Kupu-kupu terluka tertatih dalam temaram senja
"mengapa engkau tidak berkuda dengan pelana emas?"
sapa ngengat
kupu-kupu bersayap putih terpekur dalam gundah
"mengapa engkau tak lagi menyapanya!?"
pekik laron
kupu-kupu kertas itu pun luruh dalam duka,
"Ada hal yang tidak bisa kuungkap, seperti api pada kertas
tentang aku yang bertarung dengan sepi, bertarung dengan luka"
"menatap rindu yang kau ucap, selaksa tusukkan belati kata
hingga luka menganga"
kupu-kupu kertas membisu pada kenangan seribu luka
Literasikan hatimu dengan membaca dan menulis karya. Hiasilah hidup dengan bersastra.
Sunday, December 30, 2012
Thursday, December 27, 2012
Desah Duka
Pekat rajut malam semakin angkuh rengkuhku dalam bisu,
jika memang waktu masih beri aku kesempatan tuk selalu eja kata,
selalu saja namamu dan satu rasa yang kan kutulis dalam sajakku
Penat semakin mencumbu dalam desah duka,
ku eja kembali namamu pada malam, pada gerimis, dan pada hati
simpan segumpal rindu kupersembahkan pada suatu waktu
kusibak awan sekedar usir pucat di langit,
satu per satu kelopak langit tanggal dan menyembul wajahmu,
terangi langit sesaat, rintik cahyamu satu per satu rebah dalam pangkuanku
belum sempat kutimang cahya itu,
kupu-kupu putih rentangkan sayap bawa pergi,
seiring kunang-kunang redup temani kembali pekat bersama gerimis duka
jika memang waktu masih beri aku kesempatan tuk selalu eja kata,
selalu saja namamu dan satu rasa yang kan kutulis dalam sajakku
Penat semakin mencumbu dalam desah duka,
ku eja kembali namamu pada malam, pada gerimis, dan pada hati
simpan segumpal rindu kupersembahkan pada suatu waktu
kusibak awan sekedar usir pucat di langit,
satu per satu kelopak langit tanggal dan menyembul wajahmu,
terangi langit sesaat, rintik cahyamu satu per satu rebah dalam pangkuanku
belum sempat kutimang cahya itu,
kupu-kupu putih rentangkan sayap bawa pergi,
seiring kunang-kunang redup temani kembali pekat bersama gerimis duka
Monday, December 24, 2012
Cinta Kedua Shinta (prosa kontemporer)
"Mengapa Kau bawa aku wahai raja Alengka"
"Karena kamulah titisan Dewi Widowati, garis pakem yang menjadi jodohku"
Percakapan singkat Rahwana dan Shinta saat istirahat dari perjalanan panjang menuju Alengka.
Shinta seorang perempuan yang dipakemkan cantik sebagai bangsawan lambat laun merasa hatinya ada yang baru ketika berada dalam dekapan Rahwana. Rasa bosan selama 13 tahun berada di belantara tanpa keindahan layaknya seorang putri keraton, membayang dalam angannya akan segera berada di Kerajaan dengan keindahan akan ia rasakan lagi.
Wibisono kaget ketika tahu kakaknya telah membawa Shinta seorang putri sekaligus istri ksatria Rama yang tersohor karena tidak punya tahta justru sesaat setalah pernikahannya. kstaria yang ahli memanah tetapi dipakemkan tidak memiliki kerajaan.
"Kakak, mengapa engkau menculik shinta"
"Aku tidak menculiknya, kamu tahu Shinta adalah titisan dewi Widowati yang sejatinya adalah jodohku, selain itu aku juga membebaskan Shinta dari pakem hidupnya di belantara, akan kutempatkan Shinta sesuai pakemnya sebagai putri kerajaan"
"Kakak mencintai Shinta"
"kenapa mesti kamu tanyakan hal itu, hai adikku"
Shinta menitikkan airmata ketika mendengar percakapan mereka. Shinta menerawang keluar jendela menatap belantara, berada di kamar indah dengan segala kebutuhan sudah tersedia membuat Shinta kembali menjadi putri yang dulu pernah dirasakannya. Tidak pernah Ia mendengar pengakuan dari sosok laki-laki bahkan dari Rama, Kebahagiaan bersama Rama hanya saat pesta pernikahan setelah itu Rama ternyata bukanlah pewaris kerajaan sehingga Ia merasa dibohongi Rama.Bukan karena gila harta Shinta tidak menolak ketika dia di bawa Rahwana, Ia hanya ingin kewibaaan sebagai seorang putri, seorang perempuan yang mendapatkan kebahagiaan dari suami. Selama dalam pelarian tak sedikit pun kebahagiaan didapatnya karena mereka selalu bertiga beserta Laksmana adik iparnya.
Laksamana seorang adik yang dipakemkan menderita karena mendampingi kakaknya yang sebenarnya juga bukan kakak kandungnya karena dari selir Ayahandanya. Diam diam juga menaruh hati pada Shinta, berulangkali Laksmana menunjukkan sikap bukan sebagai seorang adik tapi sebagai seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan, hal itulah yang menjadikan shinta kuatir dan takut. Berada di tengah hutan bersama dua sosok laki-laki membuatnya tidak nyaman, maka ketika Rahwana tiba-tiba muncul menawarkan kebahagiaan padanya Shinta tidak menolak (hanya pura-pura menolak).
