Mendung sampaikan pesanmu
walau sedetik tlah kudengar suara indahmu
kusimpan itu dalam bingkai anganku
dan aku masih saja terpekur, enggan berpaling dari bingkai itu
ada ucap ingin kusampaikan padamu hari ini
ingin kembali ke detik itu
kembali ku menunggu hingga entah detik ke berapa
untuk sekedar menyapa engkau dalam bingkai itu
sepi senyap tiba-tiba meragu dirintik gerimis
kusimak gerimis kian membadai
aku pun tak menemukanmu dalam bingkai itu
Literasikan hatimu dengan membaca dan menulis karya. Hiasilah hidup dengan bersastra.
Sunday, March 27, 2011
Saturday, March 26, 2011
Sajak Sepi yang Tak Sampai
ingin kukabarkan padamu pagi ini
kulihat rangkaian sajak indah pada selembar daun
gerimis pun masih menajam saat mendung mencumbu
sajak tiba-tiba dingin lelah luruh menyatu
luka karena rintik gerimis dan terbakar terik rindu,
hanyalah sebuah pelangi pada imajinasi
terangkai sajak sepi yang tak sampai
pucat kian membungkam
meski sajakku tak berirama merdu
gerimis masih saja hujamkan runcingnya
kau kembali menderas, diantara serpihan waktu
rindu itu mulai tertatih menyibak gerimis
kulihat rangkaian sajak indah pada selembar daun
gerimis pun masih menajam saat mendung mencumbu
sajak tiba-tiba dingin lelah luruh menyatu
luka karena rintik gerimis dan terbakar terik rindu,
hanyalah sebuah pelangi pada imajinasi
terangkai sajak sepi yang tak sampai
pucat kian membungkam
meski sajakku tak berirama merdu
gerimis masih saja hujamkan runcingnya
kau kembali menderas, diantara serpihan waktu
rindu itu mulai tertatih menyibak gerimis
Thursday, March 24, 2011
Tabir itu Makin Membadai
Langit muram dalam kepucatan
selimut awan menghitam berarak
hingga kunang-kunang enggan berkelip
bersama rembulan menghilang sesaat
Kusapa namamu, kubingkai bayangmu
Sebelum gamang menerjang
Takkan terhapus, luruh bersama kata
dalam sajak yang tak pernah selesai kutulis
senja tlah satukan dan pisahkan rasa
seumpama prosa tanpa ending
hingga tereja sebaris kalimat
terjalin alur kerinduan desir pasir pada gelombang
perlahan tertatih tinggalkan gelanggang
embun pun tumbuh menyublim
terselubung muram terpenjara hingga pagi menjelang
Tabir itu makin membadai
hingga sapa dan katamu meradang
Mencekik mimpi
Dalam sunyi terdalamn
tinggal kenangan pada tajam korneamu
serta sebait aksara di hamparan jiwa
selimut awan menghitam berarak
hingga kunang-kunang enggan berkelip
bersama rembulan menghilang sesaat
Kusapa namamu, kubingkai bayangmu
Sebelum gamang menerjang
Takkan terhapus, luruh bersama kata
dalam sajak yang tak pernah selesai kutulis
senja tlah satukan dan pisahkan rasa
seumpama prosa tanpa ending
hingga tereja sebaris kalimat
terjalin alur kerinduan desir pasir pada gelombang
perlahan tertatih tinggalkan gelanggang
embun pun tumbuh menyublim
terselubung muram terpenjara hingga pagi menjelang
Tabir itu makin membadai
hingga sapa dan katamu meradang
Mencekik mimpi
Dalam sunyi terdalamn
tinggal kenangan pada tajam korneamu
serta sebait aksara di hamparan jiwa
Suara Itu
suara itu, ya suara itu
suara itu masih saja menelusup
dari fikiran ke hati
dari hati ke telinga
dari telingan ke bibir
suara yang bernama kerinduan
kau telah kirimi aku sekerat mendung
kaburkan bayangmu di sela waktu
nafas setubuhi tiap angan
diantara detak jantung
sepi itu kian mengalir dan terus menjalar
lalui tiap labirin hati
nafas ini tersengal dalam luka
kulirik detik yang terus berdetak
tak pedulikan rintihan dan teriakkan
kurangkai kata dalam lembar hari
begitu panjang pucat mentari
kadang sayup kudengar sapamu
kadang kau entah menghilang ke mana
aku hanya bisa sandarkan punggung
pada sayap kupu-kupu putih
yang mengepak tertatih diantara gerimis
suara itu masih saja menelusup
dari fikiran ke hati
dari hati ke telinga
dari telingan ke bibir
suara yang bernama kerinduan
kau telah kirimi aku sekerat mendung
kaburkan bayangmu di sela waktu
nafas setubuhi tiap angan
diantara detak jantung
sepi itu kian mengalir dan terus menjalar
lalui tiap labirin hati
nafas ini tersengal dalam luka
kulirik detik yang terus berdetak
tak pedulikan rintihan dan teriakkan
kurangkai kata dalam lembar hari
begitu panjang pucat mentari
kadang sayup kudengar sapamu
kadang kau entah menghilang ke mana
aku hanya bisa sandarkan punggung
pada sayap kupu-kupu putih
yang mengepak tertatih diantara gerimis
Sunday, March 20, 2011
Kutulis dalam Sajakku
Kusibak lembar demi lembar melati di bening korneamu
teriring merdu suara seruling dentingkan hati
