Wewe mandi tiap Malam Selasa Kliwon
Seperti halnya bangsa manusia, wewe pun mengenal mandi. Bedanya, mereka tidak mandi setiap hari, tetapi selapan (35 hari) sekali. Pada malam Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, wewe mandi di sungai. Kedatangannya membuat bulu kuduk berdiri…
Tempat yang paling digemari oleh wewe adalah sungai yang angker dan wingit. Di sungai seperti inilah mereka membasuh tubuhnya. Jangan bayangkan tubuh wewe bagai tubuh manusia. Memang, mereka memiliki anggota badan seperti halnya manusia, tetapi ukuran mereka terlampau besar dan tidak proporsional.
Kedatangannya ke sungai ditandai dengan firasat yang hanya dapat ditangkap oleh mereka yang memiliki kekuatan ghaib. Kabarnya, kedatangan makhluk halus ini ditandai dengan angin yang berhembus kencang. Meski dasyat, angin itu tak mampu menggerakkan dedaunan yang ada di sekitar sungai.
Kontras memang. Angin yang begitu dasyat tak menggoyahkan daun-daunan. Setelah itu, dengan pakaian lengkap mereka akan menuju kolam yang sangat jernih. Mata awam melihat tempat itu sebagai sungai yang kotor. Tapi, secara magis, tempat itu adalah kolam yang sangat jernih.
Perlahan-lahan mereka akan menanggalkan bajunya. Baju yang dikenakan oleh wewe menyerupai jubah, panjang sampai ke tanah. Jangan bayangkan bentuk tubuhnya kecil seperti manusia. Bentuk tubuh wewe sangat besar dan tinggi. Meski demikian mereka mampu menggelantung pada dahan pohon yang amat kecil.
Setelah pakaiannya dilepas, bentuk tubuh wewe terlihat jelas. Ya…ampun, bentuknya sangat mengerikan. Hidungnya panjang dan bengkok mirip seorang nenek sihir dalam perfilman. Rambutnya panjang terurai. Yang lebih menyeramkan adalah bentuk buah dada yang terjuntai sampai ke betisnya.
Konon, para wewe memilih mandi pada malam Selasa Kliwon karena mereka beranggapan malam itu adalah malam yang suci. Pantas, pada malam Anggara kasih para wewe bersuka ria membersihkan badannya.
Dibunuh saat hamil, jadilah kuntilanak
Wanita berusia 16 tahun yang tengah hamil empat bulan ditemukan tewas di belakang Puskesmas sumbermakmur. Seminggu kemudian, warga digegerkan dengan kemunculan kuntilanak. Diduga, arwah sang gadis menjelma menjadi kuntilanak.
Gadis yang meninggal dengan bekas cekikan pada lehernya itu ditemukan pada bulan April 2002. Kabarnya, dia dibunuh oleh pacarnya sendiri yang tidak mau bertanggungjawab terhadap kehamilannya. Kematian tak wajar itu ternyata berbuntut panjang.
Satu minggu setelah kematian gadis tersebut, warga mulai merasakan teror yang menakutkan. Beberapa rumah warga, pada tengah malam, diketuk oleh makhluk yang jelas juntrungnya. Tatkala pintu itu dibuka, tidak ditemukan siapapun juga.
Sejak munculnya ketokan gaib itu, warga mulai menduga jika arwah sang gadis menjelma menjadi kuntilanak. Apalagi, sejumlah warga percaya jika orang yang sedang hamil dan mati tak wajar maka arwahnya akan gentayangan dan menjadi kuntilanak.
Peristiwa paling menakutkan menimpa Warso, tukang ojek yang mangkal di daerah itu. Tepat malam Jumat, di tengah jalan dia dihentikan oleh seorang gadis yang minta dia antar ke rumahnya. Warso pun menuruti kemauan sang gadis.
Anehnya, begitu sampai di rumah yang dituju, gadis itu lenyap. Warso pun memberanikan diri mengetuk rumah sebelahnya dan menanyak tentang gadis tersebut. Namun, jawaban dari tetangga itu justru mengejutkan. Sang gadis sudah mati sekitar tiga minggu yang lalu.
Warso lemas. Dia tak menyangka telah mendapatkan penumpang arwah gentayangan. Bila ingat peristiwa itu, Warso menjadi enggan menarik ojek di tengah malam. Kini, warga Sumbermakmur sedang berupaya mengusir kuntilanak dari wilayahnya.
Didatangi Hantu Pocong
Awal kisah mengerikan ini terjadi saat aku dan beberapa temanku berkunjung ke desa Bringin, Salatiga untuk melaksanakan kuliah kerja nyata atau KKN. Kedatangan kami saat itu disambut ramah oleh penduduk setempat, bahkan beberapa penduduk sempat memberikan kami makanan dan minuman.
Setelah diterima oleh unsur perangkat desa, kami kemudian diboyong ke rumah Pak Imron Lurah setempat , yang selanjutnya menjadi tempat pondokan kami selama KKN di Salatiga. Segala sesuatu yang ada di rumah tersebut masih tampak asli, termasuk tata ruang dan aneka furnitur yang digunakan.
Hanya saja, di rak atas sebua lemari, terdapat beberapa botol kaca yang berisikan paku, pasir, potongan besi, potongan tali tambang, dan lidi. Ketika kami menanyakan tentang benda tersebut, rupanya benda-benda itu berasal dari tubuh si Pak Imron (nama samaran) ketika dia berkali-kali mendapat teror teluh dari rivalnya saat pemilihan kepala desa. Kendati cerita Pak Kades itu terdengar mengerikan, namun semua itu hilang ketika kami melihat-lihat keindahan alam desa tersebut.
Saat memasuki hari ke tujuh, dari dusun paling utara aku mendengar kabar ada musibah tanah longsor. Beberapa rumah yang berdiri diatas tanah merah di dusun tersebut ambruk, dan seorang anak berumur 5 tahun dan pria dewasa berumur 32 tahunan dilaporkan hilang. Merasa tersentuh dengan peristiwa nahas tersebut, kami bertujuh (tidak termasuk rekan wanita) ikut menggali timbunan tanah merah yang hampir menutupi rumah tersebut. Ketika sedang menggali, kami menemukan bocah cilik yang dilaporkan telah hilang, sayang ketika ditemukan keadannya sudah sangat mengenaskan karena tubuhnya dipenuhi luka yang cukup parah.
Ketika senja datang, desa yang tadinya ramai dengan penduduk berangsur menjadi hening. Kebetulan saat itu Pak Imron melarang warganya untuk keluar rumah, hal ini dilakukan untuk menghindari longsor susulan. Ketika suasana sunyi ini, aku dan beberapa teman mencoba mengusir rasa sepi dengan bermain gitar di beranda samping rumah yang tepat menghadap hamparan sawah luas, dan diujung sana terlihat bukit yang siang tadi mengalami longsor.
Setalah berdendang satu-dua buah lagu Iwan Fals, tiba-tiba secara bersamaan kami melihat sekelebat ada bayangan yang melintas dengan gerakan melompat-lompat dari ujung tebing itu ke arah kami. Namun ketika kami berusaha menegaskan, entah kenapa bayangan yang melompat-melompat itu hilang seketika. Merasa ada yang tidak beres, akhirnya kami memutuskan untuk masuk ke dalam dan berjanji tidak ingin membahas masalah ini. Maksudnya agar rekan-rekan wanita tidak merasa panik.
Ketika masuk ke dalam, rupanya rekan-rekan kami yang lain sudah masuk ke kamar duluan. Karena anak laki-laki kebagian jatah tidur di ruang tamu, aku secepat mungkin mencari tempat yang nyaman, yakni sofa.
Sofa tersebut memang lebar dan panjang, bahkan jarak antara ujung kaki saya dengan sandaran tangan sofa masih ada ruang sekitar 40 cm. Karena merasa letih, malam itu aku langsung tertidur. Tapi tak berapa lama aku terbangun karena udara malam itu dingin sekali. Aku berusaha merubah posisi tidur dengan miring ke arah jendala, sekaligus menjaga-jaga kalau jendela terbuka karena terhembus angin.
Begitu beranjak dari sofa hendak berbalik, alangkah kagetnya aku saat itu. Aku melihat dengan jelas sosok pocong yang berdiri tegak dengan posisi membelakangiku. Karena takut aku berteriak sekuat-kuatnya sambil membangunkan teman-temanku yang saat itu tidur di lantai. Ketika bangun mereka semua kaget dan ketakutan ketika menyaksikan pocong itu.
Tak berapa lama, pocong tersebut mulai perlahan menolehkan wajahnya ke arah kami. Ternyata wajah sangat menyeramkan penuh dengan luka dan darah yang bercampur tanah merah. Begitu pula dengan kain putih yang membungkusnya.... penuh dengan darah dan tanah merah.
Mendengar kami gaduh, Pak Kades dan teman-teman wanita keluar dari kamarnya. Ketika melihat kalau di ruang tamu itu terdapat pocong, teman-teman wanita langung berteriak histeris dan pingsan. Dalam keadaan mencekam itu, perlahan-lahan pocong itu bergerak melompat menuju pintu keluar dan hilang seperti menembus pintu yang saat itu sedang tertutup rapat.
Malam itu kami tidak ada yang bisa tidur, rasa takut itu mulai hilang ketika adzan shubuh berkumandang. Kami bergegas pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, saat di masjid itu kami baru mendengar kalau salah seorang warga di dusun utara ada yang terkena musibah longsor dan ditemukan tewas dengan keadaan mengenaskan.
Ketika hari mulai terang, sebagai rasa simpati kami berangkat ke desa tersebut untuk melayat warga yang sedang terkena musibah itu. Saat sampai di rumah duka, lagi-lagi kami dibuat kaget ketika melihat wajah almarhum yang sedang terbujur kaku dan diselimut kain putih itu. Pasalnya wajah pria itu persis sekali dengan pocong yang kami lihat semalam.......
No comments:
Post a Comment