Senja itu kala lembayung merah memayung langit Alengka, Shinta berada di Taman Sari bersama empat dayang bercengkerama masuklah sosok putih serupa kera. Para dayang ketakutan berlarian, sementara Shinta hanya diam karena sudah terbiasa melihat hal aneh selama di belantara dulu.
"Paduka putri, hamba Hanoman suruhan paduka Rama untuk membawamu kembali"
"jangan Kau usik kebahagiaanku, kembalilah pada Ramamu, katakan aku masih suci tak tersentuh sedikit pun ragaku oleh Rahwana"
"Tapi, mengapa Paduka putri menolak kembali?"
"Pertanyaanmu hanya kan terjawab pada setiap perempuan, Hanoman"
Hanoman pun merenung sesaat sebelum akhirnya melompat kembali ke belantara, sesampai di hutan Ia pun beralih rupa yang ternyata tidak lain adalah Laksamana yang "Alih Rupa" kini Ia tahu bahwa Kakaknya Shinta hanya menginginkan kebahagiaan selain cinta dalam hidupnya. Ia pun mendengar bahwa kesucian Shinta masih seperti dulu hanya perasaan akan dirinya sebagai putri kerajaan itulah yang dicarinya.
Betapa Rama marah dan bimbang hatinya, mendengar laporan dari adiknya, Ia merenung mengapa pakem hidup yang harus dijalaninya berbeda dengan keinginannya sebagai seorang suami, sebagai seorang yang disegani harus dihina semacam ini, tidak hanya oleh Rahwana, tetapi Shinta pun telah menolak permintaannya pula.
"Kakak, bala tentara Rama telah mengepung kerajaan, kembalikanlah Shinta pada Rama Kakak"
"Wibisana aku tidak akan mengembalikan Shinta, karena Shinta adalah titisan Widowati jodohku, bagaimana denganmu, akankah berdiam diri Hai adikku?"
"Aku akan berperang, tapi bukan membela kakak atau pun membenci Rama, tapi aku berperang karena negaraku, karena tanah airku, aku tidak rela kedamaian negeriku terusik"
"berangkatlah adikku selesaikan tugas muliamu demi pakemmu sebagai kstaria"
Segala persiapan sudah dimatangkan, shinta dipindahkan ke ruang bawah tanah guna melindungi dari bahya kehancuran kerajaan.Rahwana sendiri yang mengantarnya
"Wahai raja Alengka minta maaflah pada suamiku kelak kau akan diampuni, karena aku bermimpi kau akan gugur dalam pertempuran ini."
"Wahai Shinta, surut bagiku untuk lari, sementara rakyat dan adikku sudah bertempur di sana, di luar sana. mengapa kamu tiba-tiba meminta aku untuk menyerah, dan kamu kuatir akan nyawaku?"
Tiba-tiba shinta memegang tangan Rahwana, Ia meminta Rahwana duduk dihadapannya, lalu dipegangnya pundak sang Raja.
"Aku menyentuhmu karena aku salut akan keberanianmu, aku salut akan cintamu, aku salut akan perjuanganmu, Hai Rahwana"
"T'lah aku tanggalkan sepuluh rupa titisan Ramanda Wisrawa dan Bunda Sukesi, aku takkan mengulangi kesalahan mereka, maka kuharapkan kerelaan dan keikhlasanmu wahai Shinta, lihatlah dengan nuranimu, aku bukanlah raksasa jahat yang selama ini dipakemkan, lihatlah dengan rasamu, maka akan kau temui lelaki dengan cinta dan sayang, Shinta apakah kamu juga mencintaiku?"
Shinta hanya menunduk, tetesan bening melintas seberangi ranum pipinya, kali kedua shinta menangis yaitu kala ia menikah dengan Rama, dan ini kala dia tidak bisa menjawab suara hatinya.
Rahwana tak tega melihat shinta menangis Ia pun segera keluar meninggalkan shinta.
"Hati-hatilah wahai raja Alengka"
"Aku akan kembali Shinta"
Belasan ribu balatentara siap menyerang, tinggallah dua pimpinan berhadapan di kereta kencana, Rama menitikkan airmata, begitu juga dengan Rahwana mereka tidak mengira hanya karena keinginan hati pada sosok Shinta akan membuat semuanya hilang, kewibawaan sebagai Raja, kewibaan sebagai ksatria.
"Wahai Rama, inikah keinginan pakem, bahwa mereka harus dikorbankan demi seorang Shinta"
"Wahai Raja Alengka, begitu berhargakah shinta bagimu sehingga kau pertahankan dan korbankan rakyatmu, aku telah peringatkan sebelumnya, aku belum dan tidak pernah memberi komando untuk penyerangan ini, kembali pakem telah dibelokkan.marilah kita duduk dulu"
Mereka pun duduk semeja dalam perundingan akan berkahir seperti apakah cerita ini kelak, mereka menyadari bahwa pakem hidup dan alur cerita telah berubah karena nurani.
"Wahai dua kstaria, wahai dua lelaki yang mencintaiku, aku bangga dengan kalian, aku bangga dengan cara kalian menyeleaikan permasalahan hati"
"Shinta" keduanya berucap dan saling pandang
"Kembalilah shinta kelak kan kubawa kembali kau keistana"
"Mengapa dirimu, dirimu yang dulu telah tiada Rama, kenapa kau bawa pasukan hanya untuk menjemputku, kenapa tidak kamu sendiri yang datang dan meminta pada Raja Alengka?"
