Gerimis senja di preanger menuntun kata
membasah dalam rintik lahirkan sajak tentangmu
semburat merah cakrawala di antara gedhe pangrango
getarkan hati seperti merah pada ranum pipimu
paksa aku kembali rangkai kepak-kepak kata per satu, hinggap dan sketsakan bayangmu
gerimis ini kembali genangi sudut ingatan
alirkan rindu di antara kaca jendela Preanger
melesat bagaikan syair berirama
dalam lubuk terdalam temukan dua suku kata
berharap pada indah pundakmu, sekedar bersandar
tuk baca dan maknai sajak bersamamu
Literasikan hatimu dengan membaca dan menulis karya. Hiasilah hidup dengan bersastra.
Tuesday, November 27, 2012
Friday, November 23, 2012
Senja Pada Sepucuk Daun Bersajak
Senja kembali tenggelamkan aku pada luka
hentakkannya begitu menyayat menusuk
bagai rintik satu satu di awal musim ini,
terbaring rasa tanpa daya dalam selokan hati
Mimpi rebah bersandar di pundakmu, lalu
pandangi simpul pada ranum pipimu adalah ilusi hati
Berlayar aku pada lautan kata
mencari di mana koma tuk sekedar istirah
mencari di mana titik tuk sekedar peluk asa
Angin awal musim bersama rintik menderas
bekukan aku dalam nadir luka
tertawa dalam tanya tanpa jawab, mengapa?
biarlah sajakku kan menjadi matahari bagi rinduku
biarlah embun tetap menetes pada ujung daun,
biarlah rintik satu-satu pada dingin menderas
hingga pelangi kan mencerah iringi kupu-kupu putih
terbangkan makna pada sepucuk daun bersajak
hentakkannya begitu menyayat menusuk
bagai rintik satu satu di awal musim ini,
terbaring rasa tanpa daya dalam selokan hati
Mimpi rebah bersandar di pundakmu, lalu
pandangi simpul pada ranum pipimu adalah ilusi hati
Berlayar aku pada lautan kata
mencari di mana koma tuk sekedar istirah
mencari di mana titik tuk sekedar peluk asa
Angin awal musim bersama rintik menderas
bekukan aku dalam nadir luka
tertawa dalam tanya tanpa jawab, mengapa?
biarlah sajakku kan menjadi matahari bagi rinduku
biarlah embun tetap menetes pada ujung daun,
biarlah rintik satu-satu pada dingin menderas
hingga pelangi kan mencerah iringi kupu-kupu putih
terbangkan makna pada sepucuk daun bersajak
Tuesday, November 20, 2012
Senja Merintik Lengang
Senja merintik lengang pada riuh yang tabuh
gemericik tanah merah bercampur air meluruh
selami indah korneamu adalah hal terindah
tiap kali kutulis dan kurangkai bayangmu, selalu
aku lihat sepasang angsa berenang berhias pelangi
Bayang tentangmu membeku tersketsa bersandar pada sayap kupu-kupu putih, bertanya selalu tanpa rasa,
terjawab sunyi pada angin kibaskan kesejukkan
aku hanya mampu duduk di tepian kolam matamu
tanpa mampu lagi berkecipak pada dingin rasa yang membuncah
Mengenang pertemuan pada senja memerah
lengang terusik riak pesisir dan kutemukan namamu
menapak pada sisa buih berkilau dalam semburat merah
entah pada persinggahan sajak ke berapa rindu berdekap
gemericik tanah merah bercampur air meluruh
selami indah korneamu adalah hal terindah
tiap kali kutulis dan kurangkai bayangmu, selalu
aku lihat sepasang angsa berenang berhias pelangi
Bayang tentangmu membeku tersketsa bersandar pada sayap kupu-kupu putih, bertanya selalu tanpa rasa,
terjawab sunyi pada angin kibaskan kesejukkan
aku hanya mampu duduk di tepian kolam matamu
tanpa mampu lagi berkecipak pada dingin rasa yang membuncah
Mengenang pertemuan pada senja memerah
lengang terusik riak pesisir dan kutemukan namamu
menapak pada sisa buih berkilau dalam semburat merah
entah pada persinggahan sajak ke berapa rindu berdekap
Friday, November 16, 2012
