Friday, June 27, 2008

Mukena pun tetap membisu

Fajar tersingkap seiring takbir
ujung malam berselimut kabut
samar bayang melangkah pekat
Kupandangi Mukena Emak menggantung di tepi dipan
membisu dan dingin

"Mak, mengapa Emak harus selalu tinggalkan malam-malamku?"
"Aku butuh emak, aku harus tanya siapa kalau bukan emak"

Langkah kaki makin sering menuju rumah Tuhan
aku melangkah menuju padasan basuh mukaku
Dingin merasuk kulit ariku menusuk
hingga menggigil

samar emak berkelebat menghindari tatapan
detik menuju menit emak tlah di depan cermin
persis ketika bedug maghrib bergema sore kemarin

menggigil aku tantang kekalutan
kusambar sarung di sisi mukena emak

"Mak, besok aku bisa masuk sekolah kan?"

Tanpa jawab Emak kibaskan rambut
Selembar Kapas menyapu wajah emak buang bedak dan gincu

"Mak, besok aku bisa masuk sekolah kan?"

Kembali Emak membisu
Berkelebat emak menuju Dipan
sebentar tatap aku
membisu seperti mukena disampingku

"Dah sana menghadap Tuhan, jangan lupa
doakan emakmu, agar emak tetap sehat,
dan juga besok, Emak tidak lupa kasih uang bukumu"
jawab emak sambil menelungkup membelakangiku

"Emak, betapa aku ingin seperti bantal itu
seperti selimut itu?"

Dengkur Emak terdengar seiring iqamah berkumandang
"Kapan Emak bantu pecahkan kesulitan pelajaranku,
Kapan emak mengajari aku tentang matematika, bahasa.....
Kapan mak?????

Thursday, June 26, 2008

Sepi Rembulan

Perpisahan merenta waktu
Kau kah yang tetap membisik telingaku
Aku tatap kalander tergantung bisu
Tiada kabar dari deret angka tentangmu
Aku bagai tiang di sudut rumahku
Harum keringatmu tiba-tiba berhembus bersama angin gunung
Berebut menyeruak menembus bulu hidungku

rona bulan di ceruk bukit mengintip kesendirianku
gelap dan senyap
semakin menceraikan keceriaanku

senggama malam dan kabut membuatku beringsut
paha alam tertutup tirai malam
cericit penghuni malam mendesah diantara gerah rembulan

sayu, redup tanpa binar terpancar
rembulan terpekur dalam kegundahan

Monday, June 16, 2008

Dua Jam Bersama Pelawak "Marwoto"


Angin sepoi berhembus dan membelai wajah-wajah yang kelelahan, Kulihat keceriaan siswa-siswi SMA N 1 Boja dalam wadah Komunitas Sastra Tetas "Divisi Pementasan", tatkala tiba di gang masuk ke rumah seniman lawak Marwoto.
Nama Besar Marwoto di dunia panggung menjadi acuan kami untuk berkunjung, bersilaturahim, berdialog seputar dunia panggung. Kebetulan kami juga berkutat dalam hal yang sama. Selain itu Dunia panggung khususnya dunia Teater tidak akan lepas dari sejarah pementasan di Indonesia. Kami bersyukur ketika mengontak beliau tiga bulan sebelumnya mendapat respon positif dan beliau sangat menyambut kedatangan kami.
Setelah sekitar lima menit sampailah kami di kediamannya dengan senyuman khasnya yang tidak berbeda kala tersenyum di "Ketoprak Humor", beliau pun menyalami kami. keramahan dan keakraban begitu cepat terjalin diantara kami. Kami kagum seniman besar yang begitu sering tampil di televisi ternyata masih mau menerima kami dengan tangan terbuka.

