Riak-riak kecil senja di awal juli telah membuatku terpaku bersama bangau putih dan kepiting kecil bermain rasa yang tak mampu kumaknai. Aku begitu tersudut dengan kata-katanya yang sebenarnya telah dipahami beberapa minggu yang lalu.
Sejak bulan menghilang aku tak lagi bisa memaknai tiap langkah yang aku jalani. selalu saja ada yang dianggap salah, padahal tidak ada perubahan sedikit pun. Pesisir menjadi tempat bagiku untuk merenung kembali merangkai cerita usang yang masih saja tak lapuk oleh waktu. Lembut kakimu berlarian mengejar kepiting dengan tawa khasmu kau pun pandangiku. aku simpan rapat senyum itu agar tak menyublim seiring waktu. kini aku rasakan senyum itu tak lagi memiliki makna. Kau selalu salahkan semua yang aku jalani, padahal kamu tahu itulah aku, aku yang dulu kau kenal.
"Nang, kenapa melamun" Mak duduk disisiku tiba-tiba
"Bulan Mak,...."
"kenapa dengan Bulan Nang."
"Bulan tlah benar-benar pergi, Mak"
"Kenapa dengan Kalian..?"
"Tidak apa-apa Mak, bulan tak lagi percaya pada Nang, Mak. Mak ingat kan, bahwa dalam rasa itu ada kepercayaan, maka bila kepercayaan itu sudah tidak ada berarti rasa itu pun pasti hilang kan , Mak?"
"sudahlah Nang...Mak tahu perasaanmu ...Memang berat bila kepercayaan sudah tidak ada lagi Nang.., apalagi untuk mengembalikan kepercayaan itu"
"Tapi Mak, bulan sudah tahu semua dan Nang sudah jelaskan, bulan pun sudah mengerti dan bisa menerima tapi tidak tahu kenapa bulan tiba-tiba begitu saja mengatakan Fucking, Nang nggak menyangka Mak"
"Ya sudah redakan rasamu biar adem Nang, jangan biarkan kamu larut seperti ini..sudah ya Mak masuk dulu, bila mendengar azan maghrib segera pulang ya.."
"Iya Mak..."
Kembali lembayung merah menyilaukan mata untuk terakhir sebelum terusir malam. riak-riak pun melemah seiring naiknya air ke pesisir. senja ini aku hanya bisa merangkai cerita-cerita bagai puzzle alam di hamparan pasir lembut ini. Puzzle itu tak lagi bisa menyatu ada saja yang kurang sehingga tak terbentuk lagi gambar yang indah seperti dulu.
No comments:
Post a Comment