Sunday, May 31, 2009

Sajak Akhir Bulan Mei (Realita Hidup)




Saat langkah menuju selatan
Di rimbun pohon jati mengelilingi
Rumput layu terbang menerpa kulit
Tersentak
kuterkejut
Dialog rumput berkata
"Lihat Lek Sarto pemulung buntung
Tak berkeluh kesah"

Lembayung iringi
kemudian aku melangkah ke barat
Di derum serak angkutan desa
Rumput layu melayang tampar kulit
Tersentak
ku terkejut
Dialog rumput membentak
"Lihat Kang Sarjo pedagang asongan
Tak berniaga harga diri"

Lalu Aku ke utara
Di cekikikan tawa di warung remang-remang
Rumput layu hinggap gelitik kulit
Tersentak
kuterkejut
Dialog rumput menggema
"Neneng gadis kecil penggoda malam
Tak sudahi gapai amarah"

Gemericik pesisir undang aku ke Timur
tuk sampaikan pesan rumput buat angin gunung
Tentang Lek sarto, Kang sarjo dan Neneng

Thursday, May 28, 2009

Ku Usung Jenazah Cintaku


Dingin tirai kenanganku
Menyerah di gurun ingatan
Terciptalah savana kehidupan
Percintaan dalam perjuangan

Kesetiaan sebagai pualam
Bisikanmu penuh pengharapan
Tiada garis tanpa batas
Segalanya kodratmu Tuhan

Alam bagai mengerti
Segala yang terjadi
Embun menitis panas
sinarkan simpati


Logika berdarah kuterima
Gugur kuntum di tengah halaman
Medan kini kurasakan sepi
terpaku pilu
Kusemaikan pepohonan kamboja dan bunganya adalah hatiku
Semua hilang dalam kedamainan
semangatku tetap bersamamu

Kan ku usung
ohh jenasah Cinta
Semadikan Nisan kasih suci

Dingin meragut kenangan
Menyeruak dari lamunanku
Percintaan dalam perjuangan
Kau Abadi Srikandi Cintaku

Sunday, May 24, 2009

Kerling Matahari Senja di Pesisir


Kerlingan matahari belum genap bersandar
di ujung barat
aku terduduk di antara karang dan keranjang ikan
memandangi hamparan riak berbusa
dengan hati terbebat luka

aku hanya diam
ketika harus mengalami ini
dan aku mencoba tegar
untuk realistis menatap
untuk tak terjerembab


apa arti bayang ini bagiku
haruskah aku memasung hati
haruskan aku terdiam
dan memasukkan seluruh isi kepala ini
kedalam lemari es agar beku

mengapa semua bayang ini memanggilku
mengapa semua bayang ini membuatku luka
mengapa bayang ini melilit gerakku,
haruskah
aku menumpahkan isi otakku
sedangkan kau diam terpaku

dan hanya bicara tanpa mendengar
dimana aku harus melepaskan semua kegilaan tangan ini
sedangkan kau hanya sibuk
dengan ego dan emosimu
apakah arti sebenarnya
semua ego yang tinggi ini
seluruh kegilaan ini
apakah aku harus luluh
apakah aku harus menutup semua bayangmu

apakah aku harus membelenggu hati ini
hingga luruh segala asa tanpa bisa dimaknai
seperti kerlingan matahari senja ini


Aku Kembali


aku..
hanya sinar yang melintas
sekedip bagai kunang-kunang kecil
dan engkau sayap-sayap yang meranggas
seusai berkelepak kau mengudara
membawa hatiku …

kita…
ialah kata yang terlambat
tercipta yang semestinya tak terjadi
dan
kata ialah rasa yang pertama dan terakhir
tuk merangkum kerinduan kepasrahan

warna hatiku memang tak sebiru langit
tak seputih awan
tak secerah matahari
dan tak seanggun bulan
aku memudar seiring tenggelam sang surya
aku rela dengan apa yang harus kujalani
seperti ku ikhlas membuang segala asaku

aku…
tergugu disini…
kupandangi jalan di depanku
kutelusuri jejak yg masih kupeluk
aku memilih…
aku memilih kembali kemasa lalu
waktu yang hampir terlupakan dan
membiarkan bermanja tertawa tanpa ada rasa takut dan curiga…
dan aku kembali…

