Kami merasa terasing disini, semua begitu kabur. Semua seperti telah terprogram oleh mesin waktu yang sewaktu-waktu, ketika kita mulai lengah, ia tak segan-segan menggilas kita. Kemacetan seperti sudah menjadi keseharian yang bila sehari saja tidak terjadi, justru malah dipertanyakan. Udara yang kami cium tak lagi bersahabat. Air yang kami gunakan untuk mencuci, memasak, dan minum tidak lagi terjamin kebersihannya. Karena polusi telah menjalari semua sisi.
Dulu kami memimpikan kesenjangan disini, memimpikan taraf hidup yang lebih baik, ekonomi yang lebih mapan. Karena ketika di desa, kami selalu di iming-imingi lewat teknologi, bahwa di kota semuanya akan selalu mungkin. Lalu kami berduyun-duyun bagai gerombolan kelelawar keluar dari goa-goa gelapnya, kami berangkat dengan bekal alakadarnya untuk merantau ke kota, dengan berjuta harapan yang menyesaki rongga dada dan terpatri di benak kepala. Kamipun rela meninggalkan tanah kelahiran kami yang telah banyak memberikan ilmu kebijakan pada kami. Yang telah mengajarkan ilmu alam yang pasti. Yang telah mengajarkan ilmu bercocok tanam di waktu yang tepat.
Di desa, kami mendapat ilmu yang berlimpah tentang menghadapi musim, kapan kami menyemai, kapan kami menanam, dan kapan kami memanen. Kamipun belajar banyak untuk memanfaatkan sungai sebagai pengairan. Memanfaatkan tebing bukit sebagai perkebunan tampak siring, dan memanfaatkan padang ilalang untuk mengembala ternak.
Lalu mengapa kehidupan kami diusik oleh kehadiran orang-orang yang mengatasnamakan pembangunan?. Mereka mengumpulkan kami di balai desa, menjelaskan program terpadu yang mereka sebut sebagai pemerataan pembangunan, dengan dalih bisa meningkatkan taraf hidup kami jika kami mau mencari nafkah di kota. Mereka memaksa kami untuk menjual tanah leluhur kami yang diwariskan secara turun temurun. Dan jika kami tidak mau, mereka tak segan menyebut kami sebagai rakyat yang anti pembangunan. Lebih jauh lagi mereka menyebut kami sebagai rakyat yang anti pemerintahan.
Nyatanya semua yang kami terima hanyalah omong kosong belaka. Ketika kami menjejakkan kaki disini, di kota, hanya kebengisan yang kami lihat. Berjuta pasang mata yang mejemput kedatangan kami tampak sekali tanda-tanda yang tidak bersahabat bersemayam di dalamnya. Lantas kami dihadapkan pada kenyataan. Tak ada sejengkal tanahpun untuk kami sandarkan tubuh letih ini. Karena harga tanah disini jauh melambung tinggi dari harga tanah di desa yang kami jual secara terpaksa. Lalu kami terpaksa menjadi penghuni pinggiran kota yang hidup saling bertumpuk dengan para tetangga yang nasibnya tak jauh beda dengan kami. Kami tinggal hanya dengan beralaskan tanah kering dan berdindingkan dus-dus bekas makanan. Itu mungkin masih lebih mujur jika dibandingkan saudara-saudara kami yang terpaksa harus menghuni kolong-kolong jembatan, yang tentu saja akan susah jika musim hujan datang.
Lalu keadaan semakin sulit ketika ilmu alam yang kami dapat dari pengalaman di desa, tidak bisa kami terapkan disini. Para orang tua kami tak bisa lagi menyembunyikan penyakit tuanya karena mereka tidak bisa lagi bekerja. Padahal ketika di desa, tak ada orang tua yang berhenti bekerja sebelum ajal menjemput, meskipun umur mereka sudah lebih dari enam puluh tahun. Karena dengan bekerja, mereka merasa lebih segar dan sehat.
Pelarian terakhir mereka -para orang tua kami- adalah pinggir jalan yang membuat mereka mengais rejeki dari bising mesin kendaraan dan kepulan asap knalpot. Sekedar menengadahkan tangan, atau menyusun tutup botol. Lalu mendendangkan musik penderitaan, dengan harap belas kasihan dari para penderma.
Tak ada lagi yang bisa kami harapkan disini. Kami rasa tempat kami bukan disini. Peradaban kami adalah alam yang banyak mengajari kebijakan. Pijakan kami adalah tanah tempat menyemai benih-benih yang memberi kami harapan. Semangat kami adalah hujan yang menurunkan rejeki dan air kehidupan. Dan, nasib kami adalah angin yang membawa semangat perubahan lewat kesejukan hembusannya.
Kami harus pulang. Kami sadar bahwa kehidupan kami yang sebenarnya adalah di tempat ketika dimana kami dilahirkan dan dibesarkan.
Kami harus pulang. Kembali menata kehidupan yang telah dirampas dari kami. Semoga masih ada sejengkal harapan untuk kami sandarkan masa depan.
Namun inilah kenyataan yang kembali harus kami terima. Disini, kembali kami harus menelan mentah-mentah harapan kami.
Desa kami telah lenyap. Digusur oleh laju pertumbuhan pembangunan yang nyata-nyata tidak memihak kami, atas nama rakyat jelata.
Disini, di desa yang dulu kami tinggali, kami tidak lagi menemukan kesegaran embun pagi yang dulu selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari awal hari yang kami jalani. Kami juga tidak merasakan kesegaran udara yang dulu begitu merasuk memberi semangat untuk menyongsong hari yang lebih indah. Tak ada lagi nyanyian alam yang didendangkan aneka burung yang ditingkahi tawa riang bocah-bocah berseragam sekolah dengan tas ransel di pundaknya. Bahkan tak ada lagi beberapa potong singkong goreng dan segelas kopi hitam di atas meja untuk sebuah jamuan sarapan pagi yang begitu nikmat, tanpa harus khawatir dengan kandungan bahan pewarna, kolesterol, bakteri, lapisan lilin, ataupun bahan kimia lainnya. Semua telah lenyap. Matahari pagi tak lagi terasa meresapi jiwa-jiwa yang rindu akan hangatnya. Hanya tatapan-tatapan mata yang lelah dan air muka yang mengendapkan keletihan, yang sering kami jumpai berlalu lalang di hadapan kami, tentu dibarengi dengan mulut bungkam tak ada tegur sapa, atau sekedar permisi.
Lalu mengapa kami seperti kehilangan pijakkan kami. Tak ada bau lembab tanah yang menyegarkan penciuman kami. Atau suara lonceng dari leher kerbau yang digiring para petani untuk menggarap sawahnya. Bocah-bocah berseragam seperti kehilangan tawanya. Kehilangan masa depannya. Kehilangan cita-cita yang dulu selalu diemban di pundaknya. Mereka kini seperti kehilangan harapan. Terseok, seakan bersekolah hanya akan menjadi beban kehidupan. Tak ada lagi cita-cita. Bahkan mimpi pun lenyap sebelum tidur tiba. Angan dan asa hanya akan menjadi sandaran kecemburuan yang selalu menghantui. Lalu esok, masa depan mereka akan mereka pertaruhkan diperempatan jalan, dengan menengadahkan tangan, dengan dendangan suara parau dan sumbang yang terkadang menyayat hatinya sendiri.
Kemudian, kemanakah ladang kami, tempat dimana kami menyemai benih-benih kehidupan. Lalu kemanakah bukit kami, tempat dimana kami membuat perkebunan tampak siring. Dan kemanakah padang ilalang dan hutan kami, tempat dimana kami mengembala hewan ternak dan berburu. Kemanakah halaman luas tempat anak-anak kami bermain. Kemanakah malam terang purnama yang selalu ditingkahi tawa riang anak-anak kami yang memainkan permainan rakyat sambil menyanyikan senandung lagu yang mengantar mereka menjemput mimpi indah diantara lelap tidurnya setelah lelah bermain.
Itu mungkin hanya sebagian yang bisa kami rasakan. Sementara, kami belum mendengar lagi suara kokokan ayam yang membangunkan setiap insan untuk menyambut pagi. Kami belum mendengar lagi kicauan burung yang menyambut hari, merapalkan doa atas keagungan pagi yang indah. Lalu ketika hari beranjak sore, kamipun tak lagi mendengar bising serangga yang mengantar kami menjemput senja, menjemput pekat malam yang melindungi kami di peristirahatan ketika lelap membawa kami menjelajah mimpi.
Esok, atau di hari yang akan datang, kami tak akan berhenti berharap. Semoga masih ada secuil mimpi yang bisa kami jemput di kemudian hari, dan menjadi sandaran untuk terus berusaha. Semoga angin masih berhembus membawa kabar berita yang bisa membuat kami kembali bersemangat, meskipun harapan itu kecil adanya. Semoga masih ada rintik hujan yang menyuburkan hati terdalam kami. Dan, semoga masih ada sejengkal tanah yang bisa menerima jasad kami, ketika kami merasa letih dalam mengarungi hidup ini.
Kesadaran kami telah terlecut hingga puncaknya, bahwa tak ada lagi yang bisa kami harapkan dari semua perubahan ini. Karena perlahan tapi pasti, toh perubahan akan datang pula. Perlahan tapi pasti, kamipun akan mangkat, membawa pertanyaan besar yang entah kapan akan terjawab. Hanya saja, kami masih diliputi keraguan yang dalam, yang membuat kami masih enggan untuk mati. Satu pertanyaan yang mungkin harus Anda jawab, masihkah ada sejengkal tanah itu? Tempat dimana jasad kami berbaring, menyandarkan letih, dalam balutan tangis dan getir.
"Aku pinjam darimu wahai sahabatku"
No comments:
Post a Comment