Monday, August 11, 2008

Di RSJ Hari Itu.... (Naskah terbaik Cerpen remaja 2006) dalam lomba menulis remaja Balai Bahasa Semarang

Salah satu bukti menulis prosa itu mudah. dengan menggunakan teknik "Dia yang malang" berhasil memenangkan lomba menulis cerpen remaja Se- Jawa Tengah yang diadakan Balai Bahasa Semarang tahun 2006
Karya Fitriani Siswa SMA N 1 Boja Kelas Bahasa



Di RSJ, Hari itu . . .

“Siapa Mbak Win?”
“Dedi.”
“Oo. . .”
Sengaja aku membersihkan ruangan saat Mbak Win menutup jendela depan. Ini adalah malam ketiga atau tepatnya malam terakhir aku menginap di rumahnya Mbak Winda, rumah kecil yang berada di kawasan Rumah Sakit jiwa. Dia kakak sepupuku, salah seorang perawat Rumah Sakit ini. Suaminya sedang dinas keluar kota, dan kebetulan aku sedang libur kenaikan kelas, jadi ya aku yang menemani.
Lalu soal Mas Dedi. Dia adalah salah satu pasien Rumah Sakit ini. Tiga hari ini ia menemaniku jalan-jalan “ngalor-ngidul” melihat suasana Rumah Sakit yang cukup semrawut Bagaimana tidak ? Satu dua orang kencing seenaknya, lalu ada yang menangis colak-colek, tertawa, ya . . .maklum orang gila. Aku yakin betul itu hanya saja tidak seorangpun percaya bahwa dia tidak sakit jiwa. Kecuali aku. Meski aku baru mengenalnya tiga hari yang lalu. Ia menginap disini sejak satu bulan lalu. Kata Mbak Win, ayahnya strook setelah tahu anak tercintanya ini tidak lulus. Ya, Dedi Ilman Hermanto, putra seorang dosen tidak lulus ujian. Kenyataan ini membuatnya shock dan diungsikan dari rumah. Yang, kasihan sekali, dengan usianya yang baru 18 tahun dia harus menginap di tempat yang tidak layak inmi.
Kreek . . .
Kulihat Mas Dedi sudah ada didepan rumah saat aku membuka korden depan. Gayanya khas, dengan kaos oblong dan celana pendek selututnya itu. Yah maklum, orang gila jadi-jadian.
“Mbak, aku kok deg-degan ya!”
“Yah, akhirnya Arin Jatuh cinta, tadinya mbak kira kamu tidak normal, sudah kelas tiga SMA belum juga jatuh cinta!” Canda Mbak Win tepat sebelum bel pintu berbunyi.
“Mbak Win . . .”
“Udah cepet buka. Tapi ingat Rin, dia pasien Mbak lho . . . “
sedetik kemudian kubuka pintu dan kupersilahkan Mas Dedi masuk.
“Tidak Rin terima kasih, aku hanya mengantar ini,” disodorkannya sekotak kardus berbau sedap.
“Apa ini?”
“Dari Bu Iyem, katanya buat kamu sama Mbak Win.”
“Oo, Bu Iyem ? Bilang sama Bu Iyem, terimakasih dari Arin sama Mbak Win. Lain kali tidak usah repot-repot! O ya, Mas Dedi tidak masuk dulu?”
“terima Kasih Rin, besok pagi saja, lagi pula aku diminta Pak Rudi untuk menjaga si Tole, dia ngamuk lagi!”
