Sastra sebagai sebuah karya memiliki sifat universal, demikian juga dengan pemaknaan karya tersebut. Seorang apresiator memiliki hak untuk mengulas karya dari berpagai sudut pandang masing-masing. Tetapi yang menjadi permasalahan saat ini, kami sebagai pendidik khususnya bidang studi sastra menghadapi polemik. Dikala siswa menyampaikan pendapat dan pendapat itu berbeda dengan siswa lain tetapi memiliki kebenaran jika ditelaah secara mendalam. Hal ini memang sering terjadi bukan jawaban siswa yang menjadi masalah dikala mendiskusikan sebuah karya sastra, proses diskusi masih bisa diperjelas dengan komentar dan pendapat siswa lain mapun pendapat guru. Polemik utama muncul justru disaat siswa menghadapi soal ujian nasional. Siswa mengatakan jawaban yang ada sebenarnya tidak sesuai dengan apresiasi mereka.
Permasalahan yang lain dalam kenyataannya porsi sastra Indonesia saat ini menjadi bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia. Sejak Kurikulum tahun 94, tahun 2004, bahkan tahun 2006 materi sastra hanya sekitar 30 %. Itu pun tidak akan tuntas apabila guru tidak menguasai bidang sastra secara mendalam. Empat jam pelajaran tiap minggu sangat kurang dalam mengulas materi sastra.
Sastra Indonesia lepas dari bahasa Indonesia hanya dalam kurikulum kelas Bahasa. Kendala yang ada di lapangan, sangat sedikit siswa yang berminat masuk jurusan bahasa. Sehingga pembelajaran yang diharapkan tidak dapat dicapai maksimal. Lebih-lebih dalam usaha mempertahankan sastra sebagai satu kontrol sosial dan moral bagi siswa.
Saat pertemuan di Bogor dalam kegiatan Apresiasi Sastra Daerah tahun 2004 kami teman-teman guru se-Indonesia mendengar langsung dari nara sumber dalam hal ini bapak Taufik Ismail menyampaikan soal sastra tidak tepat apabila dimunculkan dalam bentuk objektif test, hal ini akan membatasi proses apresiasi siswa dalam menggauli sastra. Siswa juga terbelenggu oleh jawaban yang sudah dibuatkan penulis soal. Tahun 2006 saat pertemuan MMAS di Bogor juga kembali kami para guru mendengar bahwa usulan pembuatan soal sastra berbentuk essei telah disampaikan ke Depdiknas, tetapi soal-soal yang keluar dalam ujian Nasional masih saja berbentuk objektif test. Berarti Depdiknas memiliki peran utama dalam mengatasi polemik ini.
Penulis melihat akibat dari terbelenggunya pemikiran siswa untuk mengapresiasi karya sastra menjadikan mereka malas untuk menggauli sastra secara mendalam. Sangat jarang siswa mau menganalisis, meresensi, atau membuat esai dari sebuah karya yang sudah ada. Kecuali hanya sebatas mengerjakan tugas guru, hal ini pun hasil pekerjaan siswa sangat dangkal dan hanya teoritis. Siswa belum mampu memandang karya sastra sebagai sebuah keuniversalan, siswa masih sebatas unsur intrisik dan ekstrinsik saja. Itupun tanpa argumen yang panjang.
Dari permasalahan di atas marilah sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia, harus pandai-pandai mencari alternatif pembelajaran sastra khususnya dalam membimbing dan mendidik siswa agar lebih mencintai dan mengembangkan bakat siswa dalam bidang sastra.
No comments:
Post a Comment