Setelah beberapa menit basa-basi, kami pun mulai diskusi yang diawali dengan kuliah singkatnya tentang dunia panggung. Pada dasarnya semua kegiatan di pentas yang ditonton oleh orang bisa dikatakan sebagai pementasan. Baik itu pementasan modern, konvensional, dll. Teater dan seni drama tidak berbeda dengan kethoprak.
"Saya itu berangkat dari kesenian tradisional, keluarga saya keluarga kesenian Tobong yang selalu berpindah-pindah untuk menghibur masyarakat. Dari situlah saya belajar bagaimana menjadi pemeran yang baik."
Begitulah pengakuannya kepada kami. selanjutnya beliau menyampaikan bahwa untuk menjadi pemain yang baik harus memiliki 5 (lima) G. yaitu Gandang, Gendheng, Gandhung, Gendheng, dan gendhing. Maksudnya Gandang yaitu memiliki suara yang keras, bisa di dengar oleh penonton atau kualitas vocal yang baik. GendhEng yaitu sebagai pemain harus mampu mengayomi pemain lain, bukannya menjatuhkan atau cari menang sendiri. bermain drama itu adalah team jadi semua menentukan sukses tidaknya cerita. Gandhung yaitu harus mampu membawa diri yang baik sebagai seorang pemain.apa pun perannya, lebih-lebih bila itu bukan peran keseharian kita. Gendheng yaitu sebagai pemain harus total. benar-benar menghilangkan siapa dirinya. gilalah terhadap peranmu, gila dalam hal ini totalitas kita harus benar-benar menjadi tokoh, jangan pernah membawa sebagian diri ketika di atas panggung maka tidak akan maksimal. Gendhing yaitu irama dalam bermain, pemain harus mampu mencari trik bagaimana medikte penonton. irama harus muncul dalam pementasan. selain itu juga harus bisa nembang atau bernyanyi.
Itulah lima pesan yang selalu kami ingat sebagai sebuah dasar tiap kita bermain dan berperan di panggung.

Saturday, June 14, 2008

Sehari Bersama Penulis"Menyusuri Lorong Dunia"Scanne3


Setelah puas berdingin ria di Keteb Pass kami pun bergulat dengan AC dalam pelukan perbukitan yang berkelak-kelok. Kembali aku berada di Negeri Asing, Mas Sigit memimpin rombongan dengan gaya Guide (masa lalu) Mas Sigit. Dalam perjalanan Ni Made Okky Saraswati salah satu peserta dari Bali bercerita tentang Pemujaan Saraswati. Kebetulan hari itu di Bali tempat kelahiran OKKY sedang mengadakan pemujaan Saraswati (Dewa Pengetahuan). Dia bercerita bahwa hari itu tidak diperbolehkan membaca, belajar atau pun aktivitas pembelajaran. Walaupun OKKY menggunakan bahasa Inggris, demikian juga Mas Sigit, aku masih bisa memahami maknanya, tapi kembali aku tidak terlibat karena jujur saja aku sangat kesulitan mencari kosa kata apa yang harus aku ucapkan.
Tidak terasa perut pun berontak menyodok dinding lambung, dan kami semua merasakan hal yang sama. Mas Sigit pun meminta Sopir menuju rumah makan untuk Lunch , dan alhamdulillah kami pun berhenti di rumah makan yang lumayan luas untuk makan ber dua puluh tujuh penumpang. Seperti semut mendapatkan madu, kami pun memesan makanan dan lagi-lagi harus menunggu beberapa menit. Masing-masing melakukan aktivitas ngobrol, sholat dan beristirahat sejenak.
Hening mengiringi kami makan saat itu. Kulihat berbagai macam menu terhidang di meja, ada udang goreng, ayam goreng, pecel, dan lele goreng.Ternyata mas Sigit, Claudia tidak canggung menyantap makanan khas Jawa ini. Sesaat kemudian kami usai dan kembali dihempaskan dalam dingin AC bus, perlahan bus membawa kami menuju Candi Borobudur. Setelah 15 menit kami pun tiba di pelataran Parkir Candi Borobudur.
Segera kami melangkang menuju pintu masuk Candi. Ku bawa bungkusan Hitam yang menarik perhatian Mas Sigit.
"Apa itu Pak?"
"Ah bukan apa-apa kok mas, ni anak-anak mau ada acara" sahutku
"Miss Claudia gak Ikut Mas, kucoba alihkan perhatian Mas Sigit"
"Ah Caludi dah sering ke sini, dan lagi tiket Claudi lebih mahal daripada kita, yang utama Claudi ingin Istirahat karena Capek"