Tuesday, May 19, 2009

Setetes Air Luka







Garis senyum itu menyayat hati

Tak ada yang lebih membekas selain

senyum hati tersungging di lesung pipimu



Melengkung menoreh makna, Meninggalkan

luka pada tiap jengkal ingatan ini

Senyummu menggores dalam sudut hatiku

Setetes air hujan turun menyertai duka

Saat Semua harus kembali seperti dulu




Monday, May 18, 2009

Senja dalam Tatapan Emak

Angin pesisir perlahan berhembus kala langit masih berselimut semburat merah, kutatap Emak yang merajut kain di senja yang bisu ini. Pandang mata emak jauh mengembara tak seiiring dengan tangan emak yang bergerak lincah mengikuti jarum dan benang yang menyusup diantara lubang kain. Aku tak mengerti bila kejadian kemarin masih menyisakan rasa di benak Emak.

"Mak, kenapa Emak melamun?"

"Eh kamu Nang, sini duduk samping Emak, mak mau tanya Nang"

"Apalagi sih Mak? wah bagus benar rajutan Emak"

"sudahlah jangan mengalihkan perhatian, mak mau tanya kabar bulan?"
"Lho kan sudah Nang jelasin, Bulan mengambil jalannya sendiri, dan aku sama Emak di sini"

Mak hanya terdiam, ada sesuatu yang Mak ingin tanyakan tapi hanya mata emak yang menjawab pertanyaanku. Kembali tangan Emak merajut dengan lincahnya tapi mata Emak lepas kembali ke arah senja yang semakin kelam seiring angin dingin yang juga mulai membekukan kehangatan.
Sementara itu terdengar "Tuhan Tolong" Derby mengalun dari transistor di leher seorang penggembala yang dengan setia mengikuti lima ekor kerbau untuk menghantarkannya ke peraduan di ujung desa. Menyayat dan mengiris lirik lagu itu kembali menguak kenangan. Album demi album terbuka dalam memori di kepalaku.

"Kenapa kamu menangis Nang?" tiba-tiba suara Emak mengejutkanku
"Nggak papa kok Mak"

"Kamu tuh aneh Nang, nggak papa kok ada yang mengalir dari matamu, apa itu bukan menangis namanya Nang?"

"Nang teringat terakhir saat bulan menyampaikan bahwa dia harus menjalani kehidupannya yang baginya sebuah dilema Mak"

"Maksud kamu Nang?"

" Yah, bulan mencari kesempurnaan yang tidak ditemukan dari seseorang, Nang mengerti kok Mak, bulan itu baik, sayang sama Nang, tapi keadaan yang membuat bulan tidak bisa Nang miliki"

"Sudahlah Nang, ambil saja hikmahnya bahwa semua itu adalah bukti kehidupan. saat datang kebahagiaan ya dirasakan kebahagiaan, selama komitmen untuk merasa bahagia itu dirasakan dengan lapang dada, syukur pun akan terucap dalam hati, tetapi yang harus diingat jangan saling menyalahkan disaat semua harus berakhir Nang, kedua pihak harus bisa menerima bahwa semua yang dijalani ini memang sudah harus diterima, jangan pernah mengungkit apalagi menuduh mempermainkan itu bukan hal yang baik Nang. Kalau memang dulu merasa bahagia, ya sudah rasakan kebahagiaan itu, tapi kalau sedih ya segera buang untuk kebahagiaan selanjutnya"

"Tapi berat menjalaninya Mak"
"Iya nang Emak tahu kok, memang teori itu tidak seberat yang merasakan, itulah yang Mak katakan. Di dunia ini ada dua kutub utara-selatan, sakit-sehat, bahagia-sedih, itulah yang memang harus kita jalani. Semua akan berpisah Nang, kalau bukan sesama kita yang memisahkan, toh nantinya Tuhan pun akan memisahkan dengan kehendaknya Nang"

"Iya Mak....."

