iklan yang nyala, dan kekaburan cerita dalam buku-buku,
dihapus dari kejujuran kata,
sejarah sebuah bangsa yang dibikin amnesia
Anak muda sangsi hidupnya,
mengeja nasionalisme yang sekarat diterpa badai globalisasi.
Anak muda menangis memanggil ibu pertiwi.
Di hari kemerdekaan.
Yang ada hanya upacara.
Pesta. Merayakan hari-hari amnesia.
Ah, apa yang harus aku katakan tentang kemerdekaan?
Mengingat proklamasi Soekarno-Hatta.
Atau ledakan meriam 10 Nopember 1945.
Atau menghitung gedung-gedung mewah yang menggusur perkampungan kumuh!
Sementara mantera itu...
Menggerakkan seluruh sendi untuk terus bergerak,
bergerak, bergerak...
Pembangunan! beri aku pengorbanan,
barang selaut dua laut airmata darahmu.
barang sepetak dua petak tanahmu,
barang satu dua nyawamu
Anak muda merah matanya memandang langit:
"Adakah bahagia di sana, dalam belaian tangan-tangan malaikat.
Yang akan mengangkataku dari kekumuhan ini.
Dari keraguan memandang masa depan".
Ia bergerak dalam lautan massa.
Dalam gelora yang sama. Kata-kata menjadi generik.
Kata-kata menjadi ilusi yang menakutkan:
Penuh wajah garang dan kokangan senjata!
Sementara televisi menawarkan bahasa baru.
Menawarkan mimpi-mimpi baru:
dunia adalah perkampungan besar...
Anak muda menatap hidup penuh kabut:
"Adakah arti kemerdekaan bagiku.,
Yang tak pernah merasa merdeka.
Dari belitan sejarah.
Dan cengkraman kehidupan yang semakin sulit".
Bendera berkibar"Indonesia Raya"Indonesia Raya.
Adakah kau dengar kata-kataku ini.
Menawarkan cerita penuh luka.
Anak-anak sejarah kebingungan menatap cuaca
"Anak muda menatap Indonesia raya:"Merdeka?"
aku pinjam catatan sejarah Kang Nanang S
Malang, Agustus 1995
Malang, Agustus 1995
No comments:
Post a Comment