Setelah beberapa menit pesan Tiket kami pun masuk dan mencari lokasi di bawah pohon beringin tua depan Kantor Pelayanan. Kami melingkar dengan suasana ceria. Yani pun membuka acara dilanjutkan sambutan "Mbah Nur", Mas Sigit kaget dan tidak menyangka kalau acara itu sebenarnya adalah surprise untuk ultahnya yang ke-45.
Mas Sigit agak gugup ketika di minta meniup Lilin dan memotong Roti.
"Aku tidak menyangka kalau acara ini untuk Aku, sebab setelah sekian lama tinggal di Swiss tidak pernah ada acara seperti itu" dalam untaian kata sambutannya.
Selamat Ulang tahun mas Sigit, semoga semakin sehat dan lebih berkarya. Jujur saja kami banyak mendapat perhatian dari mas sigit, komunitas Sastra Tetas, anak-anak SMA Boja jurusan Bahasa, sangat terbantu dengan kepedulian Mas Sigit selama ini.


Di sela-sela melihat-lihat candi Mas Sigit menyampaikan bahwa hari itu Kedaulatan rakyat, Republika sedang memuat Resensi Bukunya. Sebutan Columbus Modern pun melekat dalam dirinya. Tanpa sadar kami telah mencapai tingkat 2 sebelum puncak candi.
"Sastra tidak akan berkembang kalau kita tidak pernah peduli akan bentuk dan mengisinya dalam bentuk apa pun, baik itu puisi, prosa maupun Novel" jelasnya
"Kesempatan untuk menjadi terkenal sangat sulit. Maka ketika karyamu mencuat dan best seller itulah awal tapak-tapak ke depan tlah terlihat untuk menjadi seorang penulis. Untuk menjadikan karya terkenal tidak ada patokan waktu, mental dan kesabaran yang akan menentukan masa depan penulis". Kembali perkuliahan singkat menyeruak di telingaku dari seorang Columbus Modern

Friday, June 13, 2008

Sehari bersama penulis "Menyusuri Lorong Dunia" Scanne 2


Setelah puas di Pelataran Parkir Kopeng dengan wedang ronde dan sate kelinci kami pun melanjutkan perjalanan ke arah selatan menuju Keteb Pass. Keteb Pass adalah menara pandang yang diresmikan presiden Megawati kala itu sebagai tempat untuk melihat dari dekat puncak merapi dengan segala kelak kelok lembah di punggungnya. Bus pun meliuk-liuk menapak demi setapak jalanan yang menanjak. kiri kanan terlihat petani dengan sabar mencabuti rumput diantara tanaman "kool". Sementara mendung terus memayungi kami. Terpikir dalam benakku "ahh bakal mengecewakan cuaca kali ini". Benar juga ketika Bus menyapa tempat parkir mendung masih bergelayut manja di langit.
Kami pun menuju taman khusus pengunjung yang disediakan pengelola. Mas Sigit pun terus berdialog denganku mengenai Danarto, Joko Pinurbo, Bli Wayan, Taufiq Ismail. bahkan kami pun tak lepas dari pembahasan "Ayat-ayat Cinta" yang tiba-tiba menyeruak dalam kancah novel religius Indonesia. Sementara Claudia Beck masih asyik melayani anak-anak berbincang-bincang. Hanya sayang, kami tidak bisa melihat puncak merapi yang baru saja memuntahkan laharnya beberapa bulan yang lalu. setelah beberapa menit rombongan kami dipanggil untuk menuju sinema park tepatnya pemutaran film dokumenter tentang "Merapi". sekitar 25 menit kami menyaksikan peristiwa alam yang maha dashyat itu di depan mata.Fenomena awan panas atau "wedhus gembel" semakin membuat kecil nyali, bahwa kita sangat tidak ada apa-apanya hidup di alam ini.

