Wednesday, January 28, 2009

Stasiun Hantu

"Makanya, lihat jalan! ada bendulan kok di tabrak! " teriak mak Tum

"Itu bukan bendulan Makne..., itu jeglongan!" balas Lek man sambil terus mengayuh becaknya.

Pertengkaran tak pernah lepas dari mereka tiap kali menuju stasiun. Suami istri yang begitu setia menjadi penghuni stasiun tiap kali sore menjelang.
Lek Man seorang pengayuh becak yang selalu mengantar penumpang setiba mereka di stasiun kota itu. Sementara Mak Tum penjual gorengan dan kopi selalu setia melayani penumpang yang haus setelah perjalanan. Derit roda kereta dan peluit petugas selalu nyaring tak lagi memekakkan telinga mereka. Kelelawar yang lalu lalang bermain dengan ngengat dan nyamuk menjadi pemandangan tersendiri selain bau kas kotoran kampret .

Rinai sore itu tak seperti biasanya, tipis diselingi kabut menambah malam kian kelam, lampu di sudut stasiun tak mampu melawan malam, pecahan-pecahan ubin berserakan diantara sampah daun dan plastik. Sesekali terdengar riuh celoteh cabul dan teriakan segerombolan anak jalanan yang "mengontrak"gardu di sisi barat stasiun.

"Aku cari penumpang dulu Makne!"

"Iya-iya..., eeee itu tremosnya jangan dibawa.., repot nanti kalau ada yang minta kopi, turunkan dulu Pakne!"

"Lha kamu itu bagaimana sih...nih ambil!"

"Ati-ati Pakne, awas kalau lirak-lirik kembang-kembang pariyem.."

"Iya-iya!"Lek man pun berlalu seiring angin yang menghembus perlahan.

Mak Tum sibuk menata piring, gelas, tremos dan ugorampe dagangannya. Sesekali ia lantunkan tembang jawa kesukaannya. tembang jawa yang selalu ia dengar kala akan terlelap dalam kelonan simbok. Masih terngiang jelas dalam benaknya.

"Jadi perempuan itu yang sumarah, jangan pernah nguciwani liyan, opo meneh bojomu, setiti, ngati-ngati lan waspodo iku kudu mok lakoni suk nek omah-omah yo nduk!"
Wejangan simbok yang selalu ia jalani, 20 tahun bukan waktu yang pendek untuk menemani Lekman, migran dari desa untuk mengharapkan sesuatu yang lebih dari yang ada di desa. Kenyataan terjadi setelah Lek Man di PHK, mau tidak mau ia pun harus turut bekerja sebagai penjual wedang hingga saat ini.

"Kerinduan tanpa batas menghantui hari-hariku menembus alam dimensi pikiran ku……. Kerinduan tanpa batas membawaku jatuh ke garis titik nadir kehidupan ini….Sepatah kata rindu yang terucap dari suara hati ku terbawa oleh angin malam dalam mimpi indah mu…..Semakin berulang kali kata rindu terucap dalam benak ku, semakin aku terbangun memikirkan mu…."Lantang terdengar seiring langkah mantap seorang pemuda lusuh mendekati kursi panjang "warung" Mak Tum.

"eee alah kamu to Mas!"

"Bagaimana Mak Tum Puisi saya bagus ndak!"

" Iya bagus, bagus banget mas!, pasti perempuan yang Mas Wisnu maksud akan bahagia bila
mendengar dan membaca puisi itu"

"Lha ya jelas to Mak Tum.., memang puisi ini aku tujukan pada Wismarini, itu lho Mak..., anak pak RT kampung sebelah"

" Iya-iya percaya..., ngopi Mas!"

"Lha ya jelas to Mak!, jam segini itu enaknya ngopi sambil cari.... inspirasi untuk puisi-puisi saya..."

Wisnu seorang pemuda lontang-lantung yang mengaku "seniman" itu, selalu ngopi tiap malam menjelang, tak jarang ia lantunkan dengan keras untuk para langganan Mak Tum, tepuk tangan riuh pun membahana tiap kali selesai ia bacakan puisinya.

