Saturday, June 27, 2009

Bulan pun Menggantung di Langit

Kidung mengalun iringi senyum di ujung langit
Menarik selimut kelam sang kegelapan
Senja meronta,
dibalik bayang megah
kerling bintang di atas pohon
bulan sabit pun bertengger kini

Senja berduka semakin menghujam
Segaris sabit menggantung di langit senja pesisir
Adalah senyum kekasih yang menggayutkan debar khayal
Mimpi pada bias perak di atas gelombang
Adalah cahaya rindu yang menusuk dada

Friday, June 26, 2009

Barangkali Masih Ada Laut Untuk Sajakku


Riak berbusa menepi perlahan
pasir pun tetap membisu,
di tempat ini barangkali bisa kupahami sajak
Memandang gelombang biru
Pergi datang pada waktu yang telah ditentukan.

Lalu lalang ikan, kepiting, biduk, nelayan, atau seperti aku sekadar manapakkan jejak tuk menangkap isyarat lewat kata-kata.
Tak ada yang pantas ditinggalkan, juga
serpih-serpih kayu yang terdampar
Lambaian tangan dan air mata seperti
Jarum yang setia pada angka-angka,
jejak takkan terhapus sesaat
riak pun tetap merayap setubuhi pasir
seiring belai mesra angin pesisir

Barangkali masih ada laut yang mampu menampung makna sajakku. Datang, Singgah, dan pergi sampai sajakku menepi menemukan makna mendekap sunyi.


Sunday, June 21, 2009

Meski Gerimis telah Berhenti


Dalam genangan bayangmu
kutulis sajak ini

sambil kukenang satu ingin yang pernah melayang dalam kaki-kaki hujan yang runcing seperti kerlingan

kutulis daun teratai dengan gerimis basahi wajah
kirimkan bayangmu untuk senja
yang bergegas setubuhi malam

kau tak akan mengerti
bayangmu adalah pena
menulis kata penuh makna
kau tak akan mengerti
bayangmu selalu sisihkan sunyi

meski gerimis telah berhenti
lelah sudah menyalin kata dari rasa
bersama angin pesisir mendekap rindu

Kidung Mimpi

Jemari langit menari di antara serpihan hasrat jiwa
Kidung senyap terdengar mengalun laksana himpitan rasa
Terkungkung aku di alam mimpi
Terperosok kubangan rasa
Menjerit memanggil keabadian mimpimu
Kelakarku pun terantuk isakmu
Aku hanya bisa tertunduk nikmati kelopak matamu yang kaku
Sesekali aku berbicara dengan nurani
Hingga sentuhan rasa kembali pecahkan lamunan
Kenyataannya aku tetap disini

Retak Masih Saja Merekah



Ijinkan rangkai kata untukmu
temaram apa hamparan awan di atas sana
biarlah angin pesisir singkap tirai hatimu


jika nanti aku datang menyapa membawa seikat letih
dan rindu yang tertatih
ada harap di jejak sajak dan sisa-sisa kata
yang diam tergeletak
temaram apa hamparan awan di atas sana


biarlah angin pesisir menyapamu seperti dulu
pernah kau selipkan rasa dan sapa
di sudut jiwaku


sedang retak rasa ini masih merekah
dengan getir dalam tatapan

aku akan datang ke sana menjemput sisa senja yang telah kau simpan untukku

Saturday, June 20, 2009

Award Dari Sahabat




Maafkan aku bila baru kali ini aku tampilkan awards pemberian sahabat2ku....