"Shinta tak pantas kau berucap begitu" tiba-tiba Rahwana menyela
"Rama adalah suamimu, apapun yang ada dalam hatiku saat ini biarlah aku simpan biarlah aku pendam kelak pada titisan selanjutnya aku yakin kita kan menyatu, demi menebus dosa yang telah ayahanda wisrawa lakukan dan bunda sukesi alami, aku takkan mengulang kembali, aku memang mencintaimu, tapi rama lebih dahulu mengikatmu kembalilah pada suamimu"
"wahai raja alengka, kini aku menyadari kebahagiaan seorang istri kebagahiaan seorang perempuan adalah kebahagiaan hakiki yang harus dipenuhi, aku tiada mampu memberi kebahagiaan itu, dan aku tahu Shinta adalah titisan yang memang untuk kamu bukan untukku, maka aku relakan shinta wahai raja Alengka"
Shinta berlari memeluk kedua ksatria gagah dihadapannya, seluruh rakyat menyaksikan peristiwa itu dan meletakkan senjata mereka, tetesan darah tlah berganti dengan tetesan airmata, seiring lelehan airmata shinta yang tiada dapat berbicara apapun. kedua pasukan saling berpelukan layaknya dua saudara yang lama tak bertemu, saling bersalaman dan tertawa tanpa permusuhan.
Shinta berlari meninggalkan keduanya dan menutup pintu kamr rapat-rapat, isak shinta masih terdengar, berkecamuk dalam hatinya, kebimbangan telah melandanya.Ia hanya ingin kedamaian demi menyelamatkan ribuan nyawa yang akan bertarung, Ia juga tiada dapat memutuskan harus bagaimana bersikap pada dua ksatria yang sama-sama mencintai dan rela berkorban untuknya.
"Karena kamulah titisan Dewi Widowati, garis pakem yang menjadi jodohku"
Percakapan singkat Rahwana dan Shinta saat istirahat dari perjalanan panjang menuju Alengka.
Shinta seorang perempuan yang dipakemkan cantik sebagai bangsawan lambat laun merasa hatinya ada yang baru ketika berada dalam dekapan Rahwana. Rasa bosan selama 13 tahun berada di belantara tanpa keindahan layaknya seorang putri keraton, membayang dalam angannya akan segera berada di Kerajaan dengan keindahan akan ia rasakan lagi.
Wibisono kaget ketika tahu kakaknya telah membawa Shinta seorang putri sekaligus istri ksatria Rama yang tersohor karena tidak punya tahta justru sesaat setalah pernikahannya. kstaria yang ahli memanah tetapi dipakemkan tidak memiliki kerajaan.
"Kakak, mengapa engkau menculik shinta"
"Aku tidak menculiknya, kamu tahu Shinta adalah titisan dewi Widowati yang sejatinya adalah jodohku, selain itu aku juga membebaskan Shinta dari pakem hidupnya di belantara, akan kutempatkan Shinta sesuai pakemnya sebagai putri kerajaan"
"Kakak mencintai Shinta"
"kenapa mesti kamu tanyakan hal itu, hai adikku"
Shinta menitikkan airmata ketika mendengar percakapan mereka. Shinta menerawang keluar jendela menatap belantara, berada di kamar indah dengan segala kebutuhan sudah tersedia membuat Shinta kembali menjadi putri yang dulu pernah dirasakannya. Tidak pernah Ia mendengar pengakuan dari sosok laki-laki bahkan dari Rama, Kebahagiaan bersama Rama hanya saat pesta pernikahan setelah itu Rama ternyata bukanlah pewaris kerajaan sehingga Ia merasa dibohongi Rama.Bukan karena gila harta Shinta tidak menolak ketika dia di bawa Rahwana, Ia hanya ingin kewibaaan sebagai seorang putri, seorang perempuan yang mendapatkan kebahagiaan dari suami. Selama dalam pelarian tak sedikit pun kebahagiaan didapatnya karena mereka selalu bertiga beserta Laksmana adik iparnya.
Laksamana seorang adik yang dipakemkan menderita karena mendampingi kakaknya yang sebenarnya juga bukan kakak kandungnya karena dari selir Ayahandanya. Diam diam juga menaruh hati pada Shinta, berulangkali Laksmana menunjukkan sikap bukan sebagai seorang adik tapi sebagai seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan, hal itulah yang menjadikan shinta kuatir dan takut. Berada di tengah hutan bersama dua sosok laki-laki membuatnya tidak nyaman, maka ketika Rahwana tiba-tiba muncul menawarkan kebahagiaan padanya Shinta tidak menolak (hanya pura-pura menolak).
Senja itu kala lembayung merah memayung langit Alengka, Shinta berada di Taman Sari bersama empat dayang bercengkerama masuklah sosok putih serupa kera. Para dayang ketakutan berlarian, sementara Shinta hanya diam karena sudah terbiasa melihat hal aneh selama di belantara dulu.
"Paduka putri, hamba Hanoman suruhan paduka Rama untuk membawamu kembali"
"jangan Kau usik kebahagiaanku, kembalilah pada Ramamu, katakan aku masih suci tak tersentuh sedikit pun ragaku oleh Rahwana"
"Tapi, mengapa Paduka putri menolak kembali?"
"Pertanyaanmu hanya kan terjawab pada setiap perempuan, Hanoman"
Hanoman pun merenung sesaat sebelum akhirnya melompat kembali ke belantara, sesampai di hutan Ia pun beralih rupa yang ternyata tidak lain adalah Laksamana yang "Alih Rupa" kini Ia tahu bahwa Kakaknya Shinta hanya menginginkan kebahagiaan selain cinta dalam hidupnya. Ia pun mendengar bahwa kesucian Shinta masih seperti dulu hanya perasaan akan dirinya sebagai putri kerajaan itulah yang dicarinya.