"Bapakmu saja sampai sekarang tidak tahu di mana sosoknya?, sampai setua ini Emakmu masih belum tahu, Emak terima dengan ikhlas Nang, toh ini sudah garis yang harus Emak jalani. Jadi belajarlah dari Emakmu Nang"

"Maafkan Nang Mak, bila mengingatkan Mak akan Bapak"
"ya ya sudahlah, kamu mandi dulu sana keburu magrib lho"

"Iya Mak, maturnuwun, Mak kembali menguatkan hati Nang"

Seiring alunan Juz Amma di kubah Mushola aku pun tinggalkan Emak yang masih saja menatap jalan setapak hingga sudut gang, ada sesuatu yang Emak nantikan. Aku hanya bisa meraba tanpa jawaban, Bapakah yang emak nantikan ataukah kebahagiaanku yang Mak harapkan.

"Maafkan Nang Mak bila belum bisa membawa seseorang untuk membahagiakan Mak"

Sunday, May 17, 2009

Maafkan Nang, Mak!


Terlihat dengan jelas raut muka Emak yang mulai tergurat usia, kerudung putih dan kacamata semakin membuat aku kagum, kerentaan tidak mengurangi kesigapannya.
Akupun perlahan melangkah kupijit pundak Mak yang agak kaget tidak mengetahui kedatanganku.

"Mak, maafkan aku Mak...."

"Ada apalagi to Nang?"

"Bulan tidak bisa Nang bawa ke Emak, Nang sadar Mak, bulan sudah jadi milik orang lain Mak"

"Ya sudah, syukur kalau kamu dah menyadari..., bagaimana dengan Bulan nang?"

"Bulan sedang berusaha menyadari Mak, walau bulan masih sering protes akan perasaan kami Mak"

"Mbok wis to Nang, kasihan Bulan, biar bulan tenang dengan kehidupannya..., biarlah bulan tentukan apapun sikap bulan kamu harus terima sebab bulan yang akan menjalani Nang"

"Iya Mak, bulan memilih jalan hidupnya sendiri, sementara aku sama emak di sini"

"syukur-syukur, Mak nggak marah dan nggak papa Nang"

Emak pun memelukku, kurasakan air menembus baju di punggungku.Kehangatan kasih terasa seperti kala aku masih dalam gendongannya.

"Mak, menangis? maafkan aku Mak"

Tanpa kata Emak menuju kamar menyibak sekat yang menghempaskan angin.

"Kalau Mau makan, semua sudah ada di meja"

Friday, May 15, 2009

Cerita Lampu Tidur pada Dingin Dinding Kamar


Sebelum jam membangunkan azan yang tidur di kubah masjid,
saat pagi belum bisa melihat ,
tiba-tiba air hangat jatuh dari matamu
menjadi embun di ujung-ujung daun rumput,
jika harus aku menuliskan jejak-jejak kegelisahan kamu
yang tak rela meninggalkan aku,
tentu saja sajak ini akan sangat panjang,
barangkali lebih panjang dari perjalanan yang kamu tempuh sebelum tiba di sana,
di tempat kamu dipenjara kebahagiaan berbalut kegelisahan yang tak mampu kau tampung,

Lampu tidur dikamarmu tetap terjaga walau bermata rabun,
cahayanya kau biarkan separuh hidup separuh redup.
ketahuilah, mata lampu yang hingga kini masih bertahan hidup itu,
selalu bercerita kepadaku tentang kamu yang tak mau meninggalkan bayangan tubuh di dingin dinding kamar

Terdengar sangat tersiksa oleh kata itu
sementara aku tak menghendaki kau tersiksa sedikit pun
namun entah kenapa aku hanya mampu menemukan kata itu
untuk menggambarkan tentang perasaanmu
saat hendak melepaskan diri dari gelisah dan saat kamu
dipenjara kebahagiaan lain

Wednesday, May 13, 2009

Gundahku Tak Berpeluk


Aku tulis sajak ini kala hati gundah
sepi semakin purba melata pada kesenyapan
semalam rembulan pucat dalam balutan mendung
aku yang terpuruk dalam retina matamu
entah sampai kapan bisa bertahan

Burung bangau pun masih mengais dilumpur
dalam kesendirian Ia masih bertahan
aku yang mengharap senyum menyirami hati
tapi sinismu yang menghujam kalbu

