Selimut fajar tersingkap di ufuk timur seiring siualan mesra sang jantan di kandang sebelah. Dering berdenting seiring es em es muncul di layar mungilku.
"Aak, jangan lupa pukul tujuh harus sudah di pondok Maos 'guyub' dah ditunggu Mas Sigit ama Miss Claudia."
Aku pun beranjak dari tempatku semalam mengarungi dunia mimpi, aku hanya bisa membayangkan apa yang harus aku lakukan , aku ibarat akan menghadapi ujian skripsi eh kok melamun ke masa mahasiswa ya. Aku hanya bertekad bagaimana agar mereka tidak kecewa ketika aku terlibat dalam wisata sastra mereka. aku anggap ini wisata sastra karena memang Mas Sigit seorang "Columbus modern" yang bersenjatakan pena untuk menaklukan negara yang bertekuk lutut di bawah kibaran karyanya. sementara aku hanyalah seorang abdi negara yang berkutat dengan buku dan meja serta kursi yang membisu bila tanpa siswa.
Aku pun segera bersiap-siap dan ku kendarai kuda jepangku yang bernama "Revo". kusibak dingin pagi di tengah kabut hutan yang menusuk pori-pori jaketku dan menyentuh mesra kulitku. 30 menit pun berlalu dan aku sampai juga pondok maos "Guyub". Aku sangat menyesal, aku benar-benar tidak menyangka. Bayangan di benakku aku adalah peserta terakhir karena aku paling jauh gubugku diantara peserta yang lain. Karena memang hanya aku yang bertempat tinggal di Kal-Tim (maaf Kaliwungu Timur) di bandingkan teman-teman di Boja sana. Ibarat garam di laut asam di gunung bersatu dalam keluarga "Guyub"
Aku masih belum bisa mengerti, mengapa masih banyak orang yang belum menghargai waktu. Mas Sigit-Claudia Beck adalah orang-orang yang benar-benar menghargai waktu. mereka sebagai tamu ketika di Boja sekaligus tuan rumah. tapi mengapa peserta yang begitu dimanjakan justru belum siap bahkan belum datang. "Jam karet ini ya, ini jam karet" bisik Claudia pada peserta yang telah datang, aku hanya tersenyum mendengar kritik Claudia.
Akhirnya setelah beberapa waktu yang bagiku sangat lama untuk menunggu akhirnya tepat pukul 08.00 kami pun meninggalkan Boja. Aku merasa di sebuah kapal asing ditengah dentuman suara bom-bom yang memekakkan telinga. aku merasa sangat kecil. ya Bom-bom bahasa inggris, jepang, perancis menggema di setiap waktu. aku hanya bisa maknai tanpa bisa menimpali karena aku sangat kesulitan mencari kosa kata apa yang harus aku ucapkan. Aku pun kini menyesal kenapa aku tidak mahir berbahasa asing. Ya apa guna penyesalan kenyataannya aku sudah berda di tengah kapal pesiar yang merayap di tubuh ular. berkelok-kelok dan begitu panjang kami lalui. Aku hanya pandangi pemandangan luar jendela yang menjadi hiburan tersendiri bagiku.
Akhirnya kami pun bersandar di sebuah taman parkir yang begitu dingin dengan pemandangan pendagang keliling menjamur. Yah Kopeng adalah persinggahan pertama kami. Disitulah aku mulai berdialog dengan Mas Sigit, satu persatu keluhku tentang sastra di Indonesia di timpali dengan pandangan sastra luar yang begitu demokratis dalam perkembangannya. Wedang Ronde dan Sate Kelinci menjadi cemilan kami di sela-sela diskusi. Shio pun aku telepon dan dia ucapkan selamat bersastra ria katanya. Mas Sigit pun dikabari bahwa Shio akan ke Bali Bulan depan. mereka pun berdialog hangat sekitar 5 menit, di tengah ceria tawa anak-anak eks Bahasa kami pun lanjutkan perbincangan.
Mas Sigit banyak memberi masukkan untuk lebih sabar dalam melakukan aktivitas menulis. Setahun Ia selesaikan "Menyusuri Lorong Dunia" baginya menulis dengan model travelling lebih mengasyikkan di bandingkan dengan menulis yang hanya duduk saja, Mas Sigit pun bercerita bagaimana Lounching bukunya yang banyak mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia. Bali, Malang, Jogja, Semarang, bahkan Bandung telah mempublikasikan bukunya. jangan berpikir bagaimana sambutan pembaca. tapi cobalah terus menulis biarkan masyarakat pembaca yang menilai, karena itulah pross alami dalam menulis. lebih-lebih bila sudah dikenal masyarakat, harus siap diterima, atau dicemooh. bahkan Mas Sigit juga mencontohkan tokoh-tokoh sastra dunia. semisal Kaffa yang memang tidak butuh popularitas, biarkan orang tahu sendiri kualitasnya. Aku hanya menyimpan dalam memoriku tiap kata yang Ia ucapkan aku harapkan itu menjadi motivasi bagiku ke depan.