Betapa Rama marah dan bimbang hatinya, mendengar laporan dari adiknya, Ia merenung mengapa pakem hidup yang harus dijalaninya berbeda dengan keinginannya sebagai seorang suami, sebagai seorang yang disegani harus dihina semacam ini, tidak hanya oleh Rahwana, tetapi Shinta pun telah menolak permintaannya pula.
"Kakak, bala tentara Rama telah mengepung kerajaan, kembalikanlah Shinta pada Rama Kakak"
"Wibisana aku tidak akan mengembalikan Shinta, karena Shinta adalah titisan Widowati jodohku, bagaimana denganmu, akankah berdiam diri Hai adikku?"
"Aku akan berperang, tapi bukan membela kakak atau pun membenci Rama, tapi aku berperang karena negaraku, karena tanah airku, aku tidak rela kedamaian negeriku terusik"
"berangkatlah adikku selesaikan tugas muliamu demi pakemmu sebagai kstaria"
Segala persiapan sudah dimatangkan, shinta dipindahkan ke ruang bawah tanah guna melindungi dari bahya kehancuran kerajaan.Rahwana sendiri yang mengantarnya
"Wahai raja Alengka minta maaflah pada suamiku kelak kau akan diampuni, karena aku bermimpi kau akan gugur dalam pertempuran ini."
"Wahai Shinta, surut bagiku untuk lari, sementara rakyat dan adikku sudah bertempur di sana, di luar sana. mengapa kamu tiba-tiba meminta aku untuk menyerah, dan kamu kuatir akan nyawaku?"
Tiba-tiba shinta memegang tangan Rahwana, Ia meminta Rahwana duduk dihadapannya, lalu dipegangnya pundak sang Raja.
"Aku menyentuhmu karena aku salut akan keberanianmu, aku salut akan cintamu, aku salut akan perjuanganmu, Hai Rahwana"
"T'lah aku tanggalkan sepuluh rupa titisan Ramanda Wisrawa dan Bunda Sukesi, aku takkan mengulangi kesalahan mereka, maka kuharapkan kerelaan dan keikhlasanmu wahai Shinta, lihatlah dengan nuranimu, aku bukanlah raksasa jahat yang selama ini dipakemkan, lihatlah dengan rasamu, maka akan kau temui lelaki dengan cinta dan sayang, Shinta apakah kamu juga mencintaiku?"
Shinta hanya menunduk, tetesan bening melintas seberangi ranum pipinya, kali kedua shinta menangis yaitu kala ia menikah dengan Rama, dan ini kala dia tidak bisa menjawab suara hatinya.
Rahwana tak tega melihat shinta menangis Ia pun segera keluar meninggalkan shinta.
"Hati-hatilah wahai raja Alengka"
"Aku akan kembali Shinta"
Belasan ribu balatentara siap menyerang, tinggallah dua pimpinan berhadapan di kereta kencana, Rama menitikkan airmata, begitu juga dengan Rahwana mereka tidak mengira hanya karena keinginan hati pada sosok Shinta akan membuat semuanya hilang, kewibawaan sebagai Raja, kewibaan sebagai ksatria.
"Wahai Rama, inikah keinginan pakem, bahwa mereka harus dikorbankan demi seorang Shinta"
"Wahai Raja Alengka, begitu berhargakah shinta bagimu sehingga kau pertahankan dan korbankan rakyatmu, aku telah peringatkan sebelumnya, aku belum dan tidak pernah memberi komando untuk penyerangan ini, kembali pakem telah dibelokkan.marilah kita duduk dulu"
Mereka pun duduk semeja dalam perundingan akan berkahir seperti apakah cerita ini kelak, mereka menyadari bahwa pakem hidup dan alur cerita telah berubah karena nurani.
"Wahai dua kstaria, wahai dua lelaki yang mencintaiku, aku bangga dengan kalian, aku bangga dengan cara kalian menyeleaikan permasalahan hati"
"Shinta" keduanya berucap dan saling pandang
"Kembalilah shinta kelak kan kubawa kembali kau keistana"
"Mengapa dirimu, dirimu yang dulu telah tiada Rama, kenapa kau bawa pasukan hanya untuk menjemputku, kenapa tidak kamu sendiri yang datang dan meminta pada Raja Alengka?"
"Shinta tak pantas kau berucap begitu" tiba-tiba Rahwana menyela
"Rama adalah suamimu, apapun yang ada dalam hatiku saat ini biarlah aku simpan biarlah aku pendam kelak pada titisan selanjutnya aku yakin kita kan menyatu, demi menebus dosa yang telah ayahanda wisrawa lakukan dan bunda sukesi alami, aku takkan mengulang kembali, aku memang mencintaimu, tapi rama lebih dahulu mengikatmu kembalilah pada suamimu"
"wahai raja alengka, kini aku menyadari kebahagiaan seorang istri kebagahiaan seorang perempuan adalah kebahagiaan hakiki yang harus dipenuhi, aku tiada mampu memberi kebahagiaan itu, dan aku tahu Shinta adalah titisan yang memang untuk kamu bukan untukku, maka aku relakan shinta wahai raja Alengka"
Shinta berlari memeluk kedua ksatria gagah dihadapannya, seluruh rakyat menyaksikan peristiwa itu dan meletakkan senjata mereka, tetesan darah tlah berganti dengan tetesan airmata, seiring lelehan airmata shinta yang tiada dapat berbicara apapun. kedua pasukan saling berpelukan layaknya dua saudara yang lama tak bertemu, saling bersalaman dan tertawa tanpa permusuhan.
