Tuesday, March 24, 2009

Janur Kuning Pucat di Mataku



Janur kuning berdiri kokoh di depan rumahmu, terjulur hampir menyentuh tanah berjuntai-juntai seakan menyambut salam pada tamu.Wangi melati pun semerbak menghembus bersama harum kamarmu, sementara harum bawang goreng dan bumbu pun mulai menodai udara kampung.Telah tertata rapi di depan rumah ugo rampe di bawah teduhnya tenda biru putih. Semua saudaramu, tetanggamu pun sibuk bersatu tangan menyambut hari istimewa bagi keluargamu.


Sementara di kamar, kamu mencoba baju pengantin berkali-kali sebelum calon suamimu datang, cincin tlah melingkar di jari manis sebagai tanda ikatan sunnah Rosul. Kamu tlah siapkan buku tamu yang kan berisi semua karib dan rekan kerja. kamu membaca undangan yang tersisa dari yang telah tersebar, daftar nama pun kembali kamu baca "adakah yang terlewat" dalam bathinmu berucap.


Tepat pagi itu Tanggal yang kamu dan Orang tuamu nantikan. Suara Kebo giro mengalun menyayat hati, hilir mudik kendaraan dan orang tiba-tiba meramaikan jalan yang biasanya purba ini. Aku terdiam tatap padi yang mulai menguning seiring dengan bunga mangga yang tak kalah semerbak dengan melati. Burung sawah pun berlomba dengan angin tuk hinggap di ujuang padi, sementara suara kaleng ditarik penunggu sawah berdenting dengan alunan kebo giro membising di pagi itu.


Ada yang aneh, tidak seperti biasa aku enggan beranjak dari dipan ini. Aku tlah berkali rebah, namun rebah yang paling menyentuh dasar hati hingga aku enggan beranjak. Kebo giro tlah berganti irama dangdut, Kak Rhoma pun bersenandung dengan "Kehilangan" yang makin membuat aku rebah. Ya aku kehilangan sesuatu yang memang tidak seharusnya aku miliki.



"Kalau sudah tiada baru terasa"

"Bahwa kehadirannya sungguh berharga"

"sungguh berat aku rasa kehilangan dia"

" sungguh berat aku rasa hidup tanpa dia"



Tak terasa aku pun semakin terjerumus ke dalam jurang yang sangat dalam yaitu jurang kekecewaan. Ngarai yang begitu terjal semakin menghempaskan hati yang tlah terluka. Entah sampai kapan luka ini kan mengering. Kembali kuberusaha bangkit dari keterpurukan akal dan pikiranku. Kulihat burung, padi, awan dan mentari yang semakin terik ditengah pesta meriah pernikahanmu .
"Kamu kok masih tiduran to? mbok sana bantu-bantu, wong ada orang mantu kok di rumah saja?" Suara yang begitu kukenal mendesing bagai peluru ditengah kegalauanku.
"Nantilah mbah..., sudah banyak yang bantu kok, tanpa aku pesta juga masih berlanjut mbah"
"He ladalah..., kamu kan teman dekat wisma..., gak baik ditengah pestanya kamu tidak membantu...., ada apa to Nang?"
"Ndak ada apa-apa kok Mbah.., ya sudah sebentar lagi Nang ke sana...."
"Yo wis, Dah mandi sana..., kamu itu Nang! Nang!...."
Angin kembali berhembus bersama langkah Simbah menyibak tirai menyekat serambi dan ruang tamu. Angin yang begitu menyesakkan, kembali membuat aku terpenjara dalam rana.
Sepenggal tanah tlah aku jalani dan detik waktu tak pernah mampu menentramkan perasaanku. aku berada dalam kebimbangan antara datang dan pergi jauh meninggalkan desa yang sedang menggelar hajat besar dari sebuah pernikahan Wisma. Batik kesukaanku tlah memeluk erat, bau khas "Fougere" pun tlah mengharumkan tubuhku hingga menusuk ruang kamarku. cericit burung sawah seakan mengejekku berteriak agar aku segera menentukan sikap.
Kubiarkan kaki ini melangkah mengikuti asa dalam jiwaku, tanpa sadar entah mengapa lajuku justru menuju keramaian yang sangat ingin aku hindari. Mengalun lagu "Arjun" dari pengeras suara.
"Mengapa......dalam perjalanan cintaku......"
"Selalu ada yang merintang.........."
"Pada diriku....... yang Hinaaaaaaa"
Aku makin terhimpit dalam keraguan yang memuncak haruskah aku teruskan langkah ini menuju ke depan pelaminan, atau aku harus ke belakang membantu para Ibu-ibu memasak. Kutatap mata tetanggaku yang entah apa makna yang tersimpan di dalamnya. Tak satu pun mata yang tak memandangku tiap aku melangkah. Aku berdiri di persimpangan antara dapur dan tenda pelaminan.
Wisma berdiri di altar menatapku. Tersenyum. Senyuman paling indah yang pernah kulihat. Matanya memancarkan sinar kebahagiaan. Aku temukan pelangi indah di matamu, tapi sayang pelangi itu tidak untukku. Dan aku disini, berjalan dengan lambat, mencoba menenangkan degup jantungku. Keraguan itu kembali datang, haruskah aku terus berjalan, ataukah aku berhenti dan lari meninggalkan tempat ini pergi kemana angin membawaku.

Mataku tiba-tiba gelap, langit terasa berputar membawaku ke tengah pusaran duka, gempa kecil terasa menggetarkan seluruh tubuhku. Tanah tak lagi bersahabat, kaki ku pun tak lagi mampu menopang tubuh, aku limbung sejurus dengan teriakan tamu undangan.

Sebuah Kado untukmu yang kan berbahagia

8 comments:

Anonymous said...

Assalmu alaikum
salamkenal yah
artikelnya bagus
tingkatkan yah
anda guru bahas aindonesia yah?
kalau suatu saayt aku ada masalah dengan bahasa,aku tanya ksini yah?
tolong kunjungi blogku terus koreksi kesalahan bahasanya
http://f4dLyfri3nds.blogspot.com

Anonymous said...

Mksih udh mau jalan2 ke blogQ :)

Anonymous said...

ajarin cara membuat website sehingga bisa menjadi co.cc yah

Risefa said...

yang sabar yah sob kalo memang jodoh takan kemana, kalopun tak jodoh tak bisa dipaksa. pastinya Allah SWT berkehendak lain dan optimislah dikau akan mendapatkan pasangan yang layak di kemudian hari.

Linda said...

keren banget mas untaian katanya hiks..aq jd malu baca artikel aq hehehehe...T..O..P...^^

vie_three said...

blog yg keren.... berisi sastra semua nih.....

bisa membuat pikiran fresh habis baca sastra.... btw, ini cerita fiksi ataukah cerita nyata???

narti said...

sepertinya kisah nyata ya? lebih bisa menghayati n menuliskannya dgn bahasa yg indah.

Nurhadi,S.Pd said...

makasih semua