Kau berikan kata harap tapi kau tak pernah
memupuk agar tetap bersemi
justru belati kata yang kau tusukkan
seakan tidak mau mengerti
aku yang masih terpuruk dalam retina matamu

kini aku bersama burung bangau
tatap debur riak yang mengalun
bersama angin pesisir melamunkan senja
senja yang tak mengerti akan kata

Monday, May 11, 2009

Lelah Aku Terpenjara Retina Matamu


Semakin letih aku terpenjara lelah
terkurung dalam retina matamu
ingin menepi tapi bukan pergi
menjauh tapi bukan terjauh

syair hati turut lagukan kerapuhan
larut bungkam keresahan
ketika malam ia melagu
pada hati ia menepi

tertawalah denguskan penatku
maka lelapkan juga lelahku
seiring jiwamu yang terpaku
aku berlari sambut tanduk hati
sebelum akhirnya
menari pada gontai bumi

Sore di Mata Birumu

selamat sore
aku harus pergi

apakah di sana hujan?
kupikir kau telah punya payung

aku hanya ingin mencatat:
matamu begitu biru

menyimpan pulau-pulau
dengan laut tak lagi asin

sore menjadi begitu ngilu
mulutku gagu

tapi harus kukatakan kini
aku menitip puisi di matamu

yang bakal jadi bibit hujan
dan sumber cahaya

selamat sore
aku harus pergi

aku pinjam catatan sahabatku
dari Bone-Sulawesi Selatan

Saat Aku Jauh

Irama malam mengalun sendu

lewat hembusan angin

adakah kau dengar bisikku?

terdengarkah detakan jantungku?

denyutan kasih irama rindu?


Ini bulan yang ketiga

semenjak pertemuan terakhir kita

lambaian penghabisan dan kau berlalu

jabatan terakhir, selengkung senyum teduhmu

selalu terbayang dan terkenang

dan aku slalu tenggelam dalam penantian

kapan sang waktu ‘kan membawamu kembali

kapan kesepian, kesendirian dan kerinduanku bertepi?