"Mak...! kok malam ini nggak seperti biasanya?"

"Iya Mas, aku juga nggak tahu?"

"Biasanya kan, "Bintang panggung" selalu di sini Mak, eee siapa itu Wowok, Ginuk, Pariyem dan Nyi Asih....pada kemana mereka Mak?"

"Sudah satu minggu ini mereka tidak ke sini Mas!...dengar-dengar mereka kena garuk petugas Mas!"

"Sepi lho Mak tanpa kehadiran mereka.., siapa yang akan nembang Mak!"

" Ya kamu aja to baca puisi..., ni kopinya...Mas!"

"Alah yo kesel aku Mak, makasih mak!"Tragedi penggarukan "bintang panggung" sebutan bagi perempuan-perempuan yang selalu menjadi matahari malam bagi kuli-kuli, tukang becak, sais dokar di stasiun sudah menjadi bagian dari dinamika kehidupan Mak Tum. Kejar-kejaran untuk menggaruk mereka selalu jadi pemandangan lucu dan membuat trenyuh. Tak jarang Mak Tum kadang menyembunyikan salah satu bila terpaksa ada yang nyungsep di bawah meja tempatnya menjajakan wedang.

"Na itu stasiun yang Bapak maksud...kita sudah sampai Pak!"Tiba-tiba agak mengejutkan Mak Tum.Tidak biasanya penumpang lek Man aneh, seperti Lelaki Tua ini.

Lelaki tua dengan tongkat berkepala elang terseok berusaha turun dari becak Lek Man, dengan topi bundar berwarna putih, berbaju putih stelan panjang layaknya amtenar Belanda masa lalu. Ia lepas kacamata dan membersihkannya, sesekali ia kucek-kucek matanya, seperti tidak percaya, Ia amati dari sudut barat hingga sudut timur stasiun di depannya, tanpa kata tanpa sapa ia melangkah perlahan melongok ke dalam, tertatih barangkali karena usianya.

"Siapa itu Pakne? kok tidak biasanya ada orang yang nyeleneh dan nyetil kayak Bapak ini?"

"Huss ! jangan keras-keras, nanti Bapak itu dengar...,kalau tersinggung karena kata-katamu tadi kan ciloko Makne!"

" Iya Mak.. nanti malah kamu dimarahi.., jangan ganggu..kita lihat dulu aja"timpal Mas Wisnu

Melangkah perlahan memasuki lorong stasiun dan duduk di kursi peron. Matanya terus mengamati sekeliling. Sembab terlihat jelas dimatanya. Sesekali ia seka keringat yang tiba-tiba mengucur di wajahnya. Entah apa yang diucapkan, bibir itu telihat bergerak terbata-bata dan sesekali matanya terpejam dan menunduk.

"Lho-lho Pakne kenapa itu Bapaknya?"

"Aku juga gak tahu Bu.."

"Lek Man.., dapat dari mana kamu tadi? Bapaknya kok aneh?"

"Huss kamu jangan sembarangan, barangkali dia pejabat yang mampir, ato pemborong yang akan membongkar stasiun ini"

"Halah semua pada ngawur kita tanya saja ya"

"Pak, maaf mau minum apa?" Mak Tum mencoba memecah suasana

"Eh eee Oh maaf.., aku tlah mengganggu kalian. Boleh-boleh kopinya !""Kalau boleh tahu Bapak darimana dan mau kemana?"lanjut Mak Tum

"Aku hanya sekedar singgah sudah 20 tahun yang lalu aku pernah ke stasiun ini, ternyata tidak banyak berubah hanya lusuh seperti usiaku ini"

"Oooo kami kira Bapak Pejabat yang akan memugar stasiun tua ini"

"ahhh tidak-tidak...."