Mas sigit kembali menegaskan bahwa dalam penulisan sebuah karya jangan berfikir fee ato royalti. Sebab sebuah pilihan untuk menjadi penulis kita harus siap menerima apa yang dinamakan hukum dagang. Memang penulis punya hak mematok harga tapi kalau itu justru menghambat buku beredar, maka jangan dulu berpikir fee.
menulis bisa menjadi mata pencaharian juga bisa menjadi bagian dari kehidupan yang mengasyikan. dan aku belajar banyak dari mas sigit. Kedermawanan penulis ini mengagetkan aku sebagai teman barunya. kerendahan hati dalam menegakkan benang basah dalam kancah sastra patut diacungi jempol. "Donat untuk Kusno" salah satu embrio yang bakal membesarkan tempat kelahirannya yaitu "Boja" merupakan usaha kami bersama dalam menggiatkan sastra remaja. Ya yang paling berperan tetap mas Sigit.

Monday, June 9, 2008

Sehari Bersama Penulis "Menyusuri Lorong Dunia" scanne 1

Selimut fajar tersingkap di ufuk timur seiring siualan mesra sang jantan di kandang sebelah. Dering berdenting seiring es em es muncul di layar mungilku.
"Aak, jangan lupa pukul tujuh harus sudah di pondok Maos 'guyub' dah ditunggu Mas Sigit ama Miss Claudia."
Aku pun beranjak dari tempatku semalam mengarungi dunia mimpi, aku hanya bisa membayangkan apa yang harus aku lakukan , aku ibarat akan menghadapi ujian skripsi eh kok melamun ke masa mahasiswa ya. Aku hanya bertekad bagaimana agar mereka tidak kecewa ketika aku terlibat dalam wisata sastra mereka. aku anggap ini wisata sastra karena memang Mas Sigit seorang "Columbus modern" yang bersenjatakan pena untuk menaklukan negara yang bertekuk lutut di bawah kibaran karyanya. sementara aku hanyalah seorang abdi negara yang berkutat dengan buku dan meja serta kursi yang membisu bila tanpa siswa.
Aku pun segera bersiap-siap dan ku kendarai kuda jepangku yang bernama "Revo". kusibak dingin pagi di tengah kabut hutan yang menusuk pori-pori jaketku dan menyentuh mesra kulitku. 30 menit pun berlalu dan aku sampai juga pondok maos "Guyub". Aku sangat menyesal, aku benar-benar tidak menyangka. Bayangan di benakku aku adalah peserta terakhir karena aku paling jauh gubugku diantara peserta yang lain. Karena memang hanya aku yang bertempat tinggal di Kal-Tim (maaf Kaliwungu Timur) di bandingkan teman-teman di Boja sana. Ibarat garam di laut asam di gunung bersatu dalam keluarga "Guyub"
Aku masih belum bisa mengerti, mengapa masih banyak orang yang belum menghargai waktu. Mas Sigit-Claudia Beck adalah orang-orang yang benar-benar menghargai waktu. mereka sebagai tamu ketika di Boja sekaligus tuan rumah. tapi mengapa peserta yang begitu dimanjakan justru belum siap bahkan belum datang. "Jam karet ini ya, ini jam karet" bisik Claudia pada peserta yang telah datang, aku hanya tersenyum mendengar kritik Claudia.
Akhirnya setelah beberapa waktu yang bagiku sangat lama untuk menunggu akhirnya tepat pukul 08.00 kami pun meninggalkan Boja. Aku merasa di sebuah kapal asing ditengah dentuman suara bom-bom yang memekakkan telinga. aku merasa sangat kecil. ya Bom-bom bahasa inggris, jepang, perancis menggema di setiap waktu. aku hanya bisa maknai tanpa bisa menimpali karena aku sangat kesulitan mencari kosa kata apa yang harus aku ucapkan. Aku pun kini menyesal kenapa aku tidak mahir berbahasa asing. Ya apa guna penyesalan kenyataannya aku sudah berda di tengah kapal pesiar yang merayap di tubuh ular. berkelok-kelok dan begitu panjang kami lalui. Aku hanya pandangi pemandangan luar jendela yang menjadi hiburan tersendiri bagiku.

