bisik angin pada dinding bersama awan
aku terpaku dalam ruang bersama anganku
derit roda perlahan tertatih terhenti kala merah menyala
jerit malam pada bulan dan bintang membisu
purba menjelma seketika dibalik jendela
bias lampu - lampu merayap susuri dingin
sibak kabut bandung dalam balutan mendung
aku tak tahu lagi harus bagaimana,
korden jendela pun mengejekku
kembali kutatap sepi jalanan di hadapanku
kau muncul bersama senyum dan kerling matamu
menatap tajam ke arahku
aku hanya bisa diam tanpa pembelaan
tersudut dalam beku kerinduan
aku tak tahu lagi harus bagaimana
selimut putih pun turut lantang memakiku
kembali kutatap sepi jalanan dihadapanku
rebah lelah tubuh dalam buai pendingin ruang
kususun kembali bayangmu dalam teka-teki hidup
bias sinar dan senyummu menyembul tiba-tiba
aku menghiba pada malam
akankah kau kan datang distasiun mimpiku
seperti mimpi-mimpi dalam sajakku
Literasikan hatimu dengan membaca dan menulis karya. Hiasilah hidup dengan bersastra.
Tuesday, August 31, 2010
Wednesday, August 25, 2010
Sepasang Kupu-kupu dalam Buai Purnama
Senja berselendang semburat merah
dua kepompong bergelayut pada dahan pisang
terayun-ayun dalam buai angin senja
perlahan mendung berarak selimuti senja
dalam temaram senja kepompong bergerak
perlahan menjelma kupu-kupu
terbuka mata pandangi musim cinta
terbang beriring di remang petang
beriring serasi hangatkan rasa
indah purnama perlahan biaskan sinar
kemilau di kedua sayap pun membias
tebarkan pesona di musim cinta
kupu-kupu terbang dalam ayunan purnama
diantara tebaran lampu-lampu dunia
kupu-kupu tetap beriring menari
tebas purnama berkali hingga bayang pun menjelma
bayang sepasang kupu-kupu
dimalam purnama kedua ini
membuai hati dan rasa
dalam sajak-sajakku
dua kepompong bergelayut pada dahan pisang
terayun-ayun dalam buai angin senja
perlahan mendung berarak selimuti senja
dalam temaram senja kepompong bergerak
perlahan menjelma kupu-kupu
terbuka mata pandangi musim cinta
terbang beriring di remang petang
beriring serasi hangatkan rasa
indah purnama perlahan biaskan sinar
kemilau di kedua sayap pun membias
tebarkan pesona di musim cinta
kupu-kupu terbang dalam ayunan purnama
diantara tebaran lampu-lampu dunia
kupu-kupu tetap beriring menari
tebas purnama berkali hingga bayang pun menjelma
bayang sepasang kupu-kupu
dimalam purnama kedua ini
membuai hati dan rasa
dalam sajak-sajakku
Tuesday, August 24, 2010
Pelangi Lingkari Purnama dalam Sajakku
langit benderang dalam buaian purnama
karpet biru tergelar memayung di langit
dingin pun turut kian menggigit
pendarkan rasa dalam sajakku
senja tadi kau merasuk perlahan
sandingkan rasa dalam kalbuku
dalam buaian gerimis satu-satu
bayang matamu siratkan sejuta makna
hingga sajak-sajak baru tertoreh
rangkai makna hujamkan rasa
indah dalam tiap sudut
malam ini kau kembali hadir
bersanding bersama pelangi lingkari purnama
pandangi aku yang tersketsa
pada senyum dan sayu matamu
hingga kata pun terangkai
tingkahi sajak-sajakku
karpet biru tergelar memayung di langit
dingin pun turut kian menggigit
pendarkan rasa dalam sajakku
senja tadi kau merasuk perlahan
sandingkan rasa dalam kalbuku
dalam buaian gerimis satu-satu
bayang matamu siratkan sejuta makna
