Kutatap matanya.
Mata di dalam cermin membalas tatapanku.
Aku lekat menatap mata itu.
Mata itu menatap mataku.
Demikian lekat.
Bintik hitam.
Lalu bayang-bayang.
Berhamburan dari mata itu.
Mungkin masa lalu. Sebagai kenangan.
Mungkin juga masa depan.
Sebagai harap.
Di mata itu aku temukan seorang manusia.
Ia meringkuk di sudut waktu dengan gores luka.
Diri yang lelah bertarung di hiruk pikuk jaman yang menusuk
menetak mencongkel mengaduk-aduk seluruh rasa
dengan suka-duka derita-bahagia.
Diri yang merasa sebagai pecundang yang lelah berlari
memekikkan kekalahan demi kekalahan.
Lelaki yang menerima kutuk dan maki sebagai upacara diri sendiri.
Manusia yang selalu meneriakkan nyeri perih tak henti.
Inikah wajahku. Inikah mataku.
Inikah aku. Kataku bertanya pada diri.
Saat menatap wajah dalam cermin.
Mata dalam cermin. Yang menatapku dengan lekat.
Mencoba menelusuri dan menelanjangi seluruh riwayat.
Di mana aku berada.
Dari mana aku bermula. Ke mana aku akan kembali.
Mata. Serupa jendela.
Kau katakan dapat menjenguk jiwaku.
Lewat mata. Jendela jiwa.
Padahal mungkin yang kau temukan adalah labirin kesunyian
yang gelap tak berujung cahaya.
Atau kegaduhan gelisah sendiri yang
membakar hari-hari dengan tanya tak berjawab.
Tentang diri sendiri. Tentang segala yang tak pernah dapat diketahui pasti.
Mata. Aku ingat kau sering menatap mataku.
Penuh selidik. Karena kau tahu
aku tak pernah bisa menyembunyikan sesuatu jika kau tatap mataku.
Kau akan segera mengetahui apakah aku jujur
atau berbohong hanya dengan menatap mataku.
Mungkin sering pula kau temukan airmata di situ.
Ya, inilah airmata. Menyelinap dalam senyap.
gemeletar tatapmu. Sebagai cemburu.
Memburu masa lalu: peta-peta yang diberi tanda.
penanggalan dan riwayat.
Tapi siapakah yang membaca luka sebagai puisi.
Selain matamu yang menelusur jejak rasa sakit.
Hingga kau tahu, aku menanggung kutuknya sendiri.
memanggul kata-kata dan menggulirkannya dari puncak derita bahagia.
O jutaan huruf terlepas dari hati.
Bergulir kata-kata.
Di tebing pipi. Sebagai airmata, yang kau terima,
sebagai debar dalam dada sendiri. Hanya ketulusan menerima.
Sebagai muara. Mengalirkan kesah pada laut keabadian.
Cintamu.Mata serupa jendela, katamu.
Dan memang sepertinya begitu.
Aku pun membalas tatap matamu.
Aku temukan kedalaman cinta dalam tatap matamu itu.
Kedalaman rahasia. Aku coba menyelaminya.
Hingga sampai palung terdalam. Rahasiamu.
Rahasia yang kau simpan rapi dalam-dalam.
Seakan takut ada perompak yang akan merampasnya.
Peta rahasia yang kau gambar suatu ketika.
Catatan yang kau tulis suatu ketika.
Tapi entah mengapa kau biarkan aku menemukan peta itu.
Rahasia itu. Hingga kutahu riwayat mula-mula: Cinta.
O mata, yang menerbitkan cahaya rindu dalam dadaku.
Seperti cahaya dan gerimis yang menggambar pelangi.
Di lelangit harap saat kau tunggu dengan rayu dan tatapmu.
demikian manja gerimis menyapa. Cahaya di sela-sela.
Memendar pendar. Mewarna di udara.
Lengkung mimpi kanak-kanak ke langitcintamu.
Biarkan bait-bait rindu menelusup dalam mimpimu.
Huruf demi huruf yang beterbangan di buku hari-hari.
Berdiam dalam dadamu. Dalam hangat pelukmu.
o, yang mencinta. Kutemu diriku di situ di dalam dadamu.
Sepenuh cintamu.O mata, sebagai bening rindu.
Demikian hening. Ke dalam dadaku kau alirkan segala mimpi dan harap.
Tatap yang tak henti menjelajah relung-relung terdalam rahasia waktu.
Pada sketsa peta. Sebagai tanda yang harus kubaca.
Setulus cintaku. Gulir butir airmata menemu tuju.
Menemu mula segala rindu.Di negeri yang jauh.
Di langit yang jauh. Demi pemilik segala rahasiawaktu,
kutemu cinta di tatapmu, o mata.
Menerobos relung terdalam rahasia dalam dadaku!
Di matamu kekasih, kutemu negeri rerimbun pohonan menghijau daun,
gemercik alir dari mata air, jembatan bambu yang terbentang.
Kanak-kanak tertawa riang menyeberangkan mimpi dan harapnya.
O, di hati yang merangkum kasih sayang,
kanak-kanak mendekatkan kepalanya.
Tik tak kehidupan, berdetik di dada cintamu.
Pernah kulayarkan mimpiku ke dalam gelombang badai mencari negeri negeri
dimana pohonan beranting cahaya berbuah cahaya.
Kulayarkan mimpiku dalam gelombang badai mencari negeri.
Angin menderu perahu terpelanting berulangkali tenggelam aku berkali-kali.
Sampai kutemu kini negeri di matamu yang cahaya,
yang menyeru: jangan lagi kau masuki negeri tak pasti.
Mata yang menderaskan airmata. Menderas.
Hingga o, berlinangan cahaya.
Dari matamu.
Dari mataku.
Cinta yang mencahaya.
Menyatu dalam lautan cahaya.
Aku pinjam catatan airmata
"gedong puisi" Maret 09
No comments:
Post a Comment