Aku tak mendengar lagi teriakan emak yang selalu mengingatkanku agar aku tidak berlama-lama di pantai. Kulihat mentari semakin sombong dengan keangkaraan menebar panas tuk usir rembulan dari pandanganku.Tamparan ombak menyiksa karang menambah pedih rasa dalam jiwa ini.
Kusandarkan tubuh yang lelah ini di teduhnya nyiur. kutatap langit membiru terpantul cermin laut. Sementara nyamar menari, kepiting berlari, cacing merayap, dan siput laut tertatih-tatih diantara karang.
"Adakah kalian rasakan rasa yang aku rasakan?"bisikku perlahan
Gila, kenapa aku tiba-tiba bicara pada mereka.perlahan tiba-tiba mendung bergelayut bagai tirai alam yang menutup wajah mentari. Cadar illahi tlah teduhkan bumi yang merindu akan kesejukkan. Bayangmu tersketsa di langit wahai rembulanku. Entah kenapa tiba-tiba kau seakan menyembul diantara awan. Kau urai rambutmu yang lembut diterpa angin,mata lentikmu kembali menggelitik, ngarai-ngari awan bagai lesung di kedua pipimu.
"Rembulanku, ada apa denganmu?, kenapa kau pucat merona di balik awan."
"tiada lagikah rasa itu dalam hatimu? ataukah kau sengaja bersembunyi tuk menghindar dariku?atau kau sekedar menggodaku?"
Altar cinta tlah terpasung dalam kepalsuan.
"hei kenapa kau menghitam, adakah luka yang kau derita?"
"hei, rembulanku, jawab dong, aku ingin tahu, kenapa kau selalu datang dan menghilang?"
Butiran kristal satu persatu menimpa bumi ini. Relung-relung kekeringan yang mendera diri, terbasuh dalam sesaat.
Kulihat langit, bayangmu tlah menghilang.
"Inikah tangismu? ataukah tangisan alam karena deritaku?"
"Nang, Nang di mana kamu? ayo pulang Nang, jangan hujan-hujanan. ntar sakit lagi kamu!"
Menghentak dan menampar lorong telingaku.
"Ayo pulang Nang. Percuma kau cari rembulan hari ini. Alam tak bersahabat dengan kamu."
"Maafkan aku rembulanku, ini hari ke empat tak jua kutemui wujudmu"
"Nang, ayo pulang!"
"Iya Mak, Aku pulang, tapi rembulan belum bisa aku temukan, Mak!, aku belum bisa bahagiakan Emak!"
No comments:
Post a Comment