Sepenggal senja t'lah bawa aku pada ruang syahdu,
mengecupi sepi dalam
buai dingin ruang,
seperti hari lalu kau bermain dalam kenisbian,
luruh
ranting kerinduan jatuh satu satu,
iringkan rintik menderas arungi
lorong sunyi mencari seuntai kata.
Literasikan hatimu dengan membaca dan menulis karya. Hiasilah hidup dengan bersastra.
Monday, August 8, 2016
Simponi Embun
Pekat rebah menyusup peluk malam
ku eja kata yang melekat di tiap labirin otakku
kau pun berikan belaian lewat tetesan satu-satu
di tiap denting atap kerinduan
ku eja kata yang melekat di tiap labirin otakku
kau pun berikan belaian lewat tetesan satu-satu
di tiap denting atap kerinduan
dingin alirkan sajak-sajak malam tanpa rembulan
ruh itu meruang
paksa kata-kata terjalin dalam sajakku
meski bulan tak hadir indahkan langit,
tapi kuyakin
esok embun kan tetap teteskan bening di ujung ilalang
ruh itu meruang
paksa kata-kata terjalin dalam sajakku
meski bulan tak hadir indahkan langit,
tapi kuyakin
esok embun kan tetap teteskan bening di ujung ilalang
Rebah pada pundak waktu
Rekah dari seraut wajah
selengkung senyum pesonakan detik
pada sebuah tatapan waktu
risaukan relung-relung hampa
pun nyata bukanlah sebuah mimpi
Kau terlalu kuat dan aku lemah menjauhimu
Jangan sembunyi di balik rerimbun waktu
rebahlah bersama sajak rindu
selengkung senyum pesonakan detik
pada sebuah tatapan waktu
risaukan relung-relung hampa
pun nyata bukanlah sebuah mimpi
Kau terlalu kuat dan aku lemah menjauhimu
Jangan sembunyi di balik rerimbun waktu
rebahlah bersama sajak rindu
Remah-remah Duka
Remah-remah cahaya menelusup meski tak purnama
pun serpihan bintang mengambang dalam semangkok duka
terombang-ambing,
kental,
kuseduh perlahan
memutar dalam guratan waktu
tak pernah ada jawab
pun serpihan bintang mengambang dalam semangkok duka
terombang-ambing,
kental,
kuseduh perlahan
memutar dalam guratan waktu
tak pernah ada jawab
Rindu Meradang
Tetes bening pada ujung daun perlahan bergelayut
terngiang gemulai kata,
wangi makna dan harum menelusup pahatkan cerita
kuhidangkan semangkok sajak
pada perhelatan suatu saat nanti
terngiang gemulai kata,
wangi makna dan harum menelusup pahatkan cerita
kuhidangkan semangkok sajak
pada perhelatan suatu saat nanti
berharap tetes bening pada ujung daun
kembali sejukkan
rindu yang meradang
kembali sejukkan
rindu yang meradang
Menulis Prosa itu mudah
Siang terik yang tibatiba gelap dan perlahan gerimis pun merintik
satusatu, beberapa menit yang lalu jamaah telah usai. Berhenti beberapa
pengendara terlihat membelokkan motornya, entah ingin berteduh atau
menjalankan kewajiban sebagai muslim.
Aku lepas sepatu dan bergegas menuju tempat wudlu, surau yang sederhana begitu berarti bagi musafir.
Sosok tua khusyuk berdoa terlihat dari tempatku berdiri, seorang lelaki muda keluar dan tersenyum sambil mengulurkan salam, kusambut kemudian ia bergegas meninggalkan surau di antara gerimis.
"mari pak jamaah ..." seorang siswa menyapaku
"iya mari....."
ia pun berlari kecil menata sajadah
"Mbak bolehkah aku menjadi Imam kamu, maukah kamu menjadi makmumku..." spontan kuucap ketika perempuan itu selesai berwudlu
Kulihat sekilas wajahnya memerah, ia menatapku tajam dan matanya berkaca-kaca, kemudian melangkah ia kembali ke tempat wudlu.
"Allahu akbar Allahu Akbar......"
kudengar iqamah dari siswa yang mengajakku jamaah.
"mari pak, ......" sapanya kembali
hingga salam ku usai, tak lagi kulihat perempuan itu, entah menghilang ke mana.
Aku lepas sepatu dan bergegas menuju tempat wudlu, surau yang sederhana begitu berarti bagi musafir.
Sosok tua khusyuk berdoa terlihat dari tempatku berdiri, seorang lelaki muda keluar dan tersenyum sambil mengulurkan salam, kusambut kemudian ia bergegas meninggalkan surau di antara gerimis.
"mari pak jamaah ..." seorang siswa menyapaku
"iya mari....."
ia pun berlari kecil menata sajadah
"Mbak bolehkah aku menjadi Imam kamu, maukah kamu menjadi makmumku..." spontan kuucap ketika perempuan itu selesai berwudlu
Kulihat sekilas wajahnya memerah, ia menatapku tajam dan matanya berkaca-kaca, kemudian melangkah ia kembali ke tempat wudlu.
