun aku menarik pelatuknya maka peluru kerinduan itu berhamburan keluar dari moncong senjata itu, menghunjam, mengarah ke dadamu yang sebelah kiri tempat di mana segala rahasia hidup kau samarkan. Akibatnya selalu bisa kuduga meski bukan itu yang kuinginkan, dengan tegar engkau tetap tegak berdiri tak tampak segores lukapun pada tubuhmu (pada pandangan mata awamku).


Sejenak kau berbalik membelakangiku lalu menutup separuh wajahmu dengan kain, mungkin maksudmu agar aku tak mengenalimu atau mungkin kamu tidak ingin aku membaca ekspresi luka kerinduan yang tak henti terpancar dari wajahmu. Lalu kau berbalik ,kemudian Perlahan berjalan kearahku, dengan sedikit ragu kau melepaskan belati itu dari sarungnya. Aku tidak memicingkan mataku sejenak pun, tapi aku tidak mau menatap ke dalam matamu, aku tidak ingin menggagalkan keinginanmu. aku lebih memilih menatap belati cinta yang siap kau hujamkan kejantungku. Belati cinta yang selama ini selalu kuanggap remeh kini bersiap merenggut semua kesombonganku.Blazz……. beberapa detik kemudian belati itu telah menancap di dadaku, aku tidak pernah menduga sebelumnya kalau rasa sakitnya seperti ini………..perihnya amat amat sangat. Tapi bukan …. bukan belati itu yang menyakitiku. yang menyakitiku adalah karena yang menancapkannya adalah kamu, Orang yang sangat kukasihi.


Aku menduga akan ada darah yang tetumpah dari tubuh kita sebagai ganti dari MADU yang beberapa tahun mengalir di hatiku dan di jantungmu. Ternyata tidak, yang deras menghambur adalah nanah yang membusuk dan entah mengapa kematian yang kita undang enggan datang berkunjung.


Aku pinjam catatan

"Makrifat Instant"

March 09

Monday, March 16, 2009

Ikhlaskan Hatimu Tuk memaafkanku


Dua orang sahabat karib sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di tengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah seorang menampar temannya.

Orang yang kena tampar, merasa sakit hati, tapi dengan tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir : HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENAMPAR PIPIKU. Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi.

Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba berenang namun nyaris tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh sahabatnya. Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah batu: HARI INI, SAHABAT TERBAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU.

Orang yang menolong dan menampar sahabatnya, bertanya,"Kenapa setelah saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang kamu menulis di batu?"

Temannya sambil tersenyum menjawab, "Ketika seorang sahabat melukai kita, kita harus menulisnya di atas pasir agar angin maaf datang berhembus dan menghapus tulisan tersebut. Dan bila sesuatu yang luar biasaterjadi, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar tidak bisa hilang tertiup angin."

Cerita di atas, bagaimanapun tentu saja lebih mudah dibaca dibandingditerapkan. Begitu mudahnya kita memutuskan sebuah pertemanan 'hanya' karena sakit hati atas sebuah perbuatan atau perkataan yang menurut kita keterlaluan hingga menyakiti hati kita. Sebuah sakit hati lebih perkasa untuk merusak dibanding begitu banyak kebaikan untuk menjaga. Mungkin ini memang bagian dari sifat buruk diri kita.Karena itu, seseorang pernah memberitahu saya apa yang harus saya lakukan ketika saya sakit hati. Beliau mengatakan ketika sakit hati yang paling penting adalah melihat apakah memang orang yang menyakiti hati kita itu tidak kita sakiti terlebih dahulu.Bukankah sudah menjadi kewajaran sifat orang untuk membalas dendam? Maka sungguh sangat bisa jadi kita telah melukai hatinya terlebih dahulu dan dia menginginkan sakit yang sama seperti yang dia rasakan. Bisa jadi juga sakit hati kita karena kesalahan kita sendiri yang salah dalam menafsirkan perkataan atau perbuatan teman kita. Bisa jadi kita tersinggung oleh perkataan sahabat kita yang dimaksudkannya sebagai gurauan.Namun demikian, orang yang bijak akan selalu mengajari muridnya untuk memaafkan kesalahan-kesalahan saudaranya yang lain.