Shinta berlari meninggalkan keduanya dan menutup pintu kamr rapat-rapat, isak shinta masih terdengar, berkecamuk dalam hatinya, kebimbangan telah melandanya.Ia hanya ingin kedamaian demi menyelamatkan ribuan nyawa yang akan bertarung, Ia juga tiada dapat memutuskan harus bagaimana bersikap pada dua ksatria yang sama-sama mencintai dan rela berkorban untuknya.
@kaliwungu 24 Desember 2012
Sunday, December 23, 2012
Kapan Kan Menepi
Hening syahdu mengalun, perlahan membisik suara manjamu,
kupijarkan pelangi disetiap rindu pada sayap kupu kupu putih,
mewarna silaukan hati yang berharap tergerai pelangi,
merasuk khas aroma tubuhmu dalam sukmaku
kusunting awan hitam berarak pucatkan hatiku,
redup semakin kerlip dalam pinangan kunang kunang
Kau lah Shinta dalam pewayangan
yang lelah dalam rimba perburuan cerita,
penat dalam memaknai pakem kehidupanmu
Rahwana bukanlah sosok menakutkan,
t'lah ia tanggalkan sepuluh rupa titisan wisrawa dan sukesi,
pandanglah dengan hati sucimu, kan kau lihat
sosok lelaki lembut penuh cinta
kembali kubiarkan rasa terjaga,
mengawal impian tetap sejuk dalam jalinan alur hati
entah kapan kan menepi
kupijarkan pelangi disetiap rindu pada sayap kupu kupu putih,
mewarna silaukan hati yang berharap tergerai pelangi,
merasuk khas aroma tubuhmu dalam sukmaku
kusunting awan hitam berarak pucatkan hatiku,
redup semakin kerlip dalam pinangan kunang kunang
Kau lah Shinta dalam pewayangan
yang lelah dalam rimba perburuan cerita,
penat dalam memaknai pakem kehidupanmu
Rahwana bukanlah sosok menakutkan,
t'lah ia tanggalkan sepuluh rupa titisan wisrawa dan sukesi,
pandanglah dengan hati sucimu, kan kau lihat
sosok lelaki lembut penuh cinta
kembali kubiarkan rasa terjaga,
mengawal impian tetap sejuk dalam jalinan alur hati
entah kapan kan menepi
Tuesday, December 18, 2012
Menggantung pada Ujung Daun
Perlahan secarik kertas kumal dan usang kubuka
rangkaian alur t'lah tertulis,
Kantuk semayamkan lelah, gigilpun enggan rebah
persimpangan malam ini terlalu indah untuk kulewatkan
walau embun kerinduan menggantung pada ujung daun
menunggu detik kan terjatuh lalu sirna kembali ke bumi
karena kau tiada lagi singkap makna embun kerinduan ini
rangkaian alur t'lah tertulis,
tak jua kau di sana
Jejak yang tertapak menghilang dari transkrip hati
kertas lusuh kembarakan kembali aku,
halaman penuh tanda tempat persinggahan
buka kembali kenangan, penjarakan mata dan hati, tuk sekedar
ingin tahu, "masihkah kamu di sudut lain memaknai sajak-sajakku?"
mendung semakin angkuh berkendara angin
tersingkap siluet hati pada rumpang malam,
lalu muncul wajahmu, rekah diantara rimbunan perdu ilalang
irama hati berdegup seiring detak
alunkan simponi rindu bagai "kebo giro" iringi pengantin muda
menjadi suguhan di pelataran hati, membuka jejakku dan jejakmu yang lalu
Kantuk semayamkan lelah, gigilpun enggan rebah
persimpangan malam ini terlalu indah untuk kulewatkan
walau embun kerinduan menggantung pada ujung daun
menunggu detik kan terjatuh lalu sirna kembali ke bumi
karena kau tiada lagi singkap makna embun kerinduan ini
@ 16 desember 2013
Thursday, December 13, 2012
Seteguk Luka
Bening embun di pucuk daun gelisah
berharap tak jatuh pada tanah basah
disela catatan hati tentang gerimis
tentang danau di matamu
bahkan dalam sunyi rindu tak menggema lagi
merayap rasa bersenggama dengan waktu
seperti pisau dalam tiap sunyi
mengiris dan menyayat rekahkan tanah tandus
di awal musim penghujan
melata kerinduan dalam segelas embun bening
membawa seteguk luka
berharap tak jatuh pada tanah basah
disela catatan hati tentang gerimis
tentang danau di matamu
bahkan dalam sunyi rindu tak menggema lagi
merayap rasa bersenggama dengan waktu
seperti pisau dalam tiap sunyi
mengiris dan menyayat rekahkan tanah tandus
di awal musim penghujan
melata kerinduan dalam segelas embun bening
membawa seteguk luka
Thursday, December 6, 2012
Pada Senja di Cipayung
Mengalir kata dalam sajak
menyusuri labirin hati,
membayang simpul mungil pada ranum pipimu
menghangat dalam bayang, genggammu
ketuk lorong-lorong kerinduan
Dalam samar kabut cipayung, mengalir kata dalam sajak,
menyusuri tiap detak,
mengalun seirama
rangkai sketsa hati
berharap pada senja di Cipayung
kan kau maknai sajak bisu tentangmu
menyusuri labirin hati,
membayang simpul mungil pada ranum pipimu
menghangat dalam bayang, genggammu
ketuk lorong-lorong kerinduan
Dalam samar kabut cipayung, mengalir kata dalam sajak,
menyusuri tiap detak,
mengalun seirama
rangkai sketsa hati
berharap pada senja di Cipayung
kan kau maknai sajak bisu tentangmu
Tuesday, December 4, 2012
Entah Pada Apa
Sunday, December 2, 2012
Menderas Kata di Ujung Hati
Pekat menggantung bulir merintik satu-satu,
menderas kata di ujung hati terangkai untukmu
menabur huruf menjadi suku kata dan kata mengabadikan detak
tiap detik tetangmu
Kau pun hadir di lereng hijau berkabut sisi barat daya gunung ungaran
meski hanya tersketsa, hadirmu sejukkan pagi di hamparan wortel memerah.