mungkinkah,terlalu naif mengharapmu kembali

tapi, salahkah bila slalu ku nanti

padamu, asa kupersembahkan

kesepian tlah mengajariku akan banyak hal

seperti menangis dan tertawa,

diantara ketakutan dan keberanian

mengajarkanku tentang kesabaran dalam penantian

sedang kebimbangan mengajariku

tuk curiga, cemburu, bahkan percaya

saat terpisah jauh

menemui sepi dan kesendirian

Saturday, May 9, 2009

Dalam Ketidakberdayaan Masih Merindumu

Membayangkan seraut wajah yang tak nyata itu membuatku ingin melakukan sesuatu pada khayal itu. Kubayangkan kamu terbawa angin yang tak keras namun lembut, seperti yang biasa menerbangkan nyiur – nyiur di pantai. Dan kamu akan melayang perlahan dari singgasana yang tak nyamanmu itu menuju tempat yang berhingga namun aku tahu kamu akan bahagia walaupun hanya merupakan sebuah tempat yang mungkin tak kan pernah ada yang abadi di dalamnya, kecuali cinta.
Ya, cinta… aku tahu cuma itu yang kamu harap dari tempat yang bukan tidak berhingga, dan aku tahu akulah yang ada di dalam kulitnya. Meringkuk tak nyaman karena dibahanakan oleh kerinduan yang nyata walaupun hanya dalam pikiran yang tak pernah nampak dan tak pernah terucap. Menjalani perkelanaan di kulit itu tanpa pernah keluar menembus belulang dan urat – urat yang bergelimpangan. Namun aku tersiksa dan aku merasa terpaksa. Kuberjalan dan berkelana dalam kulit itu dengan seluruh penderitaanku. Kulit itu tak sesuai dengan cita dan anganku sebenarnya, dan hanya dalam kulit itu aku tak pernah keluar dan tersiksa di dalamnya, dan tersiksa oleh kata rindu hanya untukmu.
Aku rindu dan benar – benar rindu, jikalau kamu punya waktu beberapa hari seperti dulu dan mampu terbang dan tinggal menuju kulit di mana aku tinggal dengan tak nyaman namun berusaha aku nyaman – nyamankan, aku akan menyatakan aku akan bahagia dengan senyata – nyatanya. Senyata kamu yang mengucapkan kata cinta padaku, walaupun tanpa bisa bertatap wajah, dan hanya bisa merasakan kesepian dan kesenduan belaka. Namun aku percaya aku dan kamu, satu, cinta.
Tak tahu mengapa ada sesorang yang namanya pun aku tak ingat dan aku tak pernah tahu wajahnya mengatakan kita akan abadi dan dikenang, dipuja oleh kebanyakan orang yang tergila – gila akan cinta, dan kita akan menjadi contoh bagi mereka yang gila. Aku sebenarnya tak begitu percaya. Aku hanya percaya hanya Romeo dan Julietlah yang mampu mempertahankan cinta yang agung di antara mereka walaupun nasib kematianlah yang ternyata mengakhiri jawaban cinta mereka. Atau Layla dan Qays, dua pendahulu cinta yang karena sebegitu hebatnya cinta mereka berdua, hingga Qays rela menjadi si gila dan ikhlas saat orang – orang mengatakan ia adalah Majnun (gila) karena mencari Layla, tetapi ia adalah Majnun yang beruntung karena ia sempat bertemu dengan Layla. Walaupun sekali lagi, mereka tak pernah bisa bersatu.
Tak pernah bersatu? Apakah itu jawaban dari sebuah cinta? Lalu kenapa kamu dan aku merasakannya, kalau akhirnya kita terpisahkan nantinya? Dan apa guna aku terus – menerus meringkuk di kulitku ini tanpa pernah keluar, tersiksa berkepanjangan karena merindukanmu dalam nerakaku. Jika aku ingin melihat surga buatanku, aku akan mengunjungi kamu di singgasanamu, keluar dari kulitku lalu menatapmu lama dan lama sekali hingga sedikit terpuaskan. Lalu kamu akan mencium lembut kerinduanku yang terpecah, membahana perlahan dalam hangatnya pelukan. Lalu kita akan merasa bahagia tanpa ujung. Tertawa dalam kehangatan yang masing – masing dari kita perlihatkan. Tak peduli masalah dan tak peduli akan beban yang mengintai dan memasang alarm pengingat masing – masing untuk kita.
Namun tanpa kita sadari kesedihan akan menjemput akhirnya. Dan kita akan berpisah menuju tempat kita terlelap masing – masing. Dan aku akan melambaikan tangan pada segala kenanganku hari itu. Kamu dan semua yang telah kamu lakukan. Dan akhirnya aku akan pulang pada kulit tempatku meringkuk tak nyaman dan berharap ringkukan tak nyamanku itu akan sesegera mungkin usai, walaupun aku tahu itu benar – benar sulit.
***
Aku teringat saat singgasanamu tak lagi aman. Seseorang yang kusebut sebagai orang beruntung itu menghampiri singgasanamu. Merebut erat kebahagiaan kita selama ini yang hanya setengah. Orang beruntungitu mengeluarkan segala seberani mungkin dengan alasan ia mencintai yang aku cintai. Aku geram namun tak mampu marah, atau lebih tepatnya tak tahu bagaimana cara untuk marah padanya. Lalu aku hanya menangis karena kenyataan yang terjadi bahwa kamu, orang yang aku cintai tak lagi nyaman berada di singgasanamu, singgasanamu seakan menyerangmu dan bersiap penuh untuk menghujamku. Aku jelas – jelas sedih sedemikian dalam.
Kusumpah – sumpah orang beruntung itu akan tetapi aku tahu kepercumaan tindakanku itu. Aku hanya bisa diam dan hanya bisa percaya bahwa aku akan menang. Aku terus menerus mengingat kata – kata seseorang yang tak pernah aku ingat itu, kami akan abadi dan dikenang. Dan semua itu tak akan terjadi tanpa suatu pertahanan yang besar atas cinta. Ah, cinta… apakah kamu masih berharga saat ini, melihat segala kenyataan yang telah terjadi dan terus menerus mengujimu?
Kita bertahan dalam ujian terberat itu dan segala ujian yang pernah ada. Dan aku mulai tak nyaman sekali tinggal dalam kulitku, ingin kutinggalkan jauh kulitku ini hingga ruhku dapat terbang bebas dan memelukmu dalam terpaan angin yang meniup lembut rambutmu yang lurus itu, lalu aku akan memulai percintaanku yang tenang dan damai padamu dan tak perlu kita dapatkan kedamaian itu di pinggir pantai, tetapi hanya di ruang waktu yang berjarak ini. Akan tetapi apakah masih ada percintaan yang tenang dan damai saat ini? Entah. Aku masih bersyukur aku masih merindukanmu. Karena lewat merindukanmu, berarti aku masih mencoba mengingatmu dan segala tentangmu. Mencoba membiarkanmu memelukku dan mendekat mengelus wajah dan rambutku dengan semua cintamu, walaupun hanya dalam bayangan saat aku meringkuk dalam kulitku yang tak nyaman.
Ternyata rindu itu sebegitu hebat, dengan mudahnya ia memupuskan perasaan kesal karena segala yang tak kan pernah nyata, wajah tak nyata, belaian tak nyata, ungkapan cinta tak nyata, suara tak nyata, namun rindu itu meyakinkan bahwa tak usahlah berpikir akan segala yang tak nyata, karena cinta ada dan nyata, walau tak pernah tersembur ke luar permukaan kulit, hanya mampu mengendap dalam suatu tempat di dalam kulit dan otot, daging, tulang yang kita tak tahu pasti di mana, namun bersyukurlah bagi kita yang pernah merasakan dan mampu memperjuangkannya. Walaupun akhirnya berujung kelabu.
Sehingga aku akan terus merindukanmu dalam ringkukan tak berujungku di kulit yang tak nyaman ini, karena aku tahu dengan begitu aku akan memperjuangkanmu atas segala cinta yang mengendap di suatu tempat di dalam kulit dan otot, daging, tulang yang kita tak tahu pasti di mana, juga tak pernah bernama, bahkan Tuhan pun tak memberikan nama pada tempat itu. Aku akan terus begitu walaupun aku kan terus tak pernah mengerti bagaimana akhir semuanya. Walaupun aku tak pernah tahu apakah kamu juga terus merindukanku dalam singgasanamu yang tak pernah kusentuh lagi lewat nyata, dan hanya kusentuh lewat coretan kata.