Gerimis Pagi
Rintik satu-satu membasah
selimuti langit pilu merebah
jejakkan bayangmu pada tanah basah
sendu daun begitu rapuh melayang perlahan
teteskan aroma darah pada kenangan dan rimbun luka
redup, gersang kian menggigil dalam rintih sendu
adalah sepi pada pagi berbingkai debu
ingin kututup mata tapi nadi tak ingin berhenti
kulihat engkau mendekap kelam
kusapa engkau sayatkan perih
kutahu engkau lelehkan mutiara
luruh dan meradang retakkan hati
seiring rintik satu-satu pada pagi
dalam gigil kabut kaki ungaran
selimuti langit pilu merebah
jejakkan bayangmu pada tanah basah
sendu daun begitu rapuh melayang perlahan
teteskan aroma darah pada kenangan dan rimbun luka
redup, gersang kian menggigil dalam rintih sendu
adalah sepi pada pagi berbingkai debu
ingin kututup mata tapi nadi tak ingin berhenti
kulihat engkau mendekap kelam
kusapa engkau sayatkan perih
kutahu engkau lelehkan mutiara
luruh dan meradang retakkan hati
seiring rintik satu-satu pada pagi
dalam gigil kabut kaki ungaran
Tuesday, November 13, 2012
Ilusi Hati
Satu jam sudah berlalu dalam dingin ruang AC bandara pada senja meremang. rintik satu-satu mulai membasah di landasan. Aku merasa ada pada ruang dimensi waktu yang tiada ingin rasa ini bernaung, hingga genderang asa memudar berirama bagai simfoni pilu birukan senja membasah seperti hujan di landasn pacu. dentuman detik tiap detak melirih sendu dan syahdu.
Menatap satu per satu pesawat landing dan takeoff, bagai dirimu yang lincah, perlahan terlukis parasmu dalam sajak-sajak pelangi kala sinar membias mendung senja itu. Terpecik rasa membahana ditelinga begitu jelas dan membuat luruh tulang-tulang penyangga tubuhku.
"Benarkah Kau akan segera pergi?, akankah Kau kembali dalam ruang bersamaku pada dimensi lain?"
"Mungkin, biarkan rasa bersemi dalam ilusi hati"
"Jangan, mengapa Kau biarkan bersemi dalam ilusi hati?"
"karena detik ini kan selalu berdetak seirama berselancar dalam rongga otot mengalir keseluruh tubuh hingga tersungkur hati dalam ilusi kepalsuan"
"Lalu, haruskah aku bertengger pada sayap kupu-kupu dan terbang bersamamu?"
"biarlah semua menetes seperti embun pagi berhias pelangi"
Kembali terhempas pada kursi tunggu diruang bandara AC kian gigilkan rasa, lalu mencekam badai yang tak kunjung berkesudahan, dendangkan simfoni rasa hingga pilu pun hinggap menyapa.
"Kau tak pernah mengerti dan tak mau mengerti, jiwa-jiwa hampa luluh lantak terkikis gelombang rasa dalam siluet senja"
Landing burung besi berwarna biru membungkam prahara kenistaan, kenangan dan harapan seakan menjadi bualan, terhapus-satu per satu mendekati saat akhir di kotamu.kepedihan kian terasa menjadi lebam sedu sedan hadirkan puing-puing bersama tutur lembutmu.
Pucat langit sesaat setelah peraduan tergelar bawa rembulan tanpa cahaya mengambang di atas langit Bandara. Fatamorgana kian menggelora, sebuah nama membawa gundah menyeruak dalam hingar bingar ilusi hati. Pahit pun bagai pedang kinine yang tajam mengharu membisu tatap samar bayangmu pada kaca ruang tunggu.
Membahana buyarkan lamunan panggilan untuk para penumpang segera menuju pesawat, melangkah perlahan tinggalkan kotamu, menari kembali kau dipelupuk mata berdendang alunkan simfoni rasa, perubahan tak akan terjadi.
Kutapaki tangga demi tangga menatap setapak yang kan kulalui, bisu beribu kata tak terucap sekelumit rasa tak mampu terungkap, kutoleh sesaat kotamu di akhir tangga, menjerit rasa menyeruak tak mampu paksa bibirku berucap satu kata.