syairkan hasratmu dalam sudut hati
sketsa purnama merona berselimut lingkaran pelangi
gelayut rindu kutitipkan di tiap tetes embun yang menyatu
hingga esok kan leleh satu-satu di sudut daun
basuh hatimu dalam kelembutan
aku pun berkata dengan detak jantungku
dan berbisik dengan desah nafasku
kutulis tentangmu dalam sajakku
teriring merdu suara seruling dentingkan hati
syairkan hasratmu dalam sudut hati
sketsa purnama merona berselimut lingkaran pelangi
gelayut rindu kutitipkan di tiap tetes embun yang menyatu
hingga esok kan leleh satu-satu di sudut daun
basuh hatimu dalam kelembutan
aku pun berkata dengan detak jantungku
dan berbisik dengan desah nafasku
kutulis tentangmu dalam sajakku
Tuesday, March 8, 2011
Ingin Kusunting Rembulan
Ingin kusunting rembulan sebelum malam rengkuhmu
walau masih secercah senyum tersemat diantara kepak kelelawar
kunang-kunang bermandikan pekat tetap susuri malam
menyapaku di tengah sunyi lelapkan hati
ingin kusunting rembulan sebelum malam rengkuhmu
mengintip diantara awan berarak lumuri langitku
ranting-ranting itu menggigil
tegar jaga malamku tanpa dedaun
ingin kusunting rembulan sebelum malam rengkuhmu
mengejar ujung malam hingga tuntas tugasmu
aku pun kan tetap rangkai sajak
hingga purnama bawa pelangi pada malamku
walau masih secercah senyum tersemat diantara kepak kelelawar
kunang-kunang bermandikan pekat tetap susuri malam
menyapaku di tengah sunyi lelapkan hati
ingin kusunting rembulan sebelum malam rengkuhmu
mengintip diantara awan berarak lumuri langitku
ranting-ranting itu menggigil
tegar jaga malamku tanpa dedaun
ingin kusunting rembulan sebelum malam rengkuhmu
mengejar ujung malam hingga tuntas tugasmu
aku pun kan tetap rangkai sajak
hingga purnama bawa pelangi pada malamku
Sunday, March 6, 2011
Ku ingin Senja tak lagi Sepi
kuingin selalu menjadi huruf dalam lembar kertasmu
agar kata selalu terbaca dan bermakna dalam sajak
bening embun kan selalu menetes dan melintas
ditiap lembar daun dan sejukkan tanah dihatimu
kuingin selalu menjadi huruf dalam lembar kertasmu
agar dirimu selalu hadir dan ada dalam sajak
hiasi tiap kesendirianku
imajinasi ditiap lamunanku
kuingin selalu menjadi huruf dalam lembar kertasmu
agar senja tak lagi sepi
agar kata selalu terbaca dan bermakna dalam sajak
bening embun kan selalu menetes dan melintas
ditiap lembar daun dan sejukkan tanah dihatimu
kuingin selalu menjadi huruf dalam lembar kertasmu
agar dirimu selalu hadir dan ada dalam sajak
hiasi tiap kesendirianku
imajinasi ditiap lamunanku
kuingin selalu menjadi huruf dalam lembar kertasmu
agar senja tak lagi sepi
Friday, March 4, 2011
Bayangmu dalam Sayap Kupu-kupu
sayap kupu-kupu itu semakin letih
mengepak satu-satu tertatih dihempas angin
hinggap di dahan kerinduan
reranting rapuh perlahan tertunduk
dalam rebahan kupu-kupu
sejengkal hati menitis perlahan dalam buai rindu
mengalir tanpa batas dari pucuk-pucuk mendung
kabut biru mengambang dalam buai mentari
pucat merona rengkuh bayangmu
menyibak tirai kerinduan
dalam sayap kupu-kupu
mengepak satu-satu tertatih dihempas angin
hinggap di dahan kerinduan
reranting rapuh perlahan tertunduk
dalam rebahan kupu-kupu
sejengkal hati menitis perlahan dalam buai rindu
mengalir tanpa batas dari pucuk-pucuk mendung
kabut biru mengambang dalam buai mentari
pucat merona rengkuh bayangmu
menyibak tirai kerinduan
dalam sayap kupu-kupu
Wednesday, March 2, 2011
Mendung Berkabung
gerimis pada fajar di awal bulan maret
kembali toreh cerita dari kepurbaan
senyum dan tatapanmu menghujam
bagai tikaman bertubi pada sepi jiwa
prahara menggelegar tiba-tiba hanya karena kata
belukar itu tlah bersemi dalam balutan mendung
hingga tak kulihat lagi pelangi diwajahmu
bagai kupu-kupu melayang penuh kepucatan
asap perlahan tinggalkan perapian
hingga dingin paksa gigil gemeretak bersama tulang
aku hanya bisa bergumam
sajakku pun hambar tatap
mentari pucat perlahan usir malam
bersama mendung berkabung
kembali toreh cerita dari kepurbaan
senyum dan tatapanmu menghujam
bagai tikaman bertubi pada sepi jiwa
prahara menggelegar tiba-tiba hanya karena kata
belukar itu tlah bersemi dalam balutan mendung
hingga tak kulihat lagi pelangi diwajahmu
bagai kupu-kupu melayang penuh kepucatan
asap perlahan tinggalkan perapian
hingga dingin paksa gigil gemeretak bersama tulang
aku hanya bisa bergumam
sajakku pun hambar tatap
mentari pucat perlahan usir malam
bersama mendung berkabung
Subscribe to:
Posts (Atom)