Sunday, August 30, 2009

Cinta Hakiki, Cinta Rosulullah kepada Ummatnya

Pagi itu walaupun matahari sudah menguning tetapi burung gurun tidak satupun yang mengepakkan sayapnya.Dengan suara terbatas Rosulullah memberikan khutbah

“wahai ummatku kita semua ada dalam kekuasaan Allah dan cinta kasihnya, maka taati dan bertaqwalah padanya”

“Kuwariskan dua perkara kepada kalian yaitu Alquran dan sunahku”

“barang siapa mencintai sunnahku berarti mencintaiku, dan kelak orang2 yang mencintaiku akan masuk surga bersama-sama aku”

Khubah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata rosulullah yang mendalam kepada sahabat-sahabatnya. Sahabat Abu bakar menatap Rosulullah dengan berkaca-kaca,Sahabat Umar menahan nafas dengan dada naik turun dan menahan tangisnya,Sahabat Usman menahan nafas panjang, Sahabat Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Isyarat itu telah datang “ Rosulullah akan meninggalkan kita semua” keluh hati para sahabat
Rosulullah hampir selesai melaksanakan tugasnya di dunia
Tanda-tanda itu makin kuat.
Sahabat Ali dan Fadhal dengan sigap menuntun Rasulullah yang lemah dan goyah saat turun dari mimbar.

*******
Matahari kian tinggi dan pintu rumah Rosulullah masih tertutup rapat.
Di dalamnya Rosulullah sedang berbaring lemah dengan keringat mengucur membasahi pelepah kurma yang menjadi alas tidurnya.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara salam

“Assalamualaikum Wr Wb , bolehkah saya masuk?”

Tapi Fatimah tidak mengijinkannya masuk “maafkanlah saya ayahku sedang sakit” lalu membalikkan badan dan menutup pintu kembali,kKemudian kembali menemani ayahnya yang terbaring

“Siapakah itu anakku “ tiba-tiba Rosulullah bertanya

“Saya Tidak Tahu, kelihatanya baru kali ini saya melihatnya Ayah” jawab fatimah lembut

Lalu Rosulullah menatap anaknya dengan penuh sayang, hendak dikenangnya wajah fatimah untuk yang terakhir

“Ketahuilah, Dialah yang memutuskan kenikmatan sementara , dialah yang memisahkan pertemuan di dunia, Dialah Malakull Maut” tutur Rosulullah

Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya

Malaikat Maut datang mendekat, Rosulullah pun bertanya “kemana Jibril, kenapa tidak ikut serta”

Lalu di panggilnya Jibril yang sebenarnya telah menunggu di langit menyambut kedatangan Ruh Rosul kekasih Allah tersebut.

“Jibril, jelaskan hakku nanti di hadapan Allah” Tanya Rosulullah dengan suara lemah

“Pintu-pintu langit telah terbuka, dan para malaikat telah menantikan ruhmu, semua pintu surga terbuka menyambut kedatanganmu” kata Jibril

Tapi Rosulullah belum begitu lega matanya masih menunjukkan kecemasan

“Engkau tidak senang mendengar kabar ini?” lanjut Jibril

“Lalu bagaimana dengan nasib Ummatku kelak?”

“Janganlah engkau kuatir Allah berfirman :”Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali ummat Muhammad telah berada didalamnya” tutur Jibril

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugasnya
Nampak Rosulullah bersimbah peluh dan otot lehernya menegang.