Inilah award yang aku terima dari pemberian mereka... makasih


mudah2an menambah saudara dalam bersilaturahim
sekali lagi makasih dan maaf baru aku pasang

Wednesday, June 17, 2009

Telaga Itu Tak Lagi Bening

Tiap kali menatap lekat mata itu
serasa cerita meradang
tiap kali menatap telaga
riak-riak tersembunyi di balik bening mengalir makna
kucoba rangkai makna menyerupai roman

telaga itu tak lagi tenang
Tak dapat kulihat jernih kaca bergelombang
Apalagi berkaca pada air mencermati wajah duka ini

Kutatap diam-diam dalam telaga bening itu
Riak itu menyembul mengalir satu-satu
Perlahan membentuk butiran-butiran bening.
Telaga itu pun berkabut.
Rasa itu tak bernama
otakku tak sanggup menguraikan
Ada gairah di setiap langkah kaki, ringan, melayang
Bernyanyi, tersenyum riang

Semuanya menjadi abu-abu. Tak ada hitam, tak ada putih
tak dapat kubedakan
Tetapi aku semakin lara, karena rasa tiba2 semu dan nisbi
Rasa itu kembali hadir saat pertemuan tak ada
Aku marah pada waktu yang merangkak bak siput

Aku tersenyum mengingat
walau tak ada yang lucu
Mencermati wajah setiap senti dalam ingatan.
Aku tak lupa. Aku pun tak tahu apa sebabnya.
Tetapi aku tak kuasa melawan rasa.

Aku malu! Aku malu pada mereka melalui tatap mata
Aku marah pada diriku. Mengapa aku tak dapat menahan rasa.
Menyesali pertemuan ataukah perpisahan,
tapi kau membuat hariku penuh dengan rasa.
Kini aku berduka untuk sesuatu yang tak kumengerti

Racun dalam Darah

Kau tebarkan racun dalam darahku
terpuruk jiwa goyah
terpekur lara dalam gundah
detik berdenting
kucoba bersihkan
musnahkan

tiap dengus kuhembuskan
kucoba buang
semu dalam kenisbian

biarkan jarum jam melenggang bisu
di lengang bibirmu

kau layarkan bunga kertas pada lembar hatiku
Maka tuliskan saja segenap nyerimu,
lantunkan saja segenap dukamu bersama deburan darah

Sekalipun kupu-kupu tak sematkan namamu
pada kilau bintang-bintang di langit, atau
sekalipun ikan-ikan tak goreskan namamu
pada gemuruh ombak pesisir

ada setitik mendekap
tak kuasa aku singkap

Sunday, June 14, 2009

Kata itu Terus Menangis


Guratan kata telah sadarkan aku
untuk mendengarkan cerita tentang luka,
senyum dan getir serta rindu


Guratan kata ini begitu tau tentang aku
menggenggam hati tercercah luka dan barah
Kata itu terus menangis ketika isak memaksaku

engkau dimana ketika seluruh nafasku terkumpul
dalam jeritan meneriakkan namamu
dalam segala sedih gundah dan resahku
kau bersembunyi dalam bekapan egomu

Naskah Tak Pernah Usai Kutulis


Dari jurang rasa kulahirkan kata
Tertatih kupetik dari dasar hati
Sunyi terdengar denting
Namun masih saja…
Aku merancang sajak kelam

Mataku melukis wajah silam
Kulihat hangusnya jiwa masih mengepul api
Hingga arang jadi abu bertebaran debu
di titian pesisir ini penghabisan kudekap
Menjadi berkeping-keping tumpukan kenangan
hilang terbayang dalam penantian

ukiran sepi memahat hati
selalu tertulis dalam setiap sajak kelam
naskah tak pernah usai
hingga senja tenggelam di pesisir

Friday, June 12, 2009

Saat Bulan Beringsut


Bulan beringsut
sabit pun tersenyum di layar malam
membuatku rindu purnama

ketika kau datang menyapa lamunanku
aku tak lagi merasa kesepian
Tak seperti purnama-purnama yang lalu
saat cahayanya mengecup jemariku dengan bayangmu
dan dengan tiba-tiba beranjak selepas dini hari
menampar sadarku untuk beranjak instropeksi
mungkin tiba saatku tuk bercermin

Muara embun membeku di kuncup ilalang
tersenyum menyambut kesunyian purba
beserta sajak-sajak sendu terukir di deret angka asmara
terlukis di lembar langit tersabit bulan
mengerikan memang, senyumnya, senyumku dan tawaku
seakan menjadi naif dan hampa
selepas amarah dan ketidakrelaan untuk menghadapi puisi dan prosa kehidupan.

