"Aku Pergi......."
Aku terperanjat. Aku menatap matanya, ada keseriusan disana.
“Pergi kemana?” tanyaku pelan.
Dia menggeleng. Tatapannya menerawang ke angkasa, ke langit bertabur bintang. “Entahlah. Mencari jalan pulang mungkin. Mencari jalan kembali.”
Dia menggeleng. Tatapannya menerawang ke angkasa, ke langit bertabur bintang. “Entahlah. Mencari jalan pulang mungkin. Mencari jalan kembali.”
“Jalan kembali?” ulangku bingung.
Dia tersenyum kecil.
Dia tersenyum kecil.
“Langit malam ini indah ya,” ujarnya seolah tidak mendengar perkataanku. Aku yakin benar, dia tahu aku menanyakan sesuatu. Aku mendapat kesan dia menghindari pertanyaanku.
“Aku tidak akan pernah mengelak dari pertanyaanmu, kalau itu yang kamu pikirkan,” katanya tiba-tiba.
Untuk kedua kalinya aku terkejut. Dia memang seperti cenayang. Aku memilih diam. Sayup-sayup aku mendengar suara binatang malam. Menimbulkan sebuah sensasi di batinku. Aku memejamkan mata, mengikuti alunan iramanya.
“Barangkali dia tidak akan pernah kembali lagi,” kata-katanya membuatku tersadar dari syahdunya nyanyian alam. Aku kembali memperhatikannya. Dia masih tetap memandang purnama yang bersinar keperakan di atas sana.
“Memangnya dia pergi kemana?” aku mendesaknya.
Dia tertawa kecil. Tawa tanpa perasaan bahagia. Angin berhembus. Aku menggigil. Aku menaikkan kerah jaket, menghalangi tengkukku dari terpaan angin dingin.
Dia tertawa kecil. Tawa tanpa perasaan bahagia. Angin berhembus. Aku menggigil. Aku menaikkan kerah jaket, menghalangi tengkukku dari terpaan angin dingin.
Dia pergi. Aku masih ingat ekspresi wajahnya saat dia melangkah meninggalkanku. Padahal aku sudah memintanya untuk tetap tinggal. Padahal aku telah berkata supaya dia jangan menghilang. Tapi dia tetap berlalu.
Suaranya bergetar. Mungkin karena dinginnya udara. Atau dinginnya hati?
Suaranya bergetar. Mungkin karena dinginnya udara. Atau dinginnya hati?
“Apakah dia pergi karena…” aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku. Matanya yang menatap bulan sekarang berkaca-kaca. Hari semakin malam. Malam semakin dingin. Dan kami semakin membeku. Dalam diam.
Angin lagi-lagi bertiup. Dia memejamkan mata. Setetes air mata jatuh. Aku memalingkan wajah, tidak sanggup melihat pemandangan ini. Entah mengapa hatiku sakit. Aku mendengarnya menghela nafas. Tuhan… Aku makin merasa sakit… Sakit sekali…
Angin lagi-lagi bertiup. Dia memejamkan mata. Setetes air mata jatuh. Aku memalingkan wajah, tidak sanggup melihat pemandangan ini. Entah mengapa hatiku sakit. Aku mendengarnya menghela nafas. Tuhan… Aku makin merasa sakit… Sakit sekali…
“Jangan ikut sedih karena aku. Semuanya terjadi gara-gara aku,” dia berkata lirih.
“Tapi…” aku hendak menyampaikan sesuatu tapi dia mengangkat tangannya menyuruhku diam.
“Karena aku… Akulah yang menyebabkan dia terluka. Dan juga kamu…” dia menambahkan pelan sekali, nyaris berbisik.
“Tapi…” aku hendak menyampaikan sesuatu tapi dia mengangkat tangannya menyuruhku diam.
“Karena aku… Akulah yang menyebabkan dia terluka. Dan juga kamu…” dia menambahkan pelan sekali, nyaris berbisik.
“Aku tidak terluka. Sama sekali tidak,” bantahku.
Dia tertawa lagi. “Jangan bohong. Aku mengenalmu. Matamu itu… Matamu tidak pernah bohong.”
Dia tertawa lagi. “Jangan bohong. Aku mengenalmu. Matamu itu… Matamu tidak pernah bohong.”
“Jadi…” aku berhenti sebentar, menunggu adanya interupsi, tapi dia tidak melakukan apa-apa, maka aku melanjutkan, “jadi kemana dia pergi?” ulangku.