Akan sungguh sangat berat. Karena itu beliau mengajari kami untuk 'menyerahkan' sakit itu kepada Allah -yang begitu jelas dan pasti mengetahui bagaimana sakit hati kita- dengan membaca doa, "Ya Allah, balaslah kebaikan siapapun yang telah diberikannya kepada kami dengan balasan yang jauh dari yang mereka bayangkan. Ya Allah, ampuni kesalahan-kesalahan saudara-saudara kami yang pernah menyakiti hati kami.

"Bukankah Rasulullah pernah berkata, "Tiga hal di antara akhlak ahli surga adalah memaafkan orang yang telah menganiayamu, memberi kepada orang yang mengharamkanmu, dan berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu".Karena itu, Saudara-saudaraku, mungkin aku pernah menyakiti hatimu dan kau tidak membalas, dan mungkin juga kau menyakiti hatiku karena aku pernah menyakitimu. Namun dengan ijin-Nya aku berusaha memaafkanmu. Tapi yang aku takutkan kalian tidak mau memaafkan.Sungguh, Saudara-saudaraku, dosa-dosaku kepada Tuhanku telah menghimpit kedua sisi tulang rusukku hingga menyesakkan dada.Saudara-saudaraku, jika kalian tidak sanggup mendoakan aku agar aku 'ada' di hadapan-Nya, maka ikhlaskan segala kesalahan-kesalahanku. Tolong jangan kau tambahkan kehinaan pada diriku dengan mengadukan kepada Tuhan bahwa aku telah menyakiti hatimu.
Aku pinjam dari catatan Hati
March 09

Saturday, March 14, 2009

Tatapan di remang Senja

Berdiri aku di bibir senja,
menyatu keindahan bersama selendang merona
Mereguk petang,
meraba senja.
aku kehilangan,
tenggelam dalam keraguan.
Ragu akan tatapan yang tak bertuan.

Aku terkenang terkatung dalam kegamangan.
Tanganmu menjulur tulus membantuku berdiri,
tapi hatimu hampa tanpa bias.
matamu tegar menyergap diriku,
tapi jantungmu tak berdetak atas namaku.

Matamu tak membaca pada apa yang terbalut penantian,
tapi kau selalu ada saat aku terjaga
Senja makin memerah, hatiku pun merona…..
Menyimpan tanya dalam bingkai kebimbangan
Apa yang engkau dendangkan
Aku terselip dalam dekap kebimbangan

Lelaki di Cermin itu

Di depan cermin kutemukan wajah itu.
Kutatap matanya.
Mata di dalam cermin membalas tatapanku.
Aku lekat menatap mata itu.
Mata itu menatap mataku.
Demikian lekat.
Bintik hitam.
Lalu bayang-bayang.
Berhamburan dari mata itu.
Mungkin masa lalu. Sebagai kenangan.
Mungkin juga masa depan.
Sebagai harap.

Di mata itu aku temukan seorang manusia.
Ia meringkuk di sudut waktu dengan gores luka.
Diri yang lelah bertarung di hiruk pikuk jaman yang menusuk
menetak mencongkel mengaduk-aduk seluruh rasa
dengan suka-duka derita-bahagia.
Diri yang merasa sebagai pecundang yang lelah berlari
memekikkan kekalahan demi kekalahan.
Lelaki yang menerima kutuk dan maki sebagai upacara diri sendiri.

Manusia yang selalu meneriakkan nyeri perih tak henti.
Inikah wajahku. Inikah mataku.
Inikah aku. Kataku bertanya pada diri.
Saat menatap wajah dalam cermin.
Mata dalam cermin. Yang menatapku dengan lekat.
Mencoba menelusuri dan menelanjangi seluruh riwayat.
Di mana aku berada.
Dari mana aku bermula. Ke mana aku akan kembali.

Mata. Serupa jendela.
Kau katakan dapat menjenguk jiwaku.
Lewat mata. Jendela jiwa.
Padahal mungkin yang kau temukan adalah labirin kesunyian
yang gelap tak berujung cahaya.
Atau kegaduhan gelisah sendiri yang
membakar hari-hari dengan tanya tak berjawab.
Tentang diri sendiri. Tentang segala yang tak pernah dapat diketahui pasti.

Mata. Aku ingat kau sering menatap mataku.
Penuh selidik. Karena kau tahu
aku tak pernah bisa menyembunyikan sesuatu jika kau tatap mataku.
Kau akan segera mengetahui apakah aku jujur
atau berbohong hanya dengan menatap mataku.
Mungkin sering pula kau temukan airmata di situ.
Ya, inilah airmata. Menyelinap dalam senyap.
gemeletar tatapmu. Sebagai cemburu.
Memburu masa lalu: peta-peta yang diberi tanda.
penanggalan dan riwayat.

Tapi siapakah yang membaca luka sebagai puisi.
Selain matamu yang menelusur jejak rasa sakit.
Hingga kau tahu, aku menanggung kutuknya sendiri.
memanggul kata-kata dan menggulirkannya dari puncak derita bahagia.
O jutaan huruf terlepas dari hati.
Bergulir kata-kata.
Di tebing pipi. Sebagai airmata, yang kau terima,
sebagai debar dalam dada sendiri. Hanya ketulusan menerima.
Sebagai muara. Mengalirkan kesah pada laut keabadian.
Cintamu.Mata serupa jendela, katamu.
Dan memang sepertinya begitu.

Aku pun membalas tatap matamu.
Aku temukan kedalaman cinta dalam tatap matamu itu.
Kedalaman rahasia. Aku coba menyelaminya.
Hingga sampai palung terdalam. Rahasiamu.
Rahasia yang kau simpan rapi dalam-dalam.
Seakan takut ada perompak yang akan merampasnya.
Peta rahasia yang kau gambar suatu ketika.
Catatan yang kau tulis suatu ketika.

Tapi entah mengapa kau biarkan aku menemukan peta itu.
Rahasia itu. Hingga kutahu riwayat mula-mula: Cinta.
O mata, yang menerbitkan cahaya rindu dalam dadaku.
Seperti cahaya dan gerimis yang menggambar pelangi.
Di lelangit harap saat kau tunggu dengan rayu dan tatapmu.
demikian manja gerimis menyapa. Cahaya di sela-sela.
Memendar pendar. Mewarna di udara.
Lengkung mimpi kanak-kanak ke langitcintamu.

Biarkan bait-bait rindu menelusup dalam mimpimu.
Huruf demi huruf yang beterbangan di buku hari-hari.
Berdiam dalam dadamu. Dalam hangat pelukmu.
o, yang mencinta. Kutemu diriku di situ di dalam dadamu.
Sepenuh cintamu.O mata, sebagai bening rindu.
Demikian hening. Ke dalam dadaku kau alirkan segala mimpi dan harap.
Tatap yang tak henti menjelajah relung-relung terdalam rahasia waktu.
Pada sketsa peta. Sebagai tanda yang harus kubaca.
Setulus cintaku. Gulir butir airmata menemu tuju.
Menemu mula segala rindu.Di negeri yang jauh.
Di langit yang jauh. Demi pemilik segala rahasiawaktu,
kutemu cinta di tatapmu, o mata.
Menerobos relung terdalam rahasia dalam dadaku!

Di matamu kekasih, kutemu negeri rerimbun pohonan menghijau daun,
gemercik alir dari mata air, jembatan bambu yang terbentang.
Kanak-kanak tertawa riang menyeberangkan mimpi dan harapnya.
O, di hati yang merangkum kasih sayang,
kanak-kanak mendekatkan kepalanya.
Tik tak kehidupan, berdetik di dada cintamu.

Pernah kulayarkan mimpiku ke dalam gelombang badai mencari negeri negeri
dimana pohonan beranting cahaya berbuah cahaya.
Kulayarkan mimpiku dalam gelombang badai mencari negeri.
Angin menderu perahu terpelanting berulangkali tenggelam aku berkali-kali.
Sampai kutemu kini negeri di matamu yang cahaya,
yang menyeru: jangan lagi kau masuki negeri tak pasti.
Mata yang menderaskan airmata. Menderas.
Hingga o, berlinangan cahaya.
Dari matamu.
Dari mataku.
Cinta yang mencahaya.
Menyatu dalam lautan cahaya.

Aku pinjam catatan airmata
"gedong puisi" Maret 09

Thursday, March 5, 2009

Dalam Buai Angin Pesisir

Dalam matamu laut meluas

begitu air begitu karang

sebuah pusaran menggelora jiwa

mendamparkan sebuah pantai

membuka lebar-lebar

mendengar suasana

langit tidak terlalu biru


Pasir dengan rumput basah

menarik riak kecil

air mendinginkan bebatuan

suasana hati mengkerut menjadi sebutir pasir

dengan pongahnya larik-larik tersebut memaksa

mempelaminkan laut dan karang



Karang tak mungkin lepas dari air,

tetapi air tidaklah sekokoh karang

mendengarkan sebuah hikayat ataupun kisah tentang "mu"

Imaji-imaji bergerak bergandengan di bait

ini hanyalah sebuah penanda masa



Air pasang di malam berbintang itu

ombak bertandang berdendang

ini malam nelayan di mana bidukmu ?

tertambat di rawa bakau

lalu tebarkan jala, kelambu bagi tidurku kelak

akan kugali sendiri lubang dalam-dalam

di mana ikan-ikan berenang dan

karang bertumbuhan di mataku



nikmati saja irama lagu itu bila anda tak faham liriknya

gambarkan bagai karang, bagai jala, bagai nelayan

yang perahunya tak sampai ke tangahan

karena tersangkut di hutan bakau



Matamu Laut puisi

pernah datang satu masa ikan-ikan lepas

ketika bulan terendam setengah matang di sisi lambung

seluruh laut ia dayung ada mesin kristal di sudut matanya

di malam berbintang itu ombak bertandang ia berdendang

menyapa bulan terluka dalam buai angin pesisir

Monday, March 2, 2009

Angin Pesisir di Awal maret

Angin pesisir menghembus pelan
merambah dedaun, lembah, ngarai
mengembara tuk menyapa angin gunung
keramahan suasana pegunungan tlah purba

Entah mengapa? angin pesisir hanya meraba
badai tlah hanyutkan rasa
mungkin benar kabar yang kau dengar
tapi, tak semua seratus persen benar
hembus angin tlah dibumbui rasa hingga
kebenaran tergilas fitnah membara

Semua terangkai dalam rangkaian kenangan
kelam manis bersemayam dalam kubur luka
tersingkap di kala kau luka,
luka pun makin menganga saat kesadaran tiba

Angin pesisir hanya membatu bersama karang
biduk, layar, dan kepiting
sementara bangau tetap mengais lumpur di antara
bangkai kenangan usang

Hanya harap angin pesisir, semoga
tersingkap dalam hatimu
cahaya cinta yang pernah ada

Kalaulah dulu kau pernah merasa
bahagia, jangan kau ungkap sesuatu
yang justru menghapus semua

Angin pesisir tak pernah memaksa
jika ini harus terjadi
biarlah semua seperti sungai
mengalir hingga bermuara di pantai

Biduk pun terpekur dalam dengkur
tertegun memandang pegunungan
diantara balutan kabut dingin
dan membeku