Duka tak mengerti, mengapa Jiwa cenderung mengabaikannya. Jiwa ternyata lebih condong pada Suka. Di mana dan ke mana pun mereka berada, Jiwa selalu saja memperlihat dan memperkenalkan Suka. Jiwa sebegitu membanggakan Suka. Duka merasa Jiwa selalu menutupi keberadaannya. Tak memperlihatkan, membicarakan, bahkan berupaya melupakannya. Padahal, di saat Jiwa ditinggal Suka berlama-lama, Duka begitu setia menemani. Menanti kapan Suka akan kembali, atau turut mencari ke mana Suka pergi. Meski penantian dan pencarian memakan waktu, menguras apa saja, atau hanya sia-sia.
Duka merasa Jiwa terlalu memanjakan Suka. Merasa Suka adalah segalanya. Berkali Duka menyaksikan Jiwa bagai lepas kendali saat bermanja dengan Suka. Sebenarnya Duka tak cemburu, Duka tak ingin Jiwa menjadi lalai. Namun, saban kali Duka mengingatkan, Jiwa justru menyalahkannya. Duka malah dianggap sebagai penyebab perginya Suka.
Duka tak pernah membantah Jiwa. Duka menampung segalanya. Segala amarah dan keluh-kesah. Duka berusaha meyakinkan Jiwa, bahwa Suka pasti kembali, andai bersabar dan terus berupaya. Tapi entah mengapa, Jiwa kembali melupa di saat Suka telah kembali. Jiwa kembali bermanja-manja dengan Suka. Berulang ini terjadi, namun Duka tetap setia menemani.
Apakah Jiwa telah melupakan perjanjian yang mereka ikrarkan di hadapan Maha? Atau Jiwa tak menyadari dan kembali mengulangi sebentuk kesalahan pernah terjadi? Di mana pada awal Jiwa ada dan berada, Duka pun dihadirkan. Maha menyatukan mereka. Sementara keberadaan Suka sepenuhnya ada pada Maha. Namun Jiwa menginginkan Suka. Jiwa merasa hampa, merasa tak sempurna tanpa memiliki Suka.
“Ya Maha, berikan daku Suka, agar sebagai Jiwa daku mempunyai rasa seutuhnya.” Berkali Jiwa mengulangi permintaan kepada Maha. Maha pun berkenan, dengan persyaratan Jiwa harus berupaya dan selalu menjaga.
“Sepenuhnya Suka milikku. Aku hanya memberi seperkian saja, karena kau tak akan sanggup menjaga.”
Lalu satu waktu, Jiwa sebegitu takjub melihat sebentuk mirip dengannya. Sebentuk yang seketika mengusik perasaan. Sebentuk yang tampak sedemikian mempesona.
“Apakah kamu Suka?”
Sebentuk itu mengangguk. Seketika Jiwa pun melupa keberadaan Duka.
Satu waktu Suka merayu Jiwa. Jiwa tergoda. Maha pun murka, karena Jiwa telah melanggar pantangan.
“Aku berikan Suka agar kau selalu mengingatku. Mengapa engkau melupa?” “Ampuni daku Maha.”
“Aku mengampunimu, namun untuk itu engkau harus menjalani satu rentang waktu pada suatu tempat. Duka akan selalu menemanimu. Pada rentang waktu dan tempat tersebut Suka akan berada. Suka kuhadirkan dalam berbagai unsur dan bentuk. Suka adalah rahasiaku. Aku yang menentu dan mengatur kapan kuperlihat dan kuberikan. Aku yang berkuasa mengambilnya kembali. Ingatlah! Suka adalah bagianku, maka jangan sesekali melupakanku.
Jiwa pun mengembara pada suatu tempat menjalani satu rentang waktu. Duka selalu mengisi hari-harinya. Jiwa terpana menyaksikan alam barunya. “Apakah ini seluruhnya adalah Suka? Lalu, di mana Suka yang pernah kurasa? Suka yang menemaniku bersenda-canda?” Benak Jiwa dipenuhi Tanya.
Disadur seperlunya dari "Home Poetry"
No comments:
Post a Comment