Kabut fajar tipis tersapu mentari jingga di timur
serta teriakan detik jam di sudut kamarku
kupandang pesisir dengan debur dan riak berirama
aku tulis sajak ini untukmu yang di sana
ingin ku kabarkan pagi ini
udara di pesisir tak lagi sejuk
rimbunya pohon tak lagi mampu selimuti tidurku
karna asap pabrik tlah lebih dulu menyeruak hidungku
Kulihat burung blekok berbulu putih terseok dalam lumpur
ia begitu kelelahan setelah berjuang melawan cerobong asap
diantara awan yang tak lagi perawan
burung putih itu mengingatkan kembali
pada tembang jawa yang kini jarang terdengar
juga pada tangis anak-anak dipagi buta
burung putih itu telah mampu merenda benang-benang kusut di kamarku
melukis bidadari diatas selimut kumal
sementara kalander tetap membisu dengan deret angka yang tiada berkata
seakan mencabut sukma di kamar ini dengan lentik jemarinya
kutulis sajak ini
di atas kertas kusam
sekedar mengingatkan bahwa kusam tidak berarti kuno
sarang blekok itu adalah kusam dan kumal
tapi adalah istana dengan singgasana permadani
Perlahan mentari semakin menyengat
sementara awan tipis berpacu dengan asap pabrik
ingin kukabarkan kepada engkau yang jauh di sana
burung blekok itu tlah kembali mengepakkan sayapnya
tidak lagi terseok di kubangan lumpur
ia telah arungi kembali cakrawala kehidupan
itulah hidup
hidup adalah bagaimana kita bisa memaknai dengan hati
bukan dengan emosi
aku tak mau lagi mendengar tangis dan rintihmu
keluh dan kesah
jerit dan deritamu
seperti semalam, saat kau berkunjung di stasiun mimpiku
aku tengah mencipta irama langit
tanpa asap pabrik
kuharap kau dengarkan aku
kuharap kau tegar dan mendengar
seperti burung blekok yang terseok dalam lumpur
No comments:
Post a Comment