Tuesday, May 27, 2014

Rembulan Berkerudung

menetas perlahan lampu taman iringi redup pucat senja dalam pelukan
teriakkan ngengat, mrutu, dan serangga malam tanpa lelah putari lampu taman
bersandar pada tembok di bawah tugu kala itu
ada rasa menggelayut pada angin yang menghasut
gemerisik dedaun, klakson, serta derit sepeda tua
hantarkan hadirmu tiba-tiba rembulan berkerudung


Kau bercanda dengan rumput, kau mainkan mata indahmu pada dahan waktu
Sesekali senyum itu hantarkan jawab pada tanya yg kupendam


Rembulan berkerudung keemasan semakin silaukan senja,
pekat memudar dalam buai imaji, bersenandung hantarkan irama hati, 
padamu yang hadir mewaktu, kutitipkan secuil asa. 

Monday, May 26, 2014

Kutitipkan Padamu Luka ini

sendiri memilah kisah tentangmu
kuserat pada derai daun-daun kehidupan
pagutan angin begitu kuat kecup luka daripada tawa
rintik satusatu nodai kisah anak manusia menyapa tibatiba
menyeruak hingga kembali menganga
berkisah tentang mata, bibir, hati yang tak selalu sama

bibirmu berkata, tapi hatimu bergolak
dan pada matamu aku temukan "kasunyatan"
kau lumuri diri dengan luka,
tuk tanggalkan setandan nyaman,
pada sajak kutitipkan luka setapak.

25052014

Kau Hadirkan Rindu pada Jemari Senja

Kau dekap aku dalam buai jemarimu
Tikaman hasrat ikat nafas dalam seteguk nadi
Aku tak mampu berkata hanya mata kan sampaikan semua
Kenangkenanglah gemulai waktu yang terus mendetik
Sisakan nafas dalam buai keheningan

Senja tanpa eja “tertulis” cerita, masih dan masih saja selalu
ada rindu yang berlari memburu dan memaksaku untuk berkata......
Pun aku limbung dalam pause waktu yang tiba-tiba
Sandarkan engkau dalam kehangatan dadaku

Senja tak mampu kelabui malam
Menepikan kenangan dalam pelaminan alam
Kusunting tatap matamu, seirama senyum simpulmu
Tak lagi ada suara, tak ada lagi
Semua senyap sekejap sisakan pigura hati
Tertulis kata di sudut atas bertinta keringat, luka, dan airmata

26052014

Tuesday, May 20, 2014

Azimat Pemakaman Hati

Lalu di mana akan kusemayamkan jenazah hati yang kau penggal,
waktu kian gelisah, tak mampu sumpahi tanya yang membuncah.
luka terkafani mendung memucat bersandar pada kenangan lalu
kau tlah ucap pada senja cerita tentang tepian indah
entah kapan lagi kan ziarah pada nisan bisu
jangan  kau rapal azimat tentang catatan lalu
tlah kau hapus semua, dalam sekejap tertatih,
cengkeram tanah merah teteskan peluh menahan luka
menepi sendiri pada puisi "pemakaman hati"



17 Mei 2014

Tuesday, May 13, 2014

Lelaki Terluka

NASKAH MONOLOG LELAKI TERLUKA
(by Didik Al Mahadhir dan Istiqomah almaky)

(Panggung gelap, suara teriakkan berat terdengar perlahan semakin mengeras seiring lampu perlahan terang, sosok lelaki menggenggam pena dan secarik kertas membelakangi penonton)

“Akan kutulis ratusan puisi atau bahkan cerita bahwa aku sebenar-benarnya terluka!!!
Berkali kupahami peristiwa demi peristiwa, selalu saja berakhir senyum pada bibirmu sementara aku terpuruk dalam duka.”

Tik, tik, tik, tik (pegang telinga dan menjatuhkan diri tersungkur, menggigil enggan mendengar suara detik itu)

“jangan bunyikan jam itu, buang detiknya hilangkan suaranya, aargghhhh, detik itu..., ya detik itu tlah siksa aku tlah tusuk tusuk aku bertubi dalam tiap kilometer kulalui...., matikan jam itu....”

(Mencari jam di meja dan membantingnya suasana hening lelaki itu perlahan melangkah menuju kursi panjang, merebahkan diri dan masih sibuk dengan kertas serta pena di jemarinya)

“Kulangitkan doa berharap menyibak kabut tipis di remang malam, aku berkendara kunang-kunang kugendong luka, bersenandung lagu sendu, ingin kusapa ngengat dan kelelawar, mana ngengat, mana kelelawar ingin aku bercerita tentangnya yang tlah hempaskan embun sebelum pagi menjemput, di mana mereka??”

Suara ghaib muncul tiba-tiba

“Berapa kali harus kutumpahkan kata Tentang luka yang tak layak kau bawa berlayar, Cukupkanlah padaku berkabar Jangan lagi kau tebar, Di sini saja, di sini, Di ruang dadaku raungkan dukamu, Akan kugubah agar nganga lukamu terobati.”

(lelaki itu bangun perlahan melangkah mencari suara itu dari mana asalnya, gelisah dan tergagap dia mondar mandir kiri kana depan belakang terdiam di tengah panggung)

“Tak semudah itu luka kau gubah, Aku buang segala kata Agar segera berakhir, Biarpun berlembar PUISI kutulis Tetap saja ITU luka”

Suara ghaib

“Sudah kubilang berulang kali, jangan kau dekati Luka, karena luka bagimu (lelaki) akan lebih lama Membungkam malam, diam-diam dia berda di kelopak paling dalam. Bahkan Ketika mimpi menepi Ia menyergap, menyisakan geragap lalu bayang-bayang kekasih Jadi duri paling sempurna Tajamnya. Tak cukupkah kau hentikan virus lukamu itu Atau harus kuliriskan larik-larik miris, agar Engkau makin tenggelam?,”

Lelaki itu perlahan bersimpuh

“Tenggelam dalam Luka bersimbah kenangan adalah kenikmatan tersendiri, Aku masih sanggup ubah luka mnjadi cerita Satire, mellow, atau balada sekalipun, PUISI hanyalah pemadatan Luka
Bagai kukurung di kutub yang entah kapan kan kembali mencairkan airmata luka”

(suara angin menghembus kencang diam tiba-tiba suasana merasuki panggung)

“Di mana kamu... hei di mana? Mengapa kau diam?”

(berjalan mengambil tikar dan menariknya hingga terbuka, rebahkan diri perlahan )

“aku mengenangmu dengan sebenar-benarnya mengenang, walau aku tahu mengenangmu adalah memboreh luka dengan bara. Oh Tuhan......... nyenyakkan tidurku malam ini, lelapkan mimpiku malam ini, walau pun jarum kan kembali tusuk seribu kali, entah malam ini, entah esok, aku hanya ingin dekap luka lagukan hati dalam sajak kehidupan”

(musik petikan gitar mengalun iringi tidur sang lelaki itu)

“Ingin kembali kutapaki setapak penuh cerita, Pun aku terluka kini, aku ingin mengenangmu, mengenang Bias pendar aroma wangimu, mengenang Sekerat lengkung pipi ranummu, semoga kutemukan kembali fatamorgana hati hingga hilang luka ini”

(alunan lagu iringi lampu perlahan meredup dan gelap)

@5 MEI 2014