hingga sajak-sajak baru tertoreh
rangkai makna hujamkan rasa
indah dalam tiap sudut
malam ini kau kembali hadir
bersanding bersama pelangi lingkari purnama
pandangi aku yang tersketsa
pada senyum dan sayu matamu
hingga kata pun terangkai
tingkahi sajak-sajakku
Monday, August 23, 2010
Purnama, Mendung dan Sajakku
masih basah tanah tersiram gerimis satu-satu
senja itu pun muram dalam balutan mendung
merangkak perlahan tertatih renungi langkah
tanah basah, dingin mewabah kelam pun sekarat
tersibak tiba-tiba dalam balutan purnama
bulan tak lagi separoh, binar cahaya berpendar
langit biru pun tergelar
lukisan itu,
biru yang berpendar bersama purnama musnah
terbalut kabut yang menghitam tiba-tiba
kulihat kelam kembali selimuti purnama
purnama malam ini
tak seterang purnama dalam sajakku
kata kan tetap terangkai
frasa kan tetap tereja
bait kan tetap bermakna
walau mendung selimuti langit dan rembulanku
senja itu pun muram dalam balutan mendung
merangkak perlahan tertatih renungi langkah
tanah basah, dingin mewabah kelam pun sekarat
tersibak tiba-tiba dalam balutan purnama
bulan tak lagi separoh, binar cahaya berpendar
langit biru pun tergelar
lukisan itu,
biru yang berpendar bersama purnama musnah
terbalut kabut yang menghitam tiba-tiba
kulihat kelam kembali selimuti purnama
purnama malam ini
tak seterang purnama dalam sajakku
kata kan tetap terangkai
frasa kan tetap tereja
bait kan tetap bermakna
walau mendung selimuti langit dan rembulanku
Tuesday, August 17, 2010
Dalam Telaga Matamu
Tiap kali terbayang kornea itu
serasa rasa meradang
seperti menatap telaga
di bening mengalir makna
kucoba rangkai makna menjadi sajak
kulihat jernih kaca bergelombang
aku pun berkaca pada korneamu mencermati diriku
Kutatap diam-diam dalam telaga bening itu
Riak itu menyembul mengalir satu-satu
Perlahan membentuk butiran-butiran bening.
Telaga itu pun berkabut.
seperti menatap telaga
di bening mengalir makna
kucoba rangkai makna menjadi sajak
kulihat jernih kaca bergelombang
aku pun berkaca pada korneamu mencermati diriku
Kutatap diam-diam dalam telaga bening itu
Riak itu menyembul mengalir satu-satu
Perlahan membentuk butiran-butiran bening.
Telaga itu pun berkabut.
perlahan rasa itu tak bernama
otakku tak sanggup menguraikan
Ada gairah di setiap langkah kaki, ringan, melayang
Bernyanyi, tersenyum riang
Semuanya menjadi abu-abu. Tak ada hitam, tak ada putih
tak dapat kubedakan
Tetapi aku semakin terpenjara rasa
Rasa itu kembali hadir dalam memori pertemuan
Aku marah pada waktu yang merangkak bak siput
Aku tersenyum mengingat
walau tak ada yang lucu
Mencermati wajah setiap senti dalam ingatan.
Aku tak lupa. Aku pun tak tahu apa sebabnya.
Tetapi aku tak kuasa melawan rasa
di Aryaduta merangkak rindu perlahan
otakku tak sanggup menguraikan
Ada gairah di setiap langkah kaki, ringan, melayang
Bernyanyi, tersenyum riang
Semuanya menjadi abu-abu. Tak ada hitam, tak ada putih
tak dapat kubedakan
Tetapi aku semakin terpenjara rasa
Rasa itu kembali hadir dalam memori pertemuan
Aku marah pada waktu yang merangkak bak siput
Aku tersenyum mengingat
walau tak ada yang lucu
Mencermati wajah setiap senti dalam ingatan.
Aku tak lupa. Aku pun tak tahu apa sebabnya.