"Ya udah kalau gitu aku tak cari penumpang lagi ya Makne"sergah Lek man tiba-tiba

"Iya sana"

"Monggo-monggo Lek Man, itu sudah menjadi kewajiban kamu. Sedangkan aku wajibnya ngopi di warung kamu, he he" timpal Mas wisnu

Lek man pun pergi dengan penuh kesetiaan mendorong becaknya, Mak Tum menyeduh kopi untuk tuan Bharata. Lelaki tua itu kembali melamun, seakan ada yang mau dibongkar dari otaknya di stasiun itu. Bayang perempuan tiba-tiba muncul dikelopak matanya, bergantian dan berulang-ulang wajah istri-istrinya yang telah meninggalkannya. Tiba-tiba tanpa sadar ia terisak dalam diam.

"Mak..., sini.., Bapak itu menangis Mak?"

"Ssssstt..! jangan diganggu nanti Dia Marah! dan lagi itu bukan urusan kita"

Jengkerik tetap melaksanakan tugasnya berdendang dengan derit menyayat, kelelawar mulai berkelepak bermain dengan serangga malam menyambut pekat yang kian kelam. Mak Tum tetap setia membelai gelas dan sendok, sementara mas wisnu mengotak-atik kertas dengan wajah tegang. Suasana semakin tegang kala guntur mulai menggelinding di langit, kilat menyambar pohon kelapa di depan stasiun memercikkan api yang tiba-tiba membuat terang dan menakutkan. Mak Tum terperanjat, mas wisnu hanya senyum-enyum melihat fenomena tersebut. Tuan Barata hanya menoleh sesaat kemudian tertunduk kembali.

"Lho kok pada bengong! ni lho aku bawa Nyi Asih...., "

Tiba-tiba Lek Man berteriak turun dari Becak dan mengangkat roda belang untuk memudahkan Nyi Asih turun. Perlahan dan berlenggak-lenggok menuju ke warung Mak Tum. Mas Wisnu girang karena Bintang warung malam itu hadir setelah lama menghilang. Tuan Barata terperanjat memandang Nyi Asih dengan mata yang hampir keluar. Tanpa berkedip terus pandangi wanita setengah tua yang tetap cantik itu.mulutnya berkomat-kamit akan mengucapkan sesuatu tapi tak pernah bisa keluar.

"Wah kadingaren Nyi malam ini turun gunung, ke mana saja selama ini.., kabar Nyi Asih bagaimana dan mana Limbuk, Wowok, Ginuk, Pariyem kok tidak pada ikut?”

“Kabar baik Mak.., gimana Mak Tum sendiri wah-wah makin makmur saja ya, lebih-lebih Lek
Man makin gemuk. Limbuk, Wowok, Ginuk, dengar-dengar masih di penjara karena berkali-kali kena garukkan, sementara Pariyem katanya malah dinikahi aparat yang menangkapnya. Dunia ini memang aneh kok Mak

“Itulah hidup ya Nyi. Oh ya mau minum kopi apa teh malam ini”

“Biasalah Mak Teh, tapi gulanya jangan banyak-banyak”

Nyi Asih memandang sekeliling menyapa mas Wisnu, dan duduk di bangku panjang matanya tertuju pada sosok tua yang sedari tadi memandangnya. Risih juga Nyi Asih dipandangi tapi betapa terkejutnya sosok laki-laki tua itu berdiri dan berjalan mendekatinya, sementara Nyi Asih berusaha lari meninggalkan stasiun.

“Wasni! kamu wasni kan? “

Mak Tum ndak jadi, saya pergi dulu”

“Wasni!”

Nyi Asih!”

Langkah Nyi Asih kalah sigap dari tangan laki-laki tua itu. Terengkuh sudah tangan Nyi Asih walau meronta Ia tidak mampu melepaskan cengkereman laki-laki tua itu. Mak Tum, mas Wisnu, dan Lek Man hanya terperangah memandang kejadian yang tidak pernah di sangka itu.