Kau membayang, membangun jembatan hati rangkai alur
sembari menggenggam satu kata yang tak terucap pada rasa
seperti bening embun yang tiada mampu bertahan di ujung daun
menetes, menyentuh, dan meresap
Masih saja ada kata yang tak mampu kupanjangkan,
aku tak ingin alur digresi runtuhkan jembatan hati
biarlah sajak rangkai kata, ada makna yang kan terungkap
entah kapan kau maknai bersamaku, bersama pagi,
bersama rintik menderas
menderas kata di ujung hati terangkai untukmu
menabur huruf menjadi suku kata dan kata mengabadikan detak
tiap detik tetangmu
Kau pun hadir di lereng hijau berkabut sisi barat daya gunung ungaran
meski hanya tersketsa, hadirmu sejukkan pagi di hamparan wortel memerah.
Kau membayang, membangun jembatan hati rangkai alur
sembari menggenggam satu kata yang tak terucap pada rasa
seperti bening embun yang tiada mampu bertahan di ujung daun
menetes, menyentuh, dan meresap
Masih saja ada kata yang tak mampu kupanjangkan,
aku tak ingin alur digresi runtuhkan jembatan hati
biarlah sajak rangkai kata, ada makna yang kan terungkap
entah kapan kau maknai bersamaku, bersama pagi,
bersama rintik menderas
Tuesday, November 27, 2012
Gerimis Akhir November
Gerimis senja di preanger menuntun kata
membasah dalam rintik lahirkan sajak tentangmu
semburat merah cakrawala di antara gedhe pangrango
getarkan hati seperti merah pada ranum pipimu
paksa aku kembali rangkai kepak-kepak kata per satu, hinggap dan sketsakan bayangmu
gerimis ini kembali genangi sudut ingatan
alirkan rindu di antara kaca jendela Preanger
melesat bagaikan syair berirama
dalam lubuk terdalam temukan dua suku kata
berharap pada indah pundakmu, sekedar bersandar
tuk baca dan maknai sajak bersamamu
membasah dalam rintik lahirkan sajak tentangmu
semburat merah cakrawala di antara gedhe pangrango
getarkan hati seperti merah pada ranum pipimu
paksa aku kembali rangkai kepak-kepak kata per satu, hinggap dan sketsakan bayangmu
gerimis ini kembali genangi sudut ingatan
alirkan rindu di antara kaca jendela Preanger
melesat bagaikan syair berirama
dalam lubuk terdalam temukan dua suku kata
berharap pada indah pundakmu, sekedar bersandar
tuk baca dan maknai sajak bersamamu
Friday, November 23, 2012
Senja Pada Sepucuk Daun Bersajak
Senja kembali tenggelamkan aku pada luka
hentakkannya begitu menyayat menusuk
bagai rintik satu satu di awal musim ini,
terbaring rasa tanpa daya dalam selokan hati
Mimpi rebah bersandar di pundakmu, lalu
pandangi simpul pada ranum pipimu adalah ilusi hati
Berlayar aku pada lautan kata
mencari di mana koma tuk sekedar istirah
mencari di mana titik tuk sekedar peluk asa
Angin awal musim bersama rintik menderas
bekukan aku dalam nadir luka
tertawa dalam tanya tanpa jawab, mengapa?
biarlah sajakku kan menjadi matahari bagi rinduku
biarlah embun tetap menetes pada ujung daun,
biarlah rintik satu-satu pada dingin menderas
hingga pelangi kan mencerah iringi kupu-kupu putih
terbangkan makna pada sepucuk daun bersajak
hentakkannya begitu menyayat menusuk
bagai rintik satu satu di awal musim ini,
terbaring rasa tanpa daya dalam selokan hati
Mimpi rebah bersandar di pundakmu, lalu
pandangi simpul pada ranum pipimu adalah ilusi hati
Berlayar aku pada lautan kata
mencari di mana koma tuk sekedar istirah
mencari di mana titik tuk sekedar peluk asa
Angin awal musim bersama rintik menderas
bekukan aku dalam nadir luka
tertawa dalam tanya tanpa jawab, mengapa?