Tetapi aku tak kuasa melawan rasa
Monday, August 16, 2010
Mendung Berarak di atas Aryaduta
jendela bisu memandangku penuh tanya
"adakah yang kau lamunkan kenapa diam?"
kupandangi kunang-kunang jalanan
berarak di bawah gelayut awan pagi ini
sendiri mematung di atas gedung aryaduta
menerawang jauh menghempas pada sebuah wajah
remeh remeh yang berserak terhempas
membentur dinding dinding kesadaran
gedung-gedung tinggi bagai tembok jiwa
halangi hati tuk satukan remeh berserak
emosi angin cerai beraikan titik-titik kenangan
tak mampu satukan lukisan indah dalam lembar jiwa
sendiri mematung di gedung artayuda
menerawang menghempas pada sebuah wajah
"adakah yang kau lamunkan kenapa diam?"
kupandangi kunang-kunang jalanan
berarak di bawah gelayut awan pagi ini
sendiri mematung di atas gedung aryaduta
menerawang jauh menghempas pada sebuah wajah
remeh remeh yang berserak terhempas
membentur dinding dinding kesadaran
gedung-gedung tinggi bagai tembok jiwa
halangi hati tuk satukan remeh berserak
emosi angin cerai beraikan titik-titik kenangan
tak mampu satukan lukisan indah dalam lembar jiwa
sendiri mematung di gedung artayuda
menerawang menghempas pada sebuah wajah
Tuesday, August 10, 2010
Almanak Lusuh di Dinding Bisu
satu per satu tanggal berlalu dalam bisu
almanak lusuh masih bertahta diantara memori
berkali tanggal tersketsa bayangmu
detik tak peduli tanggal yang berteriak
detik tetap berlalu dengan cerita sajak-sajakku
aku hanya bisa mengeja
hanya bisa merangkai
retak-retak yang melebar
almanak lusuh tetap membisu
dalam detik tinggalkan cerita lalu
almanak lusuh masih bertahta diantara memori
berkali tanggal tersketsa bayangmu
detik tak peduli tanggal yang berteriak
detik tetap berlalu dengan cerita sajak-sajakku
aku hanya bisa mengeja
hanya bisa merangkai
retak-retak yang melebar
almanak lusuh tetap membisu
dalam detik tinggalkan cerita lalu
Saturday, August 7, 2010
Kemarau pun Membasah tiap Waktu
kemarau tak lagi gersangkan pekarangan
kering yang dulu terjadi
kini selalu basah dengan rintik satu-satu
seperti indah senyummu
seperti indah kerling matamu
seperti damai di sisimu
kemarau pun membasah tiap waktu
kering yang dulu terjadi
kini selalu basah dengan rintik satu-satu
seperti indah senyummu
seperti indah kerling matamu
seperti damai di sisimu
kemarau pun membasah tiap waktu
Wednesday, August 4, 2010
Senja dalam Kabut Bisu
Tanpa kata kau tatap aku dengan korneamu
tanpa kata kau rangkai senyum di bibirmu
tanpa kata telapak tangan kita menyatu
hanya rasa berkecamuk seiring gerimis satu-satu
senja, gerimis, hujan dan kita diam
nikmati senja dalam kabut bisu
tanpa kata kau rangkai senyum di bibirmu
tanpa kata telapak tangan kita menyatu
hanya rasa berkecamuk seiring gerimis satu-satu
senja, gerimis, hujan dan kita diam
nikmati senja dalam kabut bisu
Tuesday, August 3, 2010
Kau pun Mengembara di tiap Tidurku
Kau yang kini hadir menyapaku
yang tak lelah berputar dipelupuk mataku
yang selalu manja bergelayut dipundakku
yang menyatu dalam desah nafasku
kerling korneamu malu tuk sapa pelangi di mataku
kau pun mengembara ditiap tidurku
hanyut dalam lingkar semu abu-abu
semakin bergolak berteriak hingga degup pun
berdetak melintas bawa kerinduan
adakah rindu yang sama tergurat di lembar memorimu?
yang tak lelah berputar dipelupuk mataku
yang selalu manja bergelayut dipundakku
yang menyatu dalam desah nafasku
kerling korneamu malu tuk sapa pelangi di mataku
kau pun mengembara ditiap tidurku
hanyut dalam lingkar semu abu-abu
semakin bergolak berteriak hingga degup pun
berdetak melintas bawa kerinduan
adakah rindu yang sama tergurat di lembar memorimu?
Subscribe to:
Posts (Atom)