“Sudah aku bilang dia mencari jalan pulang. Jalan kembali ke kehidupannya semula. Hidupnya tanpa aku.”
“Kenapa dia mencari jalan pulang?” tanyaku heran. “Bukankah dia bahagia?”
“Bahagia?”
“Sepertinya begitu…”
“Dia tidak pernah bahagia. Dia menderita. Aku yang membuatnya menderita. Dia pergi karena dia tidak tahu mau kemana bila dia tetap tinggal disini. Dia tersiksa dengan semua ketidakpastian ini. Sehingga dia memutuskan untuk lenyap dari hidupku. Selamanya…”
“Kelihatannya dia sangat bahagia. Tertawa. Tersenyum…”
“Kamu belum mengerti juga ya? Perhatikan matanya saat dia tertawa. Apakah mata itu ikut tertawa? Lihat dia ketika dia tersenyum. Apakah senyumnya sampai ke matanya?”
Aku merenung, mengingat-ingat. “Aku… Aku tidak tahu… Maksudku aku tidak pernah mempedulikan hal itu sebelumnya.”
Purnama semakin condong ke barat. Dedaunan yang tidak bergoyang menandakan bahwa angin sedang tidak bertiup.
“Tak banyak yang peduli. Namun aku peduli. Aku sadar dia berjuang sekuat tenaga untuk tidak menangis. Dia kuat. Harusnya aku tahu bahwa dia tidak mungkin bertahan selamanya. Dia toh juga punya impian. Impian dengan aku di dalamnya.”
Aku mencerna kata-katanya. Aku juga tidak pernah tahu kalau gadis yang diceritakannya selemah itu.
Aku mencerna kata-katanya. Aku juga tidak pernah tahu kalau gadis yang diceritakannya selemah itu.
“Aku tidak pernah menjanjikan impian itu. Dia membangunnya sendiri. Karena dia mengira aku mencintainya,” katanya lagi.
“Mengira? Berarti kamu tidak mencintainya?”
“Pertanyaan itu pula yang menggangguku. Dia juga menanyakan hal itu sebelum dia beranjak pergi. Dia bertanya dengan air mata menggenang, dan tersenyum sewaktu aku tidak menjawab apa-apa.”
“Dan setelah itu dia pergi?” tanyaku.
“Ya. Setelah itu dia pergi. Masih tetap tersenyum. Senyum paling tulus dan paling jujur yang pernah dia perlihatkan kepadaku. Mengapa dia begitu tenang? Padahal aku tahu betul betapa perihnya dia,” ada kebingungan dalam suaranya.
“Mungkin dia lega akhirnya dia menemukan jawaban dari pertanyaannya selama ini. Aku juga akan begitu. Tersenyum ketika aku menemukan pencerahan dari sebuah ketidakpastian.”
Untuk pertama kalinya dia menatapku. “Begitukah?” tanyanya.
Aku mengangguk.
Untuk pertama kalinya dia menatapku. “Begitukah?” tanyanya.
Aku mengangguk.
“Dan setelah itu apa kamu juga akan pergi?”
“Mungkin,” jawabku pelan seolah ditujukan untuk diri sendiri. “Paling tidak aku tidak perlu berharap lagi. Dan menurutku dia juga berpikiran yang sama.”
“Mungkin,” jawabku pelan seolah ditujukan untuk diri sendiri. “Paling tidak aku tidak perlu berharap lagi. Dan menurutku dia juga berpikiran yang sama.”
“Aku salah…” gumamnya.
Aku tersenyum menenangkan. Matanya kembali melayang ke bulan.
Aku tersenyum menenangkan. Matanya kembali melayang ke bulan.
“Tapi mengapa dia pergi saat aku sendiri masih mencari jawaban dari pertanyaannya? Seandainya dia menunggu sedikit lagi…”
“Dia lelah menunggu. Dia lelah menerima perlakuanmu… Dia bingung. Kadang tindakanmu seolah berkata kalau kamu suka dia. Namun kadang kamu bisa menjadi sangat kejam dengan tidak mempedulikannya,” aku memotong ucapannya.
“Aku tidak mengerti apakah yang ku rasakan ini cinta atau bukan. Aku hanya… hanya tidak sanggup berkata-kata. Aku menginginkannya. Tapi aku juga tidak mau menjanjikan apa pun.”