Sunday, May 3, 2009

Biarlah Puisi ini Tumbuh

Seperti bibit sebuah pohon...,

Puisiku dapat tumbuh dan bermekaran dengan indah..

Aku ingin ada satu bibit yang bisa tumbuh

di teras hatimu..

Mungkin bisa hidup dan berbuah..

Mungkin juga bisa layu dan mati..

Namun..,

Setidaknya aku telah mencoba hidup di hatimu..

Meski hanya melalui Roh Puisi ku..

"Catatan kecil Kepingan hati"



Friday, May 1, 2009

Sepi

langit tanpa awan
langit tanpa bintang
langit tanpa angin

laut tanpa ombak
laut tanpa camar
laut tanpa kecepak ikan

kertas tanpa kalimat
kalimat tanpa makna
makna tanpa rasa
hampa
dan
sepi

sepi
sepi
tak tahu lagi
apa yang harus
kutulis

Sebelum Senja Berganti

Seperti senja

kuberikan mega merah kepadamu

lalu simpanlah dalam lubuk hati

singkapi tabir - tabir langit cerah

belah birunya raih bintang - bintang

Tetesan hujan menyejukan kemarau hati

resah ini kau usap dengan kata

hijau ditaman asmara dan berbunga kasih

merahTeratai kita telah berbunga,

mirip senyuman manis dan tatapan lentik korneamu

ingin kupetik tapi kutakut melukai tangkainya

kehilangan bunga

kemudian melayu bagai tak bernyawa

Beritahu hatimu jangan terlalu lama membeku

dan kosong

disini sekuntum mawar telah kusiapkan

menyambut hangat pelukan dari ceriamu

hanya bunga mawar yang kubawa

dan masa depan adalah mimpi

cepatlah , sebelum senja segera tergantikan

catatan hati sahabatku
bercumbu dengan kata