Terhempas pada kursi biru, kembali kulayangkan pandangan keluar jendela, entah itu kamu atau siapa lambaikan tangan sesaat sebelum aku melayang dalam batas petang dan malam tinggalkan kotamu, tinggalkan ilusi hati pada fatamorgana senja.
Menatap satu per satu pesawat landing dan takeoff, bagai dirimu yang lincah, perlahan terlukis parasmu dalam sajak-sajak pelangi kala sinar membias mendung senja itu. Terpecik rasa membahana ditelinga begitu jelas dan membuat luruh tulang-tulang penyangga tubuhku.
"Benarkah Kau akan segera pergi?, akankah Kau kembali dalam ruang bersamaku pada dimensi lain?"
"Mungkin, biarkan rasa bersemi dalam ilusi hati"
"Jangan, mengapa Kau biarkan bersemi dalam ilusi hati?"
"karena detik ini kan selalu berdetak seirama berselancar dalam rongga otot mengalir keseluruh tubuh hingga tersungkur hati dalam ilusi kepalsuan"
"Lalu, haruskah aku bertengger pada sayap kupu-kupu dan terbang bersamamu?"
"biarlah semua menetes seperti embun pagi berhias pelangi"
Kembali terhempas pada kursi tunggu diruang bandara AC kian gigilkan rasa, lalu mencekam badai yang tak kunjung berkesudahan, dendangkan simfoni rasa hingga pilu pun hinggap menyapa.
"Kau tak pernah mengerti dan tak mau mengerti, jiwa-jiwa hampa luluh lantak terkikis gelombang rasa dalam siluet senja"
Landing burung besi berwarna biru membungkam prahara kenistaan, kenangan dan harapan seakan menjadi bualan, terhapus-satu per satu mendekati saat akhir di kotamu.kepedihan kian terasa menjadi lebam sedu sedan hadirkan puing-puing bersama tutur lembutmu.
Pucat langit sesaat setelah peraduan tergelar bawa rembulan tanpa cahaya mengambang di atas langit Bandara. Fatamorgana kian menggelora, sebuah nama membawa gundah menyeruak dalam hingar bingar ilusi hati. Pahit pun bagai pedang kinine yang tajam mengharu membisu tatap samar bayangmu pada kaca ruang tunggu.
Membahana buyarkan lamunan panggilan untuk para penumpang segera menuju pesawat, melangkah perlahan tinggalkan kotamu, menari kembali kau dipelupuk mata berdendang alunkan simfoni rasa, perubahan tak akan terjadi.
Kutapaki tangga demi tangga menatap setapak yang kan kulalui, bisu beribu kata tak terucap sekelumit rasa tak mampu terungkap, kutoleh sesaat kotamu di akhir tangga, menjerit rasa menyeruak tak mampu paksa bibirku berucap satu kata.
Terhempas pada kursi biru, kembali kulayangkan pandangan keluar jendela, entah itu kamu atau siapa lambaikan tangan sesaat sebelum aku melayang dalam batas petang dan malam tinggalkan kotamu, tinggalkan ilusi hati pada fatamorgana senja.
Tuesday, November 6, 2012
Lelah
Friday, November 2, 2012
Senyum itu Meranum pada Ilalang Gersang
Membayangkan simpul di pipimu adalah hal terindah
seperti senja lalu,
kugembalakan rindu pada jejak jiwa di tengah ilalang
senyum itu meranum pada ilalang gersang
percikkan api pada angin membara dan membiru
di malam bulan separoh
menatap simpul dipipimu adalah puisi terindah
semakin menggenang pada ranting, rahasiakan rintik satu-satu
menelusup kata di tiap angan persembahkan rindu pada malam
seperti senja lalu,
kugembalakan rindu pada jejak jiwa di tengah ilalang
senyum itu meranum pada ilalang gersang
percikkan api pada angin membara dan membiru
di malam bulan separoh
menatap simpul dipipimu adalah puisi terindah
semakin menggenang pada ranting, rahasiakan rintik satu-satu
menelusup kata di tiap angan persembahkan rindu pada malam
Subscribe to:
Posts (Atom)