“Dan itu makin menyakitinya. Sadarkah kamu?” aku mulai emosi sekarang.
Dia mengangkat bahu.
Dia mengangkat bahu.
“Kamu membuatnya berpikir untuk tetap tinggal atau melanjutkan langkah. Kamu membuatnya ragu. Dia dihadapkan pada dua pilihan yang dua-duanya gelap!”
Nada suaraku yang meninggi membuatnya terlonjak kaget. Dia menoleh ke arahku. Aku dapat merasakan dadaku bergemuruh. Tidak seharusnya aku marah. Tidak di saat-saat seperti sekarang.
Nada suaraku yang meninggi membuatnya terlonjak kaget. Dia menoleh ke arahku. Aku dapat merasakan dadaku bergemuruh. Tidak seharusnya aku marah. Tidak di saat-saat seperti sekarang.
“Aku… Maaf…” aku berkata gugup.
Dia menggeleng. “Kamu pantas marah. Aku patut diperlakukan seperti itu.”
Hening kembali meraja. Aku disibukkan oleh pikiranku sendiri. Sementara dia tercenung di sampingku, lagi-lagi memandang ke atas, ke arah langit.
Hening kembali meraja. Aku disibukkan oleh pikiranku sendiri. Sementara dia tercenung di sampingku, lagi-lagi memandang ke atas, ke arah langit.
“Akankah dia kembali?” tanyanya memecah kesunyian.
“Aku tidak tahu.”
“Aku tidak tahu.”
Sunyi. Lagi. Kali ini lebih lama. Ada sendu bernyanyi dari dalam hatiku. Sendu yang membuatku ingin menangis, berharap air mata itu mampu mengubah beban yang menggelayut di jantungku menjadi asap, sehingga aku tidak perlu merasa sakit setiap kali aku mengingatnya. Mengingat orang di sampingku ini.
“Aku ingin tahu apa yang sedang dilakukannya saat ini,” katanya perlahan.
“Mungkin dia masih tidur,” jawabku.
“Mungkin juga dia masih terjaga, aku merasa dia belum tidur. Sama seperti kita.”
“Yah, mencari tahu kenapa dia bisa begitu menderita.”
“Dan jawabannya…”
“Ada padamu. Jawaban yang mungkin tidak akan pernah dia ketahui kan?” kataku padanya.
Dia tidak menjawab.
“Mungkin dia masih tidur,” jawabku.
“Mungkin juga dia masih terjaga, aku merasa dia belum tidur. Sama seperti kita.”
“Yah, mencari tahu kenapa dia bisa begitu menderita.”
“Dan jawabannya…”
“Ada padamu. Jawaban yang mungkin tidak akan pernah dia ketahui kan?” kataku padanya.
Dia tidak menjawab.
Langit di ufuk timur mulai terang. Sepertinya rembulan akan pamit pulang, dan mentari akan datang. Dia menghela napas panjang.
“Sudahlah. Dia toh telah pergi. Semuanya telah berlalu. Dan yang lalu biarlah jadi abu,” katanya seraya berdiri.
“Tunggu!” aku menahannya.
Aku ikut berdiri. “Kenapa kamu selalu memandangi langit?” tanyaku.
Dia tersenyum. “Dia pernah bilang, kita berdiri di bawah langit yang sama, kita melihat bulan yang sama, kita menghitung bintang yang sama. Maka tataplah langit jika aku merindukannya, supaya aku merasa dekat dengannya, karena di suatu tempat yang lain, dia pasti juga sedang memandangi langit, selalu, karena dia selalu merindukanku.”
Setelah berkata begitu, dia melangkah pergi. Namun sebelum langkahnya menjauh, dia berhenti dan membalikkan tubuhnya.
Setelah berkata begitu, dia melangkah pergi. Namun sebelum langkahnya menjauh, dia berhenti dan membalikkan tubuhnya.
“Aku memang tidak pernah bilang kalau aku menyayanginya, tapi aku pernah bilang kalau aku merindukannya, dan aku tidak akan pernah marah padanya.”
Dan dia pun melenggang pergi, meninggalkanku sendiri.
“Kamu tahu? Kamu juga pernah bilang kalau kamu merindukanku,” batinku.
Perih…
Perih…
Aku pinjam catatan Vye's Site
1 comment:
pertamaXXX.........
siapakah dia???/
Post a Comment