“Jibril mengapa begitu sakit sakaratul ini “ perlahan Rosulullah membisik

Fatimah menutupkan kedua telapak tanganya ke wajahnya, Sahabat Ali menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka

“Jijikkah kau wahai Jibril, sampai Kau palingkan muka”

“siapa yang sanggup melihat kekasih Allah direnggut Ajal “ kata jibril

“Ya Allah dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini cukup kepadaku, jangan pada ummatku”

Badan rosulullah sudah semakin dingin kaki, perut, dada, tampak bibir rosulullah bergetar hendak mengatakan sesuatu Sahabat Ali segera mendekatkan telinganya

“Ushikum bi Shalati wa mma malakat aimanuku”
“peliharalah shalat dan peliharalah kaum-kaum lemah diantaramu”

Diluar rumah, suara tangis mulai terdengar….. para sahabat saling berpelukkan.
Fatimah semakin merapatkan tangan diwajahnya dan sahabat ali mendekatkan kembali telinganya ke bibir rosullah yang semakin membiru

“ummati ummati ummati”

Dan berakhirlah perjalanan dan tugas Rosulullah di dunia sebagai pemberi sinar itu.
Allahumma Sholiala Muhammad, wabarik wassalim alaih
Betapa cintanya Rosulullah kepada kita umatnya

Friday, August 28, 2009

Seumpama Angin Pesisir

Seumpama angin pesisir
Kerinduan yang semakin gigil ini
Telah setubuhiku dalam sajak
kepasrahan asa yang menggelegak
dalam wangi parfum tertiup angin gunung

Seumpama angin pesisir
Kerinduan jilati puncak dahagaku
telah basahi birahi yang mekar
dalam buai pesisir dan wangi kembang

Seumpama angin pesisir
Kerinduan sinari rongga dadaku
Ketika purnama mengambang diantara gelombang
kau begitu mesra tersenyum
Menanti kata dariku di pantai penghabisan

Seumpama angin pesisir
menjelma dan berserak seumpama daun,
kering di telapak kakiku terhempas musim
Seperti sumur-sumur kerinduan yang teramat dalam,
arwahku menghidupkan ilusi kupu-kupu

seumpama angin pesisir
Kelak aku akan pergi,
seperti mercusuar yang bercahaya di tengah laut
Kutahu inilah kebahagiaan yang bakal aku kenang
antara kerinduan dan perpisahan

Tuesday, August 25, 2009

Di pasar saat Ramadhan Kelima Siang itu

Senja hampir tenggelam dan langit perlahan mulai berubah warna seperti arang. Gelap. Pekat. Tanah di pesisir masih basah. Sisa ombak menggenang di atas permukaan pasir. Jejak kaki masih meninggalkan dingin di pasir biru ini. Pijar cahaya lampu di rumah bambu membiaskan warna keperakan di antara deru ombak.

Pesisir tampak lengang, tak kulihat orang melintas di pesisir. Tetapi, saat aku kembali duduk di diantara bebatuan, samar-samar, aku dengar langkah orang yang berjalan dengan langkah tersaruk. Tak lama kemudian, langkah kakinya berjingkat, lantaran menghindari air di antara riak-riak kecil. Aku melongokkan kepala. Aku lihat sosok perempuan berjalan di pasir. Separuh wajahnya tertutupi kerudung sehingga mataku tidak dapat melihat wajahnya yang mulai tampak dengan jelas kala mendekat ke arahku.

Persis di antara dua batu, perempuan itu membuatku terperanjat kaget. Mulutku serasa terkunci dan mataku terperangkap seraut wajah yang nyaris aku kira seorang pengemis yang tersesat ke pesisir jika saja senyumnya tak membuatku teringat kenangan di masa lalu. perempuan itu adalah Bulan. Kulihat wajahnya murung, tak ada sebuah percakapan sehingga membuatku hanya berdiri mematung. Aku termangu menatap sosoknya. Aku pandangi dari ujung kaki sampai ujung hidung.

"Kenapa kau memandangiku seperti orang asing yang tak pernah kau kenal?"

"Aku kira kau tidak akan datang lagi ke pesisir ini," jawabku

Aku melepaskan pandanganku, seulas senyum memburai di wajahnya yang tadi kulihat nampak letih didera perjalanan. "Maaf..., aku datang tanpa ada kabar. Mungkin aku menginap di sini beberapa hari, tepatnya di rumah budhe" ucapnya ragu, seraya duduk di atas biduk yang membisu.

