Aku tak tahu lagi kejamkah, sadiskah atau memang kondisi yang memaksa aku harus seperti ini. Angin gunung yang aku harapkan bisa memberikan kesejukan telah pergi entah kemana. Mungkin sindoro sumbing telah rengkuhmu dalam dekapnya. Pesisir tiada lagi mampu berharap, salah dan memang sangat salah apabila aku berharap toh memang bukan hakku lagi untuk berharap banyak padanya. Sindoro Sumbing lebih berhak memilikimu.
Lekuk-lekuk ular jalanan telah aku lalui , kenangan bersama kabut yang dekapku, sedap khas pegunungan masih tersisa di helai rambut hidungku. Gerimis tipis saat kabut memayungi menjadi bagian tersendiri yang selalu terngiang bila hujan turun di pesisir. Keping-keping telah retak yang tak mungkin lagi menyatu.
"Bila kamu disisiku hati rasa syahdu..., satu hari tak bertemu hati rasa rindu....."
Kak Rhoma bersenandung di radio transistor bututku, radio itulah yang bisa mendamaikan hati ini. Aku ingat terakhir bersua denganmu ketika kuku ini kupotong pendek dan kini telah memanjang. Kuku di jariku telah tumbuh seiring kerinduan pesisir pada angin gunung. Tidak akan kupotong kuku ini kecuali memang Tuhan yang menghendaki patah dengan cara apapun.
Aku sekarang hanya berharap salam darimu tuk damaikan perasaanku. aku tak berharap banyak apalagi mendekapmu, seperti saat kau dekap layar biduk berhembus ke samudra, bersama terombang-ambing di tengah debur kehidupan hingga fajar menjelang saat angin pesisir mengusirmu kembali kepegunungan. Memang bukan ikan yang kita harapkan, hanya simphoni kehidupan semoga memihak kita.
Hidup memang harus berani memutuskan. Kau telah putuskan sesuatu yang memang harus kamu lakukan. Doaku semoga angin gunung tetap segar bersama sindoro sumbing. Kini tinggal pesisir bersama biduk mendekap sepi.
No comments:
Post a Comment