"Allahu akbar Allahu Akbar......"
kudengar iqamah dari siswa yang mengajakku jamaah.
"mari pak, ......" sapanya kembali
hingga salam ku usai, tak lagi kulihat perempuan itu, entah menghilang ke mana.
Merenda Dedaun
Melintas bening di balik kaca
merapi dan atap-atap gedung di kota Jogjakarta, pun
halimun selimuti asa
Kupinang sunyi, kutulis tentang sepoi ninabobokan kerinduan
Pagi hadirkan ilusi semu, semaikan
berlembar-lembar impian, merenda dedaun
Mengasingkan diri sembunyi di dingin pagi pada selembar puisi
merapi dan atap-atap gedung di kota Jogjakarta, pun
halimun selimuti asa
Kupinang sunyi, kutulis tentang sepoi ninabobokan kerinduan
Pagi hadirkan ilusi semu, semaikan
berlembar-lembar impian, merenda dedaun
Mengasingkan diri sembunyi di dingin pagi pada selembar puisi
Thursday, August 4, 2016
Harus bagaimana Aku?
Harus bagaimana Aku
Duka itu kian kelam, pekat dan memburam
kesekian berita menghampar
lembut kau balas dengan menyepelekan
kasih sayang kau balas dengan melecehkan
penuh perhatian kau balas dengan tidak sopan
dan saat kau salah jalan, salah mengartikan
aku ingatkan dengan teguran
aku ingatkan dengan pemanggilan, bahkan
ayah bundamu pun kerepotan hilir mudik ke sekolah
kau pun tak jua ada perubahan
dan saat kau sangat sangat keterlaluan
kau tebar virus ketidaktertiban
kau bangga dengan ketidakdisiplinan
kau puas dengan polah tingkah kemaksiatan
akankah kubiarkan kau masuk kawasan buram esok
akankah kubiarkan kau tersesat di alam kenistaan
atau
AKAN KAU SERET AKU, KAMI, KE RANAH HUKUM, SEKARANG
Duka itu kian kelam, pekat dan memburam
kesekian berita menghampar
lembut kau balas dengan menyepelekan
kasih sayang kau balas dengan melecehkan
penuh perhatian kau balas dengan tidak sopan
dan saat kau salah jalan, salah mengartikan
aku ingatkan dengan teguran
aku ingatkan dengan pemanggilan, bahkan
ayah bundamu pun kerepotan hilir mudik ke sekolah
kau pun tak jua ada perubahan
dan saat kau sangat sangat keterlaluan
kau tebar virus ketidaktertiban
kau bangga dengan ketidakdisiplinan
kau puas dengan polah tingkah kemaksiatan
akankah kubiarkan kau masuk kawasan buram esok
akankah kubiarkan kau tersesat di alam kenistaan
atau
AKAN KAU SERET AKU, KAMI, KE RANAH HUKUM, SEKARANG
Sunday, July 31, 2016
Apalagi Ini.....?
wajah-wajah lugu itu menarikan duka
luka-luka di negeri yang penuh bunga
bibir mereka penuh tanya yang tak terucap
menunduk pada keadaan
tak bisa menghindar, tak bisa bersuara
apalagi harus berteriak
terbolak balik, tersusun, perlahan rapi
kemudian membingungkan lagi,
lihat wajah-wajah yang merindukan kepastian
wajah-wajah yang enggan berdebat dan berargumentasi
bukan tidak mau berdebat dan berargumentasi
tapi kesia-kesiaan bila muncul perubahan lagi
berubah adalah sesuatu yang pasti,
tapi ini sebuah harga diri
seperti wajah-wajah itu
tak akan tersenyum bila terluka
tak akan cemberut bila bahagia
aku tulis ini dengan entah, entah dan entah
apa yang berkecamuk dalam otakku
menyapamu dan berharap jawabmu
luka-luka di negeri yang penuh bunga
bibir mereka penuh tanya yang tak terucap
menunduk pada keadaan
tak bisa menghindar, tak bisa bersuara
apalagi harus berteriak
terbolak balik, tersusun, perlahan rapi
kemudian membingungkan lagi,
lihat wajah-wajah yang merindukan kepastian
wajah-wajah yang enggan berdebat dan berargumentasi
bukan tidak mau berdebat dan berargumentasi
tapi kesia-kesiaan bila muncul perubahan lagi
berubah adalah sesuatu yang pasti,
tapi ini sebuah harga diri
seperti wajah-wajah itu
tak akan tersenyum bila terluka
tak akan cemberut bila bahagia
aku tulis ini dengan entah, entah dan entah
apa yang berkecamuk dalam otakku
menyapamu dan berharap jawabmu
Wednesday, January 13, 2016
Menghempas Kerinduan
kenangan itu menerjang
meradang
bergemuruh bagai ombak
hempaskan kerinduan pada
pantai penantian
meradang
bergemuruh bagai ombak
hempaskan kerinduan pada
pantai penantian
Subscribe to:
Posts (Atom)