Bulan beringsut
sabit pun tersenyum di layar malam
membuatku tak bisa lagi tertawa
bukan sendu tapi aku menunggu
datanglah kapan-kapan
dan sapalah aku dengan bahasa yang bisa aku mengerti
biar kita bisa bercakap dengan kesepian

Thursday, June 11, 2009

Dalam Pekat Aku Berlari

Tak kuasa lagi kutanggung gelisah
meski rindu tetap membiru
aku mengungsi darimu
Pada semburat merah senja
engkau menjadi titik bias matahari

kesadaran di penghujung hari
sebab silau aku menjauh ke gelap malam
namun engkau pun rembulan
menyelimutiku dalam geletar
Menembus pekat aku berlari
meninggalkanmu dari segala gemerlap
aku menghilang dalam sunyi
tetapi engkau menjelma sepi

Aku mengungsi darimu
bersayap ke alam mimpi
aku lelap tapi engkau pula kujumpa

Kupintal Cerita dalam Sajak

Untukmu yang masih disana.
kupintal cerita dalam sajak-sajak.
dalam hujan dan terik yang menghardikku
tapi ku masih setia, menghitung hari dalam nyeri.

menyulam mimpi dari kejauhan yang merapuh.
derita yang pecah, bahagia yang gerah.

Untukmu yang masih disana.
kupahami bulan bersenggama dalam rotasi setia.
mungkin, jenuh pun kan datang sebagai goda.
atau bimbang jelang sebagai dentang.

hanya pada kesendirian semua berawal.
dan dari kesendirian pula semua berakhir.

Kau Pungut Sekeping Hening dalam Kelambu Jiwa

Ingin kujumpa
mata yang menerbitkan rindu dalam dada
Seperti cahaya dan gerimis yang menggambar pelangi di langit harap
demikian manja gerimis menyapa.
Cahaya disela-sela.
Memendar pendar.
Mewarna di udara.

Lengkung mimpi kanak-kanak ke langit cintamu.
Biarkan bait-bait rindu menelusup dalam mimpimu.
huruf demi huruf berloncatan dari tut keyboard
terlempar menelusup jauh ke dalam dadamu.
Dalam hangat pelukmu.

O sosok yang merindu.
ingin kujumpa mata hingga tumpas rindu dendamku.
Dalam tatap matamu masih kulihat cahaya kuning keemasan,
menggoda ingatanku

hingga ribuan kata berloncatan menjelma puisi
puisi menjelma imajinasi dalam dunia kenangan,
bayangku memandang rembulan dan mengaung,
sebagai serigala, menggetarkan langit dengan jerit teramat rindu
pada kekasih di angan rapuh.

kau pungut sekeping hening dalam kelambu jiwa meronta tiada.
dan kau tanam ia dalam desah nafas memanas menderas.

Wednesday, June 10, 2009

Sebelum Pelangi Setubuhi Langit


Langit hari itu muram
sembunyi awan di ketiak mendung
tertutup tetes satu satu di pagi buta
binatang pun membisu tanpa lagu

Tapi kupu-kupu biru terbang
diantara gerimis yang jatuh satu satu
bersama angin syahdu mewarnai sisi langit yang kelabu
tersenyumlah pada matahari yang malu
pada lembut embun genit dipucuk-pucuk rerumputan
kilaunya menyimpan kesejukan
yang boleh kau bawa tidur bila hatimu resah

sebelum pelangi setubuhi langit
maka aku cuma bisa mengumpulkan ribuan daun
yang asyik menari bersama angin
dalam bentuk jari-jari yang rapuh