Akhirnya kami pun bersandar di sebuah taman parkir yang begitu dingin dengan pemandangan pendagang keliling menjamur. Yah Kopeng adalah persinggahan pertama kami. Disitulah aku mulai berdialog dengan Mas Sigit, satu persatu keluhku tentang sastra di Indonesia di timpali dengan pandangan sastra luar yang begitu demokratis dalam perkembangannya. Wedang Ronde dan Sate Kelinci menjadi cemilan kami di sela-sela diskusi. Shio pun aku telepon dan dia ucapkan selamat bersastra ria katanya. Mas Sigit pun dikabari bahwa Shio akan ke Bali Bulan depan. mereka pun berdialog hangat sekitar 5 menit, di tengah ceria tawa anak-anak eks Bahasa kami pun lanjutkan perbincangan.
Mas Sigit banyak memberi masukkan untuk lebih sabar dalam melakukan aktivitas menulis. Setahun Ia selesaikan "Menyusuri Lorong Dunia" baginya menulis dengan model travelling lebih mengasyikkan di bandingkan dengan menulis yang hanya duduk saja, Mas Sigit pun bercerita bagaimana Lounching bukunya yang banyak mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia. Bali, Malang, Jogja, Semarang, bahkan Bandung telah mempublikasikan bukunya. jangan berpikir bagaimana sambutan pembaca. tapi cobalah terus menulis biarkan masyarakat pembaca yang menilai, karena itulah pross alami dalam menulis. lebih-lebih bila sudah dikenal masyarakat, harus siap diterima, atau dicemooh. bahkan Mas Sigit juga mencontohkan tokoh-tokoh sastra dunia. semisal Kaffa yang memang tidak butuh popularitas, biarkan orang tahu sendiri kualitasnya. Aku hanya menyimpan dalam memoriku tiap kata yang Ia ucapkan aku harapkan itu menjadi motivasi bagiku ke depan.



Wednesday, June 4, 2008

Mukena dan Gincu Emak

Semayup azan perlahan menyusup telingaku
bergegas ku ke kamar
ku lihat emak tengah asyik dengan bedak dan gincu di depan cermin
ku tertegun, kupandangi emak yang tidak tahu kedatanganku

kusambar sarung di tepi dipan
tak kusangka mukena emak pun melayang
menyentuh lantai tanpa tertahan
berdesir hatiku melihat mukena emak

emak menoleh dan memandangiku
"mengapa engkau jatuhkan mukena emak, Nang?"
aku tiada menjawab hanya linangan air kehidupan
tiada bisa kutahan di mataku

"Besok aku harus bayar buku, Mak! kalau tidak aku tidak
boleh ikut pelajaran"
emak terdiam, senyum mengembang diantara
bau parfum menyeruak menggelitik bulu hidungku

Emak melangkah menyentuh mukena
dan meletakkannya kembali di sisi dipan

sementara iqamah berkumandang
kembali hati ini berdesir
"Besok aku harus bayar buku Mak! kalau tidak aku tidak
boleh ikut pelajaran, Mak!"