“Tole ngamuk? Parah? Kok Mbak Win sampai tidak tahu !”
“Iya, tadi sore belum. Tapi” bakda sholat Maghrib tadi dia teriak-teriak, bantal guling dilempar, sprei diacak-acak, gelas pecah, yoa pokoknya tidak taulah kesambet apa itu si Tole!”
“Kalau begitu, Arin boleh ikut?” Wajahku nampak pucat.
“Tidak usah Rin, nanti kamu tidak bisa tidur. Di sana banyak nyamuk ! lagipula si Tole sudah mendingan. O ya, Mbak Win tidak usah dikasih tau, nanti malah panik!”
“Ya sudah.” Setelah agak lama diam aku mengiyakan saja kata-katanya.
“Rin besok kamu sudah mau pulan?” katanya sambil melongok ke dalam. Dia melihat tas ransel coklat yang dari tadi sore disiapkan Mbak Win.
“Iya, Mbak Win hanya ngontrak aku 3 hari, paling lama 4 hari, itupun kalau Mas Iwan belum pulang besok.”
“Oo . . .” wajahnya nampak kecewa, dan aku memang berharap begitu.
“ Ya kapan-kapan kalau ada waktu, Arin main kesini!”
“Ya sudah, Mas Dedi pamit dulu, nanti malah dicari pak Rudi.”
“Hati-hati ya, salam buat Tole dari Arin!”
Sejurus kemudian dia melenggang pergi. Aku masih di pintu ia membalikkan badan dari kejauhan dia berteriak.
“Rin! Beson pagi jangan pulang dulu, Mas Dedi belum kesini !” dan itulah yang dari tadi aku harapkan. Hhh, aku tahu yang sedang terjadi pada diriku Mas Dedi, Mas Dedi mana orang gila seperti itu.
Aku masuk dan kututup pintu rapat-rapat. Tiba-tiba saja aku ingat sama Tole. Si kecil yang malang. Kata Mbak Win, usianya baru 10 tahun. Beberapa bulan yang lalu orang tuanya bercerai. Ia menjadi rebutan di pengadilan. Dan, ya akhirnya si Tole jadi begini. Dua-duanya tidak mendapatkan apa-apa melainkan penyesalan. Mbak Win juga bilang sekarang mereka sering kesini. Bergantian. Nampaknya mereka masih sangat sayang sama Tole. Meski Tole tidak pernah dapat membedakan, mereka orang tuanya atau bukan.
Beda sama Mas Dedi, katanya dia iri, Tole punya orang tua yang sangat menyayanginya. Meski sekarang Tole mengenaskan.
“Sebenarnya aku juga ingin pulang. Bertemu sama Ibu, Mbak Reni, Mas Dodi dan pastinya Bapak. Beliau jadi seperti itu karena aku. Jadi ya sekarang Bapak tidak bisa mengajar lagi. Lagipula kalau aku pulang, apa mereka mau menerimaku? Akulah yang menyebabkan semua bencana ini Rin.” Ucapnya beberapa waktu lalu padaku.
Ya kasihan sekali Mas Dedi. Dia juga punya keinginan untuk pulang. Tapi apa mungkin ada keluarga yang tidak mau menerima anggota keluarganya setelah dia melakukan kesalahan. Padahal ini semua takdir, dan tak seorangpun menginginkan kenyataan seperti ini bukan ? Hhh, memang terkadang manusia lupa. Dalam hidup ini tak ada seorangpun yang sempurna.