biarlah sajakku kan menjadi matahari bagi rinduku
biarlah embun tetap menetes pada ujung daun,
biarlah rintik satu-satu pada dingin menderas
hingga pelangi kan mencerah iringi kupu-kupu putih
terbangkan makna pada sepucuk daun bersajak
Tuesday, November 20, 2012
Senja Merintik Lengang
Senja merintik lengang pada riuh yang tabuh
gemericik tanah merah bercampur air meluruh
selami indah korneamu adalah hal terindah
tiap kali kutulis dan kurangkai bayangmu, selalu
aku lihat sepasang angsa berenang berhias pelangi
Bayang tentangmu membeku tersketsa bersandar pada sayap kupu-kupu putih, bertanya selalu tanpa rasa,
terjawab sunyi pada angin kibaskan kesejukkan
aku hanya mampu duduk di tepian kolam matamu
tanpa mampu lagi berkecipak pada dingin rasa yang membuncah
Mengenang pertemuan pada senja memerah
lengang terusik riak pesisir dan kutemukan namamu
menapak pada sisa buih berkilau dalam semburat merah
entah pada persinggahan sajak ke berapa rindu berdekap
gemericik tanah merah bercampur air meluruh
selami indah korneamu adalah hal terindah
tiap kali kutulis dan kurangkai bayangmu, selalu
aku lihat sepasang angsa berenang berhias pelangi
Bayang tentangmu membeku tersketsa bersandar pada sayap kupu-kupu putih, bertanya selalu tanpa rasa,
terjawab sunyi pada angin kibaskan kesejukkan
aku hanya mampu duduk di tepian kolam matamu
tanpa mampu lagi berkecipak pada dingin rasa yang membuncah
Mengenang pertemuan pada senja memerah
lengang terusik riak pesisir dan kutemukan namamu
menapak pada sisa buih berkilau dalam semburat merah
entah pada persinggahan sajak ke berapa rindu berdekap
Friday, November 16, 2012
Gerimis Pagi
Rintik satu-satu membasah
selimuti langit pilu merebah
jejakkan bayangmu pada tanah basah
sendu daun begitu rapuh melayang perlahan
teteskan aroma darah pada kenangan dan rimbun luka
redup, gersang kian menggigil dalam rintih sendu
adalah sepi pada pagi berbingkai debu
ingin kututup mata tapi nadi tak ingin berhenti
kulihat engkau mendekap kelam
kusapa engkau sayatkan perih
kutahu engkau lelehkan mutiara
luruh dan meradang retakkan hati
seiring rintik satu-satu pada pagi
dalam gigil kabut kaki ungaran
selimuti langit pilu merebah
jejakkan bayangmu pada tanah basah
sendu daun begitu rapuh melayang perlahan
teteskan aroma darah pada kenangan dan rimbun luka
redup, gersang kian menggigil dalam rintih sendu
adalah sepi pada pagi berbingkai debu
ingin kututup mata tapi nadi tak ingin berhenti
kulihat engkau mendekap kelam
kusapa engkau sayatkan perih
kutahu engkau lelehkan mutiara
luruh dan meradang retakkan hati
seiring rintik satu-satu pada pagi
dalam gigil kabut kaki ungaran
Tuesday, November 13, 2012
Ilusi Hati
Satu jam sudah berlalu dalam dingin ruang AC bandara pada senja meremang. rintik satu-satu mulai membasah di landasan. Aku merasa ada pada ruang dimensi waktu yang tiada ingin rasa ini bernaung, hingga genderang asa memudar berirama bagai simfoni pilu birukan senja membasah seperti hujan di landasn pacu. dentuman detik tiap detak melirih sendu dan syahdu.
Menatap satu per satu pesawat landing dan takeoff, bagai dirimu yang lincah, perlahan terlukis parasmu dalam sajak-sajak pelangi kala sinar membias mendung senja itu. Terpecik rasa membahana ditelinga begitu jelas dan membuat luruh tulang-tulang penyangga tubuhku.
"Benarkah Kau akan segera pergi?, akankah Kau kembali dalam ruang bersamaku pada dimensi lain?"
"Mungkin, biarkan rasa bersemi dalam ilusi hati"
"Jangan, mengapa Kau biarkan bersemi dalam ilusi hati?"
"karena detik ini kan selalu berdetak seirama berselancar dalam rongga otot mengalir keseluruh tubuh hingga tersungkur hati dalam ilusi kepalsuan"
"Lalu, haruskah aku bertengger pada sayap kupu-kupu dan terbang bersamamu?"
"biarlah semua menetes seperti embun pagi berhias pelangi"
Kembali terhempas pada kursi tunggu diruang bandara AC kian gigilkan rasa, lalu mencekam badai yang tak kunjung berkesudahan, dendangkan simfoni rasa hingga pilu pun hinggap menyapa.
"Kau tak pernah mengerti dan tak mau mengerti, jiwa-jiwa hampa luluh lantak terkikis gelombang rasa dalam siluet senja"
Landing burung besi berwarna biru membungkam prahara kenistaan, kenangan dan harapan seakan menjadi bualan, terhapus-satu per satu mendekati saat akhir di kotamu.kepedihan kian terasa menjadi lebam sedu sedan hadirkan puing-puing bersama tutur lembutmu.
Pucat langit sesaat setelah peraduan tergelar bawa rembulan tanpa cahaya mengambang di atas langit Bandara. Fatamorgana kian menggelora, sebuah nama membawa gundah menyeruak dalam hingar bingar ilusi hati. Pahit pun bagai pedang kinine yang tajam mengharu membisu tatap samar bayangmu pada kaca ruang tunggu.
Membahana buyarkan lamunan panggilan untuk para penumpang segera menuju pesawat, melangkah perlahan tinggalkan kotamu, menari kembali kau dipelupuk mata berdendang alunkan simfoni rasa, perubahan tak akan terjadi.