“Jangan tinggalkan aku lagi Wasni”

“Tidak! Akan kau siksa aku lagi ya? Belum puas kau mempermainkan aku. Akan kau kemanakan Puspa, Windi dan Sinta. Aku sudah cukup sabar menerima siksaanmu, tapi aku tak sanggup lama-lama di rumah itu, Jadi jangan pernah ajak aku kembali lagi”

“Mereka semua sudah pergi Wasni, mereka sudah meninggalkanku saat aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Maafkan aku Wasni, kembalilah kepadaku”

“Ooo begitu ya, di saat kamu jaya kamu bergelimang harta kamu seenaknya berbuat seperti itu.Kini saat kau menderita jauh-jauh kamu cari aku. Tidak ! Tuan Barata, Tidak! Jangan harap aku kembali lagi.

“Tapi wasni!”

“Tidak!”

Wasni berontak dan berlari masuk ke dalam stasiun seiring sirine kerita api meraung-raung, roda kereta menggetarkan seluruh kawasan stasiun. Jeritan menyayat terdengar mengejutkan mereka. Mas Wisnu berlari menengok ke dalam dan keluar tergopoh-gopoh”

“Nyi Asih terlanggar kereta! Nyi Asih Terlindas kareta”

Lek Man berlari disusul Mak Tum Mas Wisnu kembali menyusul untuk mencari di mana Nyi Asih. Tuan Barata masih mematung dan tergopoh-gopoh menyusul ke dalam stasiun. Tegang dan kebingungan Ia mondar-mandir tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sesaat kemudian Ia kembali ke peron stasiun dan terlihat menangis.

“Wasni…..maafkan aku.Kenapa kamu harus meninggalkan aku dengan cara seperti ini Was”

Lama Tuan Barata tertunduk suasana makin mencekam, keriuhan tukang becak, penjual asongan dan anak jalanan tiba-tiba menghilang. Senyam dan sepi bahkan suara binatang malam tak satu pun yang bersuara bahkan berbisik pun tidak. Gerimis perlahan menetes seakan berduka atas kematian Nyi Asih alias Wasni sebagai "bintang panggung" di stasiun itu. Tuan Barata merasa dunia telah merengkuhnya dalam kesepian. Orang-orang terdekat telah meninggalkannya dari istri hingga anak-anaknya, kini Wasni pun yang diharapkan menjadi orang terakhir yang akan menemaninya kini telah pergi meninggalkannya.

Tuan Barata memandang sekeliling berusaha mencari masih adakah orang disekitar stasiun ini. Masih saja Ia belum mengerti dengan keadaaan yang tiba-tiba berubah.

“Bapak mencari siapa?”

Tiba-tiba muncul laki-laki bongkok membawa lampu gantung. Sapaan lelaki itu mengagetkan Tuan Barata. Kesadarannya belum pulih benar.

“Maaf.., Bapak siapa? Kenapa malam-malam berada di stasiun ini?”

“Pak! Tolong Pak, ada orang terlanggar kereta, Istri saya pak.., istri saya terlanggar kereta”

“Maaf Pak, Bapak pasti bermimpi, stasiun ini sudah tidak aktif sejak 20 tahun yang lalu, mana mungkin ada kereta lewat”

“Tapi.., tapi tadi istri saya, trus penjual wedang, pengayuh becak. Pada kemana mereka, mereka tahu lho pak?”

“O.., saya jadi ingat, 20 tahun yang lalu, suami istri pengayuh becak dan penjual wedang terlindas kereta di penyebrangan sana. Kemudian di sudut stasiun sana ada seniman yang bunuh diri menggantung karena stress. Terus di dalam sana seorang perempuan cantik ditemukan meninggal pada malam yang sama dengan malam ini.”

“Jadi-jadi…. Semua tadi…?”

“Maaf Pak…, saya harus kembali ke rumah saya”

“Bapak mau kemana?”

“Saya harus pulang ke kuburan timur itu, mari Pak!”
Tuan Barata hanya mematung dengan wajah pucat memandang kosong ke dalam stasiun.

saduran dari naskah drama
karya Mahmud el Qodri
Januari 2009

1 comment:

SAWALI TUHUSETYA said...

dialognya khas orang jawa pedalaman, pak didik, hehehe ... lebih enak dan cair dibacanya.