***
Langit malam pekat berdesak bintang. Jam dinding disudut ruan tamu Mbak Win menunjuk pukul 23.00 WIB. Whoahh . . . sebenarnya aku sudah mengantuk. Tapi, bagaimanapun aku harus menyelesaikan lukisanku, eh bukan lukisan hanya sketsa wajah, wajahnya Mas Dedi. Ya aku ingin memberikan kenang-kenangan ala kadarnya sebagai bukti rasa simpatiku ini. Bukan pamer ! Tapi ini satu-satunya kemampuan yang bisa dibanggakan dari seorang Rin yang tak pernah mendapat ranking sekalipun semasa sekolah.
Hhh, akhirnya selesai juga, sesosok wajah tenang terlukis di atas kertas HVS putih ukuran 180 × 257 mm. kubungkus dengan kerta coklat yang ada dimeja kerja Mbak Win. Lalu kuletakkan di samping tempat tidur. Aku yakin, Mas Dedi pasti suka.
Kutata baju yang akan kubawa pulang dan ku cek sekali lagi isi tasku.
“Yup! Komplit!”
Kreekk pintu . . .pintu kamarku terbuka, “ sekonyong-konyong” Mbak Win masuk dengan membawa slimut dan guling kesayangannya.

“Rin, Mbak Win tidur sini ya. Mbak Win tidak bisu tidur!” scbelum matanya terpejam, pandangan Mbak Win menangkap bungkusan coklat di tcpi tempat tidurku. Lukisanku!
“Apa ini Rin?”
Cepat-cepat kuambil bungkusan itu, tapi tetap saja tangan Mbak Win sedetik tebih cepat dariku.
“Hanya kcnang-kenangan!” Kataku malu.
“Ooo... untuk Mas Dedi?” Canda Mbak Win menggodaku. '
“Jaui kamu serius? Mbak Win sih tidak rnasalah, tapi kamu harus ingat, dia itupasien Mbak, pasien Rumah Sakit Jiwa yang kapanpun bisa berubah. Yah, sekarang dia baik , bisa jadi satu jam lagi atau mungkin besok dia ngamuk. Iya kan'?”
“Mbak Win, jangan bicara seperti itu ah, kan Mbak sendiri yang bilang. kalau Mas Dedi itu tidak gila, dia hanya tertekan! Lagipula andaipun memang jiwanya terganggu, dia juga manusia seperti kita, iya kan Mbak? Pokoknya Arin tidak suka Mbak Win bicara seperti itu!”
Mbak Win hanya tersenyum merdengar penjelasanku baru saja.
“Mbak tidak menyangka kamu bisa bicara sererti itu.”
Aku sendiri tidak menyangka aku bisa bicara sepcrti itu. Tapi memang benar sekalipun Mas Dedi gila atau tidak, Mas Dedi ya Mas Dedi. Sama seperti kita, dia juga manusia. Begitu pula dengan pasien-pasien yang lain.
Jam menunjukkan pukul 00.00 WIB. Gemerisik dedaunan sangat terdengar, seolah menyapu seluruh sampah yang ada di atas ruangan ini. Mbak Win sudah tertidur dari sepuluh menit yang lalu. Aku tidak bisa tidur. Entah mengapa dunia begitu asing bagiku. Ada siang ada malam. Ada pagi ada sore. Ada orang gila, ada juga orang waras. Mengapa tidak dibuat gila semua atau waras semua. Agar tidak ada perbedaan di sana-sini. Maklum, baru kali ini aku mengenal dunia yang aneh. Dunia yang sclalu dicemooh oleh orang-orang, dunia yang ... yah, sungguh sangat tidak wajar. Namun entah kcnapa, aku betah tinggal di sini.
Ini adalah malam terakhirku di sini, tempat dimana aku merasakan scsuatu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Bukan hanya pada Mas Dedi, Tole, tapi juga pada semua pasien di sini. Aku pasti akan sangat merindukan mereka. Hhh mereka hanya korban pembuangan dari dunia yang sebcnarnya. Andai aku bisa berbuat sesuatu.
Baru satu jam aku tidur, aku terbangunkan oleh suara yang bagiku sangat asing AMBULANCE! Aku langsung beranjak dari tempat tidur Mbak Win sudah tidak ada di sampingku. Suasana di luar sangat panik. Kulihat Mbak Win dengan wajah pucat berada di luar pintu, sementara di luar orang-orang berlalu lalang kesana kemari.
“Mbak Win, ada apa?”
Mbak Win dengan sangat pucat memenang.
“Rin, semalam Tole ngamuk dan ...”
“Dan apa Mbak? Jangan-jangan dia... Meninggal?”
Mbak Win menggeleng, dia masih sangat gugup. Wajahnya pucat.
“Bukan, dia ngamuk berat dan menyiramkan air raksa pada tubuh Dedi. Entah siapa yang menaruhnya di depan pintul. Dan kebetulan Dedi... sedang merokok”
Mataku tajam menatap Mbak Win.
“Merokok?”
Mulutku terbungkam. Lemas. “Tubuhnya hangus... “
Kata-kata Mbak Win yang pelan, membuat tubuhku kehilangan kekuatan.
“Baru saja dari pihak keluarga sudah membawanya pulangdan dia akan dimakamkan di tempat kelahirannya.” Lanjut Mbak Win.
Aku sudah sering mendengar kenyataan seperti ini, pasien saling membunuh antar pasien. Tapi, kali ini... tiba-tiba aku merasa seluruh syaraf yang ada di tubuhku berhenti berfungsi. Aku bisa mendengar semua ucapan Mbak Win, melihat lalu-lalang orang dan... entahlah! Yang kurasakan semuanya buyar.
“Mbak...besok pagi, Mas Dedi pasti kesini.” Ucapku lirih sedetik sebelum aku benar-benar tak bisa merasakan apa-apa lagi. Aku tidak percaya akan semuanya.
Aku yakin, Mas Dcdi belum mati. Besok pagi dia akan datang dan mengucapkaun terima kasih atas lukisanku. Ya. Mas Dedi belum mati.
*****
Gemerisik daun masih kudengar di atas sana, scmilir angin, dan. .. semuanya. Hhh, masa SMA ku akan berakhir. Mama, Papa, Mbak,... mafkam aku. Mungkin aku akan menjadi pasien baru di Rumah Sakit ini. Menemani Tole. Mbak Win, dan yang pasti takdirku, . . .Mas Dedi.

No comments: