Menelusup riuh dalam pori-pori kulitku
kerinduan lambat laun mempurba
seperti gurindam XII jarang termaknai saat ini
berkali dentingan puitis lirih rapal namamu
berkali tatapan ini kosong pandang bayangmu
tapi selalu belati yang muncul
sayat rindu hingga luka kembali menganga
menelusup riuh dalam pori-pori kulitku
kerinduan yang lambat laun mempurba
bulan masih redup seperti malam-malam lalu, pucat
tak jua purnama menjemput
ini tentang rindu luruh tenggelam dalam sepi
entah apa arti makna tatapanmu,
entah apa arti genggaman jemarimu
entah apa arti senyum indahmu
bila belati selalu saja sayat rindu hingga luka kembali
Literasikan hatimu dengan membaca dan menulis karya. Hiasilah hidup dengan bersastra.
Thursday, June 28, 2012
Tuesday, June 26, 2012
Pada Malam Bulan Separuh
malam masih sisakan kekuatan matahari senja yang lalu
malam simpan rapat tatapan korneamu, hingga serupa cerpin dalam korneaku
malam angkuh dalam pekat, remah-remah bulan separuh tersenyum
ingatan tentang senja kembali menggema tiba-tiba terputar kembali
walau rintik satu-satu pelangikan langitku
jejakmu kian jelas tapaki alur setapak dalam irama sajakku
dalam buai sinar bulan separuh kau pun luruh
isyarat pada kata menuai makna puitis wajahmu
tersenyum dalam simpul indah di pipi ranumu
pada bulan separuh sajakku memanggilmu
pada bulan separuh hadirlah dalam rinduku
pada gigil daun pada ranting kutitipkan salam
malam simpan rapat tatapan korneamu, hingga serupa cerpin dalam korneaku
malam angkuh dalam pekat, remah-remah bulan separuh tersenyum
ingatan tentang senja kembali menggema tiba-tiba terputar kembali
walau rintik satu-satu pelangikan langitku
jejakmu kian jelas tapaki alur setapak dalam irama sajakku
dalam buai sinar bulan separuh kau pun luruh
isyarat pada kata menuai makna puitis wajahmu
tersenyum dalam simpul indah di pipi ranumu
pada bulan separuh sajakku memanggilmu
pada bulan separuh hadirlah dalam rinduku
pada gigil daun pada ranting kutitipkan salam
Saturday, June 23, 2012
Lara dalam Labirin Hati
Lara tengah berkuasa di labirin hati
kekaburan makna tersisa dari sebuah elegi kejujuran semu
tiada terucap, tiada terbayang wajah dari sekeping cermin
berlalu genggam senyum dibibirmu
dinding-dinding sajakku terukir sayatan kata
tajam meluluhkan keindahan lalu
lembar-lembar sajak t'lah banyak kupas meretas dalam bilik kita
sajak bukanlah kertas lemah kan robek tertetes airmata
sajak ini kan abadi terkubur tanpa batu nisan
sekerat duka membiru memar luka meradang
tenggelam dalam duka mengeram menghentikan tarian puitis bibirmu
melenggang tanpa menoleh kau titipkan dukamu abadi
kekaburan makna tersisa dari sebuah elegi kejujuran semu
tiada terucap, tiada terbayang wajah dari sekeping cermin
berlalu genggam senyum dibibirmu
dinding-dinding sajakku terukir sayatan kata
tajam meluluhkan keindahan lalu
lembar-lembar sajak t'lah banyak kupas meretas dalam bilik kita
sajak bukanlah kertas lemah kan robek tertetes airmata
sajak ini kan abadi terkubur tanpa batu nisan
sekerat duka membiru memar luka meradang
tenggelam dalam duka mengeram menghentikan tarian puitis bibirmu
melenggang tanpa menoleh kau titipkan dukamu abadi
Jerit Luka pada Kata
Dalam bilik hatiku tersimpan sajak dukamu
duka di sepanjang musim penantianmu
kusimpan kata-kata dalam sajakku
jerit-jerit kata terluka kian mengeras
sayatkan perih tiap maknai lagi kenangan lalu
berharap kau temukan makna sajak dukaku
biarlah kusimpan dalam
kedalaman rasa, dan
pada gugat gaguku batu membisu
duka di sepanjang musim penantianmu
kusimpan kata-kata dalam sajakku
jerit-jerit kata terluka kian mengeras
sayatkan perih tiap maknai lagi kenangan lalu
berharap kau temukan makna sajak dukaku
biarlah kusimpan dalam
kedalaman rasa, dan
pada gugat gaguku batu membisu
Wednesday, June 20, 2012
Gerimis Luka
Gerimis satu-satu merentas luka
perih dan menganga
gerimis tak seindah senja yang lalu
kurangkai gerimis tuk sketsakan wajahmu
tapi, serangkai kata t'lah buyarkan lukisan puitisku
kupeluk gerimis agar kau menjelma
tapi, berhamburan luka semakin menganga
tak lagi kulihat bayangmu di sela-sela awan berarak
apalagi tuk temukan dekik pipimu
sekerat rindu terkulai lemah
asa kerinduan berbuah manis t'lah pahit tersaji
menggelepar dalam karat yang berkerak
nanar padangku terhimpit gerimis luka
terhempas berselimut bara
sekerat kerinduan terbang tinggal luka terperi
terhujam gerimis kata dalam sajak duka
perih dan menganga
gerimis tak seindah senja yang lalu
kurangkai gerimis tuk sketsakan wajahmu
tapi, serangkai kata t'lah buyarkan lukisan puitisku
kupeluk gerimis agar kau menjelma
tapi, berhamburan luka semakin menganga
tak lagi kulihat bayangmu di sela-sela awan berarak
apalagi tuk temukan dekik pipimu
sekerat rindu terkulai lemah
asa kerinduan berbuah manis t'lah pahit tersaji
menggelepar dalam karat yang berkerak
nanar padangku terhimpit gerimis luka
terhempas berselimut bara
sekerat kerinduan terbang tinggal luka terperi
terhujam gerimis kata dalam sajak duka
Monday, June 18, 2012
Sepucuk Kata di Penghujung Eja
Kesendirian berselimut pekat
lelah merayap perlahan, sepi ....
hanya pada sajak aku bertutur
berimajinasi, bercengkerama pada makna hati
luka, duka, sepi mengoyak lelah
sepucuk kata di penghujung eja.
Seperti memandang bulan berkabut tak bersuara
angkuh dalam kepucatan luka
perlahan tangisan puitis membayang,
hanya pada bait kembali aku bertutur
lelah merayap perlahan, sepi ....
hanya pada sajak aku bertutur
berimajinasi, bercengkerama pada makna hati
luka, duka, sepi mengoyak lelah
sepucuk kata di penghujung eja.
Seperti memandang bulan berkabut tak bersuara
angkuh dalam kepucatan luka
perlahan tangisan puitis membayang,
hanya pada bait kembali aku bertutur
Sunday, June 17, 2012
Masihkah Kita di Sana
Terdiam (aku) sendiri
kulayangkan angan membuka apa yang sudah terlewati
(kita) mungkinkah masih di sana
Senja ini tergelar begitu gamblang (kita) t'lah toreh sajak indah
hanya (kita) yang dapat maknai dan terjemahkan sajak abstrak ini
kini berhelai-helai bab t'lah (kita) tulis
perih kadang tereguk dari secangkir pertengakaran
senyum kadang singkirkan perih dalam palung kepasrahan
senja ini aku kembali menyapamu
walau usang kan kembali redam bayang itu
Senyum itu Tetap Ada dalam Sajakku
bulan tiba-tiba bertandang dalam gigil kemarau
gelisah berenang di linang kaca korneamu
sepi pun merasuk dalam diam sepi pandangmu
kembali kelu kaku tiada kata membuka memori lalu
Tak pernah bisa kuhitung gelombang dahsyat matamu
luluh lantak tulang tiap maknai sorotan puitismu
hingga rebah damai di bahumu
rontok satu satu daun meranggas di awal kemarau
teriakkan reranting merentak dan detak itu berpacu
aku masih saja temukan jejak berserak
kuingin rangkai kembali daun-daun itu
seperti berkaca pada korneamu
aku masih utuh dan bersemayam di sana
bulan bertandang dalam gigil kemarau
gelisah berenang di linang kaca korneamu
aku rebah dalam imajiku merangkai bayang
pada resah, pada sunyi hingga tersketsa
senyum itu tetap ada dalam sajakku
gelisah berenang di linang kaca korneamu
sepi pun merasuk dalam diam sepi pandangmu
kembali kelu kaku tiada kata membuka memori lalu
Tak pernah bisa kuhitung gelombang dahsyat matamu
luluh lantak tulang tiap maknai sorotan puitismu
hingga rebah damai di bahumu
rontok satu satu daun meranggas di awal kemarau
teriakkan reranting merentak dan detak itu berpacu
aku masih saja temukan jejak berserak
kuingin rangkai kembali daun-daun itu
seperti berkaca pada korneamu
aku masih utuh dan bersemayam di sana
bulan bertandang dalam gigil kemarau
gelisah berenang di linang kaca korneamu
aku rebah dalam imajiku merangkai bayang
pada resah, pada sunyi hingga tersketsa
senyum itu tetap ada dalam sajakku
Friday, June 15, 2012
Kamulah Roh dalam sajak-sajakku
Aku masih tempatkan kamu
selaksa embun di tepian hatiku
hangat menetes ditiap detak jantungku
Aku masih tempatkan kamu
yang selalu hadirkan mekar mewangi dalam
kemarau kerinduan sajakku
aku masih saja menunggu semilir desahmu
hingga lelapkan jiwa dalam hangat kata-kata
lenakan keindahan serasa rebah di sayap kupu-kupu
Aku masih tempatkan kamu dalam tiap larik
kamulah roh dalam sajak-sajakku
masih bersemayam memakna hingga luruh
kubisikkan lirih kutitipkan pada angan
Masihkah kamu maknai sajak-sajakku yang pernah menyibak jiwamu..,
yang telah purnamakan malam walau bulan separoh menggantung
Aku ceritakan dalam tiap sajakku
bahwa hangat jemarimu masih saja hiasi ruang memoriku
Aku katakan dalam tiap sajakku
bahwa dekik pipimu masih bermain dalam angan kerinduanku..
selaksa embun di tepian hatiku
hangat menetes ditiap detak jantungku
Aku masih tempatkan kamu
yang selalu hadirkan mekar mewangi dalam
kemarau kerinduan sajakku
aku masih saja menunggu semilir desahmu
hingga lelapkan jiwa dalam hangat kata-kata
lenakan keindahan serasa rebah di sayap kupu-kupu
Aku masih tempatkan kamu dalam tiap larik
kamulah roh dalam sajak-sajakku
masih bersemayam memakna hingga luruh
kubisikkan lirih kutitipkan pada angan
Masihkah kamu maknai sajak-sajakku yang pernah menyibak jiwamu..,
yang telah purnamakan malam walau bulan separoh menggantung
Aku ceritakan dalam tiap sajakku
bahwa hangat jemarimu masih saja hiasi ruang memoriku
Aku katakan dalam tiap sajakku
bahwa dekik pipimu masih bermain dalam angan kerinduanku..
Thursday, June 14, 2012
Rinduku dipersimpangan Malam
Menatap jalan lengang dari sudut jendela
dingin merasuk seiring senyum manis membayang
membawa lukisan indah ditiap jengkal dinding bisu
terbingkai indah dekap manis asa tuk menyapa
kudekap rindu berpeluk dalam sajakku
pada persimpangan malam di titik nol kilometer
di bawah langit kota Bandung kumerindumu
dingin merasuk seiring senyum manis membayang
membawa lukisan indah ditiap jengkal dinding bisu
terbingkai indah dekap manis asa tuk menyapa
kudekap rindu berpeluk dalam sajakku
pada persimpangan malam di titik nol kilometer
di bawah langit kota Bandung kumerindumu
Sunday, June 10, 2012
Di Titik Nol Kembali Kau Hadir
Sepanjang musim, seiring detak pada detik
Kita tak mampu hitung rinai hujan yang selalu resap
di kepala kita
entah tetes keberapa antarkan catatan pada almanak bisu
angin tiupkan desah puitis iringi nafasmu yang menggelora
di titik nol kembali Kau menyapa
seuatu terindah di pipimu
selalu saja tersketsa
di ujung padang tandus
kau menjelma bulan, walau tak purnama diujung senja
Kita tak mampu hitung rinai hujan yang selalu resap
di kepala kita
entah tetes keberapa antarkan catatan pada almanak bisu
angin tiupkan desah puitis iringi nafasmu yang menggelora
di titik nol kembali Kau menyapa
seuatu terindah di pipimu
selalu saja tersketsa
di ujung padang tandus
kau menjelma bulan, walau tak purnama diujung senja
Wednesday, June 6, 2012
Di Rel Kereta Senja Itu
senja kembali berselimut gelap menggumpal
purnama tlah berlalu, sesabit meluruh
dalam pekat nyaris mempurba
tak ada senyuman sepuitis dekik di pipimu
yang dapat kuutarakan dengan sajakku
rel kereta menghujung dan meruncing
cericit kelelawar temani sepiku
cerita tentang tawamu, marahmu, keluhmu
sejauh mata memandang berkabut tipis,
semu lambaian puitis pun kau perlihatkan
berdiri menanti sajak-sajakku
aku masih di sini di hamparan rel kereta
dalam senja bisu, sunyi bersama sajakku
cakapkan dirimu, satu makna dalam larik kata
Subscribe to:
Posts (Atom)