Kutapaki tangga demi tangga menatap setapak yang kan kulalui, bisu beribu kata tak terucap sekelumit rasa tak mampu terungkap, kutoleh sesaat kotamu di akhir tangga, menjerit rasa menyeruak tak mampu paksa bibirku berucap satu kata.
Terhempas pada kursi biru, kembali kulayangkan pandangan keluar jendela, entah itu kamu atau siapa lambaikan tangan sesaat sebelum aku melayang dalam batas petang dan malam tinggalkan kotamu, tinggalkan ilusi hati pada fatamorgana senja.
Menatap satu per satu pesawat landing dan takeoff, bagai dirimu yang lincah, perlahan terlukis parasmu dalam sajak-sajak pelangi kala sinar membias mendung senja itu. Terpecik rasa membahana ditelinga begitu jelas dan membuat luruh tulang-tulang penyangga tubuhku.
"Benarkah Kau akan segera pergi?, akankah Kau kembali dalam ruang bersamaku pada dimensi lain?"
"Mungkin, biarkan rasa bersemi dalam ilusi hati"
"Jangan, mengapa Kau biarkan bersemi dalam ilusi hati?"
"karena detik ini kan selalu berdetak seirama berselancar dalam rongga otot mengalir keseluruh tubuh hingga tersungkur hati dalam ilusi kepalsuan"
"Lalu, haruskah aku bertengger pada sayap kupu-kupu dan terbang bersamamu?"
"biarlah semua menetes seperti embun pagi berhias pelangi"
Kembali terhempas pada kursi tunggu diruang bandara AC kian gigilkan rasa, lalu mencekam badai yang tak kunjung berkesudahan, dendangkan simfoni rasa hingga pilu pun hinggap menyapa.
"Kau tak pernah mengerti dan tak mau mengerti, jiwa-jiwa hampa luluh lantak terkikis gelombang rasa dalam siluet senja"
Landing burung besi berwarna biru membungkam prahara kenistaan, kenangan dan harapan seakan menjadi bualan, terhapus-satu per satu mendekati saat akhir di kotamu.kepedihan kian terasa menjadi lebam sedu sedan hadirkan puing-puing bersama tutur lembutmu.
Pucat langit sesaat setelah peraduan tergelar bawa rembulan tanpa cahaya mengambang di atas langit Bandara. Fatamorgana kian menggelora, sebuah nama membawa gundah menyeruak dalam hingar bingar ilusi hati. Pahit pun bagai pedang kinine yang tajam mengharu membisu tatap samar bayangmu pada kaca ruang tunggu.
Membahana buyarkan lamunan panggilan untuk para penumpang segera menuju pesawat, melangkah perlahan tinggalkan kotamu, menari kembali kau dipelupuk mata berdendang alunkan simfoni rasa, perubahan tak akan terjadi.
Kutapaki tangga demi tangga menatap setapak yang kan kulalui, bisu beribu kata tak terucap sekelumit rasa tak mampu terungkap, kutoleh sesaat kotamu di akhir tangga, menjerit rasa menyeruak tak mampu paksa bibirku berucap satu kata.
Terhempas pada kursi biru, kembali kulayangkan pandangan keluar jendela, entah itu kamu atau siapa lambaikan tangan sesaat sebelum aku melayang dalam batas petang dan malam tinggalkan kotamu, tinggalkan ilusi hati pada fatamorgana senja.
Tuesday, November 6, 2012
Lelah
Friday, November 2, 2012
Senyum itu Meranum pada Ilalang Gersang
Membayangkan simpul di pipimu adalah hal terindah
seperti senja lalu,
kugembalakan rindu pada jejak jiwa di tengah ilalang
senyum itu meranum pada ilalang gersang
percikkan api pada angin membara dan membiru
di malam bulan separoh
menatap simpul dipipimu adalah puisi terindah
semakin menggenang pada ranting, rahasiakan rintik satu-satu
menelusup kata di tiap angan persembahkan rindu pada malam
seperti senja lalu,
kugembalakan rindu pada jejak jiwa di tengah ilalang
senyum itu meranum pada ilalang gersang
percikkan api pada angin membara dan membiru
di malam bulan separoh
menatap simpul dipipimu adalah puisi terindah
semakin menggenang pada ranting, rahasiakan rintik satu-satu
menelusup kata di tiap angan persembahkan rindu pada malam
Wednesday, October 31, 2012
Purnama Langit Pasuruan
Bergelut mendung terbirit pada malam yang biru
aku akan biarkan malam tanpa kisah andai purnama tak menembang
aku paksakan mengerti daripada berandai tentang diammu
ribuan kali kuketuk berkali pula kau tusuk
ini entah kali keberapa wajahmu menjenguk, menunduk merenda cahaya menyingkap kisah lama di bawah purnama langit pasuruan
aku ingin sekali masuk pada ruang itu, ingin kubuka cerita itu
kuhapus luka-luka dan kurangkai kalimat baru agar kembali menyatu
bergelut mendung terbirit pada malam yang biru
bahkan purnama tak pernah nikmati cahayanya sendiri
yang aku sembunyikan di setiap relung, kusimpan dan kujaga
ingin kuajak kau duduk di sini, di bawah purnama
lalu kubacakan kembali cerita itu,
agar kau mengerti cerita itu telah kuperbaiki
Pasuruan, 31 Oktober 2012
Monday, October 29, 2012
Bergelayut pada Reranting Rapuh
Saturday, October 27, 2012
Berharap pada Senja yang Sama
Kembali hening senja hadirkan parasmu
lamunan berujung pada kerinduan
kutatap bayang dicermin dan