Aku bengong, kutatap lekat-lekat wajahnya saat ia bercerita jika kini ia begitu menderita. Tak pernah terbersit dalam kepalaku, dia bisa mempertaruhkan hidup di atas kebahagiaan yang belum terbayar.

"Aku balik ke sini, karena ingin selamat. Untung, kini selamat dan tiba di pesisir ini. Aku memang bodoh tapi kini aku sadar bahwa jalan yang kutempuh itu salah. Aku ingin menebus kesalahanku dan ingin menyelesaikan masalahku "

Hatiku tersayat. Aku seperti dibius kesedihannya.

Hari sudah gelap, perempuan yang dulu kukenal baik itu seperti menenggelamkanku dalam duka laranya, ketika adzan maghrib menggema dari mushalla di ujung kampung. Aku bergegas ke kamar mandi, melangkah keluar menuju mushalla di malam kelima pada bulan Ramadhan ini.

***
MALAM itu langit berwarna seperti arang. Gelap. Tanah di halaman rumah masih basah, ketika aku pulang dari mushalla, sehabis tarawih. Di langit, tak kulihat cahaya rembulan. Hanya titik-titik pijar bintang yang bersinar redup. Malam murung, tetapi masih memancarkan secercah cahaya. Sayup-sayup, kudengar gema tadarus dari mushalla.

Malam merambat pelan, dan aku tertidur di ruang tengah. Televisi masih menyala, ketika aku bangun di ujung fajar. Aku bangkit, membasuh muka lalu keluar membeli nasi di warung.
Kulihat Bulan membantu Budhenya menyiapkan pesanan orang-orang yang makan sahur, kusapa dan ia pun bersiap makan sahur.

Tetapi, ia tak bernafsu melahap nasi, tidak terlihat lahap. Ia masih menyisakan beberapa suapan sebelum menuntaskan dahaga dengan menengguk teh hangat untuk menghangatkan tubuh keringnya dari dingin pagi. angin pesisir masih meninggalkan dingin di fajar buta.

"Apa kau yakin besok bisa kuat puasa?" gurauku memancing keteguhannya.

"Gampang!" jawabnya lirih, "Jika tak kuat, ya makan!"

Aku tersenyum. Ia pun tersenyum. angin masih meninggalkan gigil di kaca jendela.

Imsak akhirnya memaksa kami menutup mulut dari seduhan teh hangat. Disusul adzan subuh, lalu aku menunaikan shalat.

***
ESOK HARINYA, ia datang dari pasar dengan langkah tersaruk ketika mentari berada tepat di atas kepala. Langkah kakinya masih sempat aku dengar saat aku bangun dari tidur siangku, kala kedua kakinya menerabas masuk pekarangan. Wajahnya yang tirus kemudian nongol di balik pintu.

"Kenapa kamu kelihatan kusut hari ini"

"Kamu mungkin tak percaya dengan ceritaku ini. Tadi, saat aku ke pasar, hari ini pasar penuh sesak. Entah ini cobaan dari Tuhan atau anugrah. Aku jadi uring-uringan dan tak sabar karena rasa lapar menggerogoti ususku. Karena itu, aku berjanji dalam hati kalau selesai belanja maka akan kutuntaskan rasa laparku ke warung," ujarnya membuatku penasaran.

"Tapi ini lain, aku benar-benar merasakan lapar dan haus yang membuatku pusing! Karena itu, setelah keluar dari pasar , aku segera melangkah dan mencari warung yang dapat mengobati lapar dan hausku. Sejak dari pasar, aku clingukan untuk memastikan bahwa aku tak sedang diawasi orang, lalu aku melangkah ke arah Barat agar jauh dari pasar. Tapi, belum sempat aku menemukan warung, aku justru menjumpai pengemis cilik di perempatan jalan yang membuatku kasihan. Anehnya, di wajah pengemis cilik itu, aku melihat masa laluku. Aku tidak jadi lapar dan malu jika harus masuk ke warung. Lalu, kuberikan uangku pada pengemis cilik di perempatan jalan. Aku tak jadi batal puasa...."