Emak tersenyum perlahan dibelainya rambutku
"Iya Nang, minta pada Tuhan saat sujudmu nanti ya Nang,
doakan Emakmu, agar malam ini, Emakmu banyak Tamu,
jangan lupa ya Nang"

langkah emak kian cepat tinggalkan pintu
ku berlari tatap emak yang menghilang di telan
pekat kabut di ujung gang
sementara para jamaah berlari takut ketinggalan fathekah pertama

aku hanya terdiam
tatap bayang emak
tatap mukena emak
yang terlena tanpa kehidupan

Catatan Kecil Bedah "Donat Untuk Kusno"

Sore itu, jam mungil di dinding menunjukkan pukul 16.15 waktu Boja dan sekitarnya. Lima puluhan pengarang muda dengan ceria duduk bersila di sebuah pondok Baca "Guyub" pimpinan mas Sigit pengarang "Menyusuri Lorong Dunia". Acara pun di buka oleh Herry sang kreator. Satu per satu mereka mengutarakan latar belakang proses kreatif yang telah melahirkan buku tersebut. Buku yang di dalamnya memuat puisi dan prosa tersebut pun terasa tidak imbang dengan cara mereka menyampaikan argumentasinya. Aneh. atau memang mereka masih malu-malu untuk mencari kata apa yang harus mereka sampaikan?
Aku pun dengan asyik merusaha menelusuri tiap kata yang ada dalam buku tersebut.Tak terasa mereka telah usai dan herry pun meminta aku untuk mengapresiasi karya mereka.Mmemang melihat karya mereka tidak akan lepas dari dunia remaja. Tema remaja menjadi patokan utama dalam puisi-puisi yang mereka tulis. kiasan mereka buat dengan bantuan gaya bahasa yang lazim mereka gunakan. Personifikasi, metafora dan hiberbola menjadi andalan mereka, tetapi mereka terjebak dalam fantasi yang lemah. Surealisme berusaha mereka munculkan tetapi kekuatan belum begitu kuat. Merayap ke prosa aku pun melihat karya-karya yang begitu dangkal dipaksakan untuk di rangkai menjadi cerita yang beralur, tetapi sekali lagi berputar-putar dan seakan hambar hadir dalam kisah mereka. Ketidakberanian untuk memunculkan sesuatu yang kuat masih begitu jauh. seakan hanya mengalir seperti sebuah narasi biasa.
Yang lebih penting lagi adalah mereka terjebak dalam koridor sastra dan populer. Maksud saya, rangkaian diksi yang mereka gunakan lebih banyak menggunakan diksi bahasa remaja atau gaul. Dalam hal ini penting, lepas dari jenis karya apa yang mereka buat. Mereka harus yakin bahwa mereka akan berada dalam tataran sastra atau kah tataran populer.Saat ini saja ada teenlit yang jelas-jelas menjadi santapan pelajar yang populer dibanding dengan novel sastra.
Lepas dari itu semua. Angkat topi buat mereka. Langkah awal telah mereka tapakkan.Motivasi pun meluncur dari mulutku. Mas Sigit juga tidak capai menyambung apa yang telah kuuraikan. hanya satu kata. maju terus dan jadilah penulis kreatif. atau berhenti dan hancur harapan menjadi penulis andai kau hanya ingin "Donat Buat Kusno" ini sebagai prasasti mu.
Tak terasa begitu asyik diskusi azan maghrib pun menggema di sela-sela sayap kelelawar yang menyinggung daun di samping pondok maos Guyub. Kami pun mengakhiri dan saling berpamitan dan mudah-mudahan ketemu lagi dalam bedah karya selanjutnya.

Teriring doa untuk penulis muda tetaplah berjuang dan tetap menulis.
Terima kasih buat "Lereng Medini Press", Mas Sigit, Pondok Baca Guyub yang masih mempercayai saya untuk memberikan masukan dan berjuang bersama dalam membesarkan sastra di Boja.

GURINDAM

Bentuk puisi lama Indonesia yang berasal dari Tamil (India) yang masuk ke Indonesia kira-kira tahun 100 Masehi. Gurindam terdiri dari dua baris berkait yang di dalamnya berisi nasihat. Ciri khasnya adalah bentuknya terdiri dari dua baris yang rima akhirnya sama. Baris pertama berupa isyarat, peringatan (hal) dan baris kedua berupa akibat atau jawabannya.

Contoh :

Awal diingat akhir tidak
Alamat badan akan rusak

Kurang pikir kurang siasat
Isyarat dirimu kelak tersesat

Kalau mulut tajam dan kasar
Boleh ditimpa bahaya besar

Menurut Raja Ali Haji gurindam adalah perkataan dengan syarat dan sajak akhir pasangannya, tetapi sempurna perkataannya dengan syarat dan sajak yang kedua seperti jawab.

Jenis gurindam

1. gurindam berangkai gurindam yang kata pertama pada baris pertama tiap gurindam sama

contoh
a. cahari olehmu akan sahabat
yang dapat dijadikan obat

b. cahari olehmu akan guru
yang mampu memberi ilmu

c. cahari olehmu akan kawan
yang berbudi serta berkawan

d. cahari olehmu akan abadi
yang terampil serta berbudi

2. Gurindam Berkait Gurindam yang bait pertamanya mempunyai hubungan dengan bait berikutnya

Contoh
a. sebelum bekerja pikir dahulu
agar pekerjaan selamat selalu

b. kalau bekerja terburu-buru
tentulah banyak keliru

Monday, June 2, 2008

MALAM

Aku tersadar saat malam kembali menyapaku, setelah entah berapa lama aku mendiamkannya sepi sendiri membelengguku.
Aku sudah tak ingat sudah berapa lama aku tak meyapanya kembali atau sekedar duduk hening bersamanya...
Aku termenung saat malam berkata tulus merindukanku. Aku terhenyak, kalut, menyesal atau entah apa.
Dia rindu bisik mesra, dia rindu tangis harapku. Dia rindu...
Aku ingin mencoba memulai hubungan ini kembali.
Malam, ijinkan aku kembali memuliakanmu dengan sujud-sujud panjangku...

Biarlah Sendiri

Tinggalkan diriku, kesalahanku

Demi cinta yang menyatukan jiwamu dengan kekasihmu

Tinggalkan aku, demi kesalahanku

Demi cinta yang menggabungkan jiwa dengan kasih sayang

dan mempererat hatimu dengan cinta kasih

Pergilah, tinggalkan aku pada hatiku yang menangis

diriku berlayar mengarungi samudra impianku

Menungggu sampai kapan datangnya hari esok

Nyanyian adalah kesia-siaan, namun bayangan ruhmu

berjalan menuju pusara rasa

Aku punya sekeping hati dan

aku ingin membawanya keluar dari penjara hati,

meletakkannya di atas telapak tanganku

seraya memeriksanya dengan teliti

lalu menyingkapkan rahasianya

Aku bukanlah anak panah

yang siap menancap pada hati yang terlena

Sebelum dia menuangkan darah rahasia-rahasia

sebagai pengorbanan di hadapan altar keyakinannya

yang telah diberikan oleh sang hari

ketika dia menata cinta dan keindahannya

Matahari bersinar, burung bersiulan dan sang hantu

meniupkan serta menghembuskan nafas harumnya ke angkasa

Aku ingin membebaskan diriku dari rasa yang menyelimuti

Bukan karena bencana telah membuka hatiku

dan air mata telah menggenang dipelupuk mataku,

janganlah berbicara tentang pengasingan

Proses senantiasa bergerak.

Keindahan senantiasa mengibarkan panji-panji hasrat.

Biarkan aku melangkah sebab jalanan

telah penuh bunga-bunga serta udara yang meyelimutinya

Wahai burung nazar datang dan galilah dengan paruhmu disini

sampai bagian kiri dan air mata mengalir dari burung kecil

yang telah patah sayapnya hingga tiada bisa lagi berkepak.

Digubah oleh Nurhadi,S.Pd

Berdasarkan cerpen Kahil Gibran “Hatiku dan Lautan”