"Aak, jangan lupa pukul tujuh harus sudah di pondok Maos 'guyub' dah ditunggu Mas Sigit ama Miss Claudia."
Aku pun beranjak dari tempatku semalam mengarungi dunia mimpi, aku hanya bisa membayangkan apa yang harus aku lakukan , aku ibarat akan menghadapi ujian skripsi eh kok melamun ke masa mahasiswa ya. Aku hanya bertekad bagaimana agar mereka tidak kecewa ketika aku terlibat dalam wisata sastra mereka. aku anggap ini wisata sastra karena memang Mas Sigit seorang "Columbus modern" yang bersenjatakan pena untuk menaklukan negara yang bertekuk lutut di bawah kibaran karyanya. sementara aku hanyalah seorang abdi negara yang berkutat dengan buku dan meja serta kursi yang membisu bila tanpa siswa.
Aku pun segera bersiap-siap dan ku kendarai kuda jepangku yang bernama "Revo". kusibak dingin pagi di tengah kabut hutan yang menusuk pori-pori jaketku dan menyentuh mesra kulitku. 30 menit pun berlalu dan aku sampai juga pondok maos "Guyub". Aku sangat menyesal, aku benar-benar tidak menyangka. Bayangan di benakku aku adalah peserta terakhir karena aku paling jauh gubugku diantara peserta yang lain. Karena memang hanya aku yang bertempat tinggal di Kal-Tim (maaf Kaliwungu Timur) di bandingkan teman-teman di Boja sana. Ibarat garam di laut asam di gunung bersatu dalam keluarga "Guyub"
Aku masih belum bisa mengerti, mengapa masih banyak orang yang belum menghargai waktu. Mas Sigit-Claudia Beck adalah orang-orang yang benar-benar menghargai waktu. mereka sebagai tamu ketika di Boja sekaligus tuan rumah. tapi mengapa peserta yang begitu dimanjakan justru belum siap bahkan belum datang. "Jam karet ini ya, ini jam karet" bisik Claudia pada peserta yang telah datang, aku hanya tersenyum mendengar kritik Claudia.
Akhirnya setelah beberapa waktu yang bagiku sangat lama untuk menunggu akhirnya tepat pukul 08.00 kami pun meninggalkan Boja. Aku merasa di sebuah kapal asing ditengah dentuman suara bom-bom yang memekakkan telinga. aku merasa sangat kecil. ya Bom-bom bahasa inggris, jepang, perancis menggema di setiap waktu. aku hanya bisa maknai tanpa bisa menimpali karena aku sangat kesulitan mencari kosa kata apa yang harus aku ucapkan. Aku pun kini menyesal kenapa aku tidak mahir berbahasa asing. Ya apa guna penyesalan kenyataannya aku sudah berda di tengah kapal pesiar yang merayap di tubuh ular. berkelok-kelok dan begitu panjang kami lalui. Aku hanya pandangi pemandangan luar jendela yang menjadi hiburan tersendiri bagiku.
Akhirnya kami pun bersandar di sebuah taman parkir yang begitu dingin dengan pemandangan pendagang keliling menjamur. Yah Kopeng adalah persinggahan pertama kami. Disitulah aku mulai berdialog dengan Mas Sigit, satu persatu keluhku tentang sastra di Indonesia di timpali dengan pandangan sastra luar yang begitu demokratis dalam perkembangannya. Wedang Ronde dan Sate Kelinci menjadi cemilan kami di sela-sela diskusi. Shio pun aku telepon dan dia ucapkan selamat bersastra ria katanya. Mas Sigit pun dikabari bahwa Shio akan ke Bali Bulan depan. mereka pun berdialog hangat sekitar 5 menit, di tengah ceria tawa anak-anak eks Bahasa kami pun lanjutkan perbincangan.
Mas Sigit banyak memberi masukkan untuk lebih sabar dalam melakukan aktivitas menulis. Setahun Ia selesaikan "Menyusuri Lorong Dunia" baginya menulis dengan model travelling lebih mengasyikkan di bandingkan dengan menulis yang hanya duduk saja, Mas Sigit pun bercerita bagaimana Lounching bukunya yang banyak mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia. Bali, Malang, Jogja, Semarang, bahkan Bandung telah mempublikasikan bukunya. jangan berpikir bagaimana sambutan pembaca. tapi cobalah terus menulis biarkan masyarakat pembaca yang menilai, karena itulah pross alami dalam menulis. lebih-lebih bila sudah dikenal masyarakat, harus siap diterima, atau dicemooh. bahkan Mas Sigit juga mencontohkan tokoh-tokoh sastra dunia. semisal Kaffa yang memang tidak butuh popularitas, biarkan orang tahu sendiri kualitasnya. Aku hanya menyimpan dalam memoriku tiap kata yang Ia ucapkan aku harapkan itu menjadi motivasi bagiku ke depan.
No comments:
Post a Comment