Aku pikir, dia tak serius. Apalagi, dia kerap berbohong kepadaku. Tapi saat kutatap wajahnya, aku tahu ia tak bohong. Selama ini tak pernah kudengar ia mengeluh dari lapar. Kala aku mengais-ngais cerita yang pernah aku dengar, aku sadar jika dia ternyata jarang makan. Lima hari selama tinggal di rumah budhenya, bahkan dia kerap kali tak makan sahur.

Aku menatap wajahnya. Aku sadar kalau wajahnya nyaris tak dipenuhi gundukan lemak, mirip selongsong topeng yang nyaris tanpa daging. Wajahnya seperti sudah kenyang dari derita, diterpa oleh kemiskinan bertahun-tahun. Dan di bulan puasa ini, aku sadar. Ia ternyata sudah bertaubat.

Monday, August 24, 2009

Senja ini Masih Merindumu




Lembayung merah menghias ufuk barat senja ini
tertatih menyusup perlahan ke balik kelam
sepoi angin pesisir ingatkan pada kenangan

deret rel tertata rapi membujur
semakin jauh semakin menyempit hingga titik nadir
kabut tipis mempercepat kelam diantara
teriak kanak kanak berlarian menanti bedug senja ini

ramadhan ke empat aku terpekur tatap senja
di rel ini aku menanti
di rel ini aku sendiri
nikmati kebesaran Illahi saat mentari keperaduan

semburat merah pun makin menghilang
seiring raungan sirine tanda magrib telah tiba
aku melangkah sibak kabut senja
dalam buai angin pesisir senja ini
ramadhan ke empat aku masih saja merindumu

Sunday, August 23, 2009

Seiring Azan Subuh Ramadhan hari Kedua

Malam belum lelap betul hari ini
tak terasa pagi telah buka mata
beduk bertalu membuka korneaku

masih terasa keringat mengucur
pengap dan berhimpitan saat tarawih berlangsung
kini sepiring nasi telah menanti
saat terindah di pagi bulan ramadhan

dingin pesisir iringi sahurku
biduk masih terpekur dalam purba
tak pedulikan riak-riak berisik
sirine pun melengking tanda imsak tiba

adakah kau di sana
diantara pagi dan dingin ini
kerinduan kembali menyeruak
seiring azan subuh di hari kedua ramadhan ini

Friday, August 21, 2009

SAJAK DI AKHIR SYA'BAN




SEIRING TERBENAM MENTARI DI AKHIR SYA’BAN,
SEMBURAT MERAH PUN TERURAI SAMBUT KELAM
SYA'BAN PUN BERLALU BERSAMA RIAK DI PESISIR
BIDUK TENGADAH BAK TELAPAK MEMOHON


RAMADHAN PUN TERBUKA
SEGALA BERKAH SEMOGA TERCURAH
SEGALA KHILAF TERHAPUS
DAN SEGALA RAHMAT BAROKAH BUAT KITA


AKU TULIS INI SEBAGAI GANTI JABAT TANGAN,
MOHON MAAF ATAS SEGALA KEKHILAFAN.
MARHABAN YA RAMADHAN

Monday, August 17, 2009

Sajak Anak Muda dan Kemerdekaan

Nyalang matanya menatap gedung penuh warna lampu,
iklan yang nyala, dan kekaburan cerita dalam buku-buku,
dihapus dari kejujuran kata,
sejarah sebuah bangsa yang dibikin amnesia

Anak muda sangsi hidupnya,
mengeja nasionalisme yang sekarat diterpa badai globalisasi.
Anak muda menangis memanggil ibu pertiwi.
Di hari kemerdekaan.
Yang ada hanya upacara.
Pesta. Merayakan hari-hari amnesia.

Ah, apa yang harus aku katakan tentang kemerdekaan?
Mengingat proklamasi Soekarno-Hatta.
Atau ledakan meriam 10 Nopember 1945.
Atau menghitung gedung-gedung mewah yang menggusur perkampungan kumuh!
Sementara mantera itu...
Menggerakkan seluruh sendi untuk terus bergerak,
bergerak, bergerak...

Pembangunan! beri aku pengorbanan,
barang selaut dua laut airmata darahmu.
barang sepetak dua petak tanahmu,
barang satu dua nyawamu

Anak muda merah matanya memandang langit:
"Adakah bahagia di sana, dalam belaian tangan-tangan malaikat.
Yang akan mengangkataku dari kekumuhan ini.
Dari keraguan memandang masa depan".

Ia bergerak dalam lautan massa.
Dalam gelora yang sama. Kata-kata menjadi generik.
Kata-kata menjadi ilusi yang menakutkan:
Penuh wajah garang dan kokangan senjata!

Sementara televisi menawarkan bahasa baru.
Menawarkan mimpi-mimpi baru:
dunia adalah perkampungan besar...
Anak muda menatap hidup penuh kabut:
"Adakah arti kemerdekaan bagiku.,
Yang tak pernah merasa merdeka.
Dari belitan sejarah.
Dan cengkraman kehidupan yang semakin sulit".

Bendera berkibar"Indonesia Raya"Indonesia Raya.
Adakah kau dengar kata-kataku ini.
Menawarkan cerita penuh luka.
Anak-anak sejarah kebingungan menatap cuaca
"Anak muda menatap Indonesia raya:"Merdeka?"


aku pinjam catatan sejarah Kang Nanang S
Malang, Agustus 1995

Sunday, August 16, 2009

Berkelebat Bayang di Malam Kemerdekaan

Bayang mimpi berkelebat melintasi batas
Mengajak angan mengarungi kembali memori
Bangkitkan rasaku
Untuk sekedar bisa bertemu dengan bayangmu

Telah tersulam kebahagiaan penuh benang emas
Tiada yang paham makna kain tersebut
Dibalik semua warna
Tiada yang tahu apa sebenarnya

Sekarang,
Segalanya terasa damai dan menyenangkan
Tapi aku tak pernah menyadari
Sebuah luka tlah tergores perlahan
Senyum dan tatapanmu meyakinkan
Mengajakku bersukacita

Memimpikanmu adalah kenisbian
Aku masih berharap ada di dekatmu
seperti sabit di malam kemerdekaan ini
Meskipun temaram tapi tetap bersinar
Semua tentangmu akan abadi

Friday, August 14, 2009

Semarak dan Semangat HUT RI di SMA N 1 Boja














































Tahun ini peringatan HUT RI ke 64 benar-benar beda dari tahun-tahun sebelumnya. Semua pihak benar-benar larut dalam suasana yang heroik, bukan masalah menang kalah, tetapi kekompakan, semangat dan kemeriahanlah yang menjadi tolak ukur kesuksesan peringatan kali ini. Mengambil tema "Dengan Semangat Kemerdekaan RI Tingkatkan Kesatuan, Kekompakan dalam Kinerja Mendidik Anak Bangsa". Lomba beregu sengaja dilaksanakan guna membina kekompakan dan kerjamasama team work. Seluruh warga sekolah menyemarakkan kegiatan ini, Kepala sekolah, Guru, karyawan serta siswa . Lomba tersebut meliputi estafet belut, estafet karung, makan kerupuk, estafet karet, dan panjat batang pisang. itulah moment-moment menarik yang dapat terekam dalam gambar. Hari ini juga masih akan berlangsung lomba2 lanjutan yang pada hari kemarin belum terselesaikan serta besok pagi semarak panggung kemerdekaan diisi pentas seni seluruh siswa dan guru.Bersamaan dengan panggung kemerdekaan di laksanakan juga Donor Darah di Hall SMA N 1 Boja sebagai wujud kepedulian terhadap sesama.