Hujan pun mereda meskipun gerimis
belum bosan mengelabui senyum-senyum yang lama kutunggu
masih tersamar dibalik tetes satu satu
tampak pelangi setubuhi langit

Tuesday, June 9, 2009

Kuikat Ilalang Untukmu


Berenang aku di lautan angin
Tertatih berpijak pada titian senja
Tangga jiwa pun meniti kata
Kata tiada makna
Makna terpatri hanya dalam rasa

Kuikat ilalang ini untukmu
Kupetik dari tepian awan
kubungkus dengan serpihan mendung
Kulilit dengan tali kembang
kupersembahkan dalam cawan cakrawala

Pada semilir senja di pesisir
semburat langit berawan dan berteriak
Menantimu angin gunung yang membeku
berselimut kabut menatap nanar pesisir
Ikatan ilalang ini sebagai tanda untukmu
Layu oleh isapan pekat dan tamparan kelam
yang tak mau memaknai
Kutitipkan ilalang ini pada rumpun bernyanyi
seiring semilir pesisir meniti mimpi yang tak pasti

Monday, June 8, 2009

Katakan dengan Senyummu


Senja merayap menuruni gunung berselimut awan
membias cahaya kemerahan
pekik camar tangisi bayang mentari pulang

Terbayang Kau duduk di tepian
riak busa membasuh ujung jarimu
Kau tatap camar menyusup diantara gelombang
terbelah mutiara perlahan mengalir tak terbendung
menderas membasuh ranum pipimu

Senja ini perlahan ingin kutahan
kenangan tak akan sempat berlalu
walau sekejap tak akan kulepaskan kudekap erat

Ah, senja yang kelabu, kuning dan ungu
biarkan aku sebebas camar
biarkan kutangkap pelangi di ujung langit
sedang mentari merah di sampingku
mengalirkan muara duka dan bahagia

Bercerita tanpa kata-kata
menangis tanpa airmata
langit bagaikan layar menggelar
kisah perjalanan Kau dan ombak di ketenangan pusaran

Tapi waktu tak berpihak pada angin gunung
dan angin pesisir
pada saatnya harus berpisah menemukan dunia
tersembunyi di balik kenangan
bagai kisah laela dan majnun

Katakan dengan senyummu,
diantara ombak, pesisir, gunung dan senja
akan Aku dan Kau temukan pelangi di ujung waktu

Friday, June 5, 2009

Pucat Purnama


Purnama pucat tergambar di langit
dalam jerat serabut tebal menggumpal
Kilauan terejam gelap mengental

purnama pucat mematung menyendiri fana
Berkisah sendiri pada sosok kelu
pucat pasi pun temaram

purnama pucat bergantung sepenggal
Makin pucat
Makin pekat makin sirna
Berkas sisi tak pernah ada
Detik maut menderunya
Redup itu tertutup
Tanpa sesalnya pada temaram

Meradang Luka Kala Purnama

pada gadis di bingkai jendela
kau sibak ketenangan hakiki
menjelma desis angin pesisir pekat
Kini matamu sayu di kumparan ombak
begitu kudengungkan bekumu pada selaput kabut

pada gadis di gelas minumanku,
meja perjamuan hidangkan angin lalu
yang berubah surut pada lautmu

pada gadis dibingkai kenangan
angin pesisir tlah sesaat menyatu dengan angin gunung
dalam cakrawala biru yang tak sepi
riak-riak kecil membasuh biru pantai
menebar karpet dalam buaian kepiting laut


pada gadis yang menunduk diatas biduk
angin pesisir hanya memandang
buih luka menjelma lara
bersemayam kala purnama meradang

Hujan Petang Hari Ini


Hujan petang tampar semburat merah
Menjelma pelangi dipelupuk mata
Membuka ingatan angin pesisir
tentang jerit dingin dinding putih
menjelma siluet di atas pasir
pasrah terserak panas
lalu dingin


