Sepenggal awan menggumpal sore itu, aku terseok bersama kuda jepangku yang aku beri nama"Revo" diantara lumpur merah basah terhampar di tiap kelok aspal. Kota kecil di bawah pegunungan ungaran baru saja aku tinggalkan. Kota yang saat ini menjadi tempatku bertugas tlah membuat aku jadi penglajo. Sebutan yang cukup mudah di ingat siapapun.
Beriring para penglajo merayap pelan, kondisi jalan membuat kami tertatih. Sementara tangis alam semakin mengeras diselingi teriakan dan petir menggema. Aku berada di barisan terakhir membuntuti lima penglajo. Bagai ular jalanan kami lalui hutan karet, hutan jati, turunan, kelokkan tajam menjadi santapan kami.
Rinai yang tak lagi ramah membuat kami terpaksa berpencar. Ada yang terbirit di poskampling desa, ada juga yang bertandang ke gubug durian (walau tidak beli) , ada juga yang terpaksa pura-pura beli teh hangat hanya untuk menumpang berteduh. Aku sedikit beruntung menemukan garasi kosong yang lumayan aman dari tancapan runcingnya hujan.
"Yah, anakmu minta uang buku, besok harus bayar!"
"Tapi aku dapat uang darimana, kamu kan tahu sudah 3 minggu ini aku dirumahkan!"
"Aku ada uang, tapi untuk makan besok, kalau aku berikan anakmu, kita besok makan apa?"
Pyar.., pyar...
suara piring pecah membahana sore itu membuyarkan konsentrasi mendengar pembicaraan mereka.
"Ini semua salah pemerintah!"
"kenapa kamu salahkan pemerintah?"
"Iya, andai pemerintah tidak banyak hutang, tentu aku tidak jadi korban seperti ini"
"Tapi ayah kan bisa mencari pekerjaan lain, sekedar menyambung hidup kan?"
"ahhh sudahlah.., aku pusing!"
Daaar....
suara daun pintu terbanting keras.
Sunyi kembali terasa bersama gerimis yang menetes, sementara gelap mulai menyergap diantara kelepak kelelawar.
Aku masih mengingat pertengkaran mereka, muara konflik adalah kebutuhan hidup yang saling berkejaran antara makan, sekolah dan kebutuhan lain.
Alhamdulillah ya Allah, ternyata tidak hanya aku yang kau uji. masih ada juga orang yang kau uji dengan lebih berat dari aku. Aku sadar bahwa semua itu titahMu, Aku hanya menjalani.
Suara klakson kembali menyapaku kala para penglajo kembali turun ke jalan. Aku tatap mereka yang mulai menghilang di sudut kelokan di telan kabut senja, aku renungkan perjalanan ini, dan aku pun kembali teringat pertengkaran para buruh yang ter PHK.
1 comment:
wah, sebuah narasi dan potre pernik-pernik kehidupan yang oke banget, pak didik. salam kreatif. jadi inget waktu di purwodadi dulu. setiap ngajart ngalajo naik bus, suk2an *halah*
Post a Comment