Wednesday, August 12, 2009

Sembunyikah Kau di Balik Awan

aku tertegun menatap keybord
layar monitor menunggu aku tuliskan sesuatu
tapi aku hanya tertegun

sementara langit temaram dalam kedukaan
mendung tlah sembunyikan rembulanku
entah kapan aku bisa menemukannya lagi
esok malam,
ahhh kelak pasti kan ada jawabnya

sepi purba tlah naungi cakrawala
kembali kutatap langit
siapa tahu kau muncul tersenyum
menyembul dari balik awan

tapi kembali gelap
kembali kelam yang aku pandang
segelintir mimpi pun tlah tertata
walau sedetik ingin aku kembali menatapmu

biarlah keyboard dan monitorku
mencatat kegalauanku
saat rembulan sembunyi di balik awan
entah kapan rembulan kan kembali bisa kutatap

kaliwungu, 12 Agust 2009

Monday, August 10, 2009

SMA N 1 Boja Kembali Pertahankan Juara Umum Olimpiade Seni dan Budaya








Sabtu 8 Agustus 2009 yang lalu, SMA N 1 Boja mengikuti olimpiade seni dan budaya yang diadakan STIKES Kendal. Cabang yang dilombakan meliputi 6 jenis yaitu baca Puisi, Pertolongan Pertama, LCC saint dan umum, Debat Argumen, Speech Contets, dan Tari Tradisonal.
SMA N 1 Boja sebagai juara bertahan memiliki beban yang lebih di banding peserta lain. setelah di mulai perlombaan satu persatu mulai kelihatan tim tim yang masuk final dan menentukan siapa pemenangnya. Dari enam cabang SMA N 1 Boja berhasil menyapu rata semua event dengan 3 emas, 2 perak dan 1 perunggu rinciannya Puisi sebagai juara I, Speech contest juara I,Tari Tradisional juara I, LCC sebagai juara II, Pertolongan Pertama sebagai juara II dan Debat Argumen juara III.

Thursday, August 6, 2009

Purnama Meredup Di Pesisir

Senja temaram dalam kebisuan
selimut jingga pun tersingkap dalam kelam
aku tertatih merayap dalam kedukaan
menyisir jalanan berkelok tembus rimbunan belukar

terhampar kerinduan diantara ranting kering
hembus angin hempaskan kantukku
aroma pesisir menyeruak
riak gelombang membisik menyusup perlahan

kutatap cakrawala di ufuk timur
purnama tersembul dalam kepucatan
menebal hitam berarak selimuti purnama

Entah apa yang berkecamuk
aku tertunduk
aku membisu
hingga purnama pun meredup
dalam bisik kerinduan pesisir

Monday, August 3, 2009

Buai Angin Pesisir awal Agustus

Dalam buai angin pesisir awal bulan Agustus
Ku tata kata tiap frasa dalam genggammu
Senja terjalin menuju rindu yang gagal kusembunyikan
Kutitip kata pada rembulan separuh meredup dalam bayangmu
sementara bintang membentuk tetris yang siap ku tata

Dalam buai angin pesisir awal bulan Agustus
ku pilih kata menjadi kalimat berbait rasa
membakar air pucat bercahaya memancar pekat
Ku rangkai kata yang terjungkal dalam hampa rasa pada embunmu
Embun yang setia menetes torehkan air kesejukan
Ku pilih kata. Ku eja rasa. Tak habis kupangkas kata.
Hingga sekelompok kata berbalut rasa memaksaku membentuk sajak

sementara wajahmu membayang bersama
buai angin pesisir awal bulan Agustus ini