Suara dedaunan menyimpan begitu banyak
Huruf-huruf sunyi dan memahat pelangi
Diantara ombak dan gelombang
Dari pesisir ini kulihat kau berdiri…

Aku mencium bau kabut pada kata-katamu
Hingga menjelma tetes-tetes sendu
Yang membakar darah dan jantungku
Meninggalkan bara membara
membasuh waktu

Thursday, June 4, 2009

Rengkuh Duka


Tetes satu-satu bergelayut bening

membelah pualam ranum

bermuara di sudut bibir


merasuk menusuk

hingga bersemayam

sudut hati membisu

rengkuh duka


Isak menyeruak terserak

dalam kertas kumal

tanpa bisa ku eja
Dalam kata makna bersembunyi
lari bersama angin pesisir
peluk duka biduk yang membisu

Wednesday, June 3, 2009

Purnama Awal Juni

Merah belum sempurna terlukis di ufuk barat
riak-riak kecil masih setia belai lembut pasir
biduk terkulai dalam kebisuan
tak perduli camar membentak-bentak

perlahan angin gunung berhembus
sesenja ini angin gunung menyapa pesisir
terhenyak aku dari lamunan
menyusup perlahan susuri tiap sendi dan
menjalar menembus pori-pori hati

tertusuk aku akan busur yang melesat
menancap dalam sudut hati
kenangan pun tersibak kembali
menyeruak dipelupuk mata

senyum sungging senja rebah
dalam buaian purnama
pekat pun tersingkap
gelap memudar

akankah purnama awal bulan juni
manjakan angin gunung
manjakan angin pesisir
dalam biduk yang membisu

Monday, June 1, 2009

Kemanakah Pelangi di Matamu


Mana pelangi yang dulu kau pancarkan dari matamu
Mana teduh kornea matamu yang manjakan hatiku
Mana lentik bulu dan kerdipan mesramu

kosong dan semu

biduk pun tak bergeming tanpa geliat dalam riuh dengkur ombak
angin pesisir masih berhembus sibak misteri dimatamu
seiring teriakan camar memanggil angin gunung

Aku yang Terkapar di Sorot Matamu


Aku yang kau rindukan meskipun tak mampu kau peluk
seumpama angin aku menghanyutkanmu,
menerbangkanmu ke segala rasa.
mengisi sudut tersepi saat mentari pun tak mampu menghangatkan
dan melengkapi.

Atau...ketika keriangan menjadi cerita,
terselip sedikit tanya...nyata kah kisah biru kau dan aku ?
Lihatlah setapak itu,
alangkah sulit terlewati.
Kau melihatnya disana...
seseorang menantimu untuk meraihnya.

Genggam saja buliran rindu yg sekian wktu menjerat kau dan aku.
Dekap saja...
rasakan saja...
ikuti iramanya
namamu...
namaku...
bergantian terdengar disudut terjauh
menggema, mengaliri setiap jengkal laju detak jantungku.
Kau pernah bertanya,...
Tentang pilar indah dan pohon nan rindang
tempat kakiku berpijak.
atau dahan-dahan tempat ku berayun,
tiada yg mampu menjawab tanyamu kekasih.
Tidak juga aku...

ku yang tersembunyi hanya mampu menatapmu lekat.
menyimpan sebait puisi beraroma rindu.
segudang tanya kapan ku menjadi milikmu,
sepenuh hati menyimpan sesal...
sesal karena kita terlahir tidak untuk saling melengkapi.

Boleh saja kau pergi,
karena jika lelah pun ku kan pergi.
Tidak karena cinta yg sementara...
tapi karena dia,
Aku tetap masih berharap,
disorot teduh matamu
tersimpan butiran kerinduan buatku....
Kau terus meyakinkanku,
entah
sampai dimana sesuatu
yang kita rasa
kita perturutkan.

Suara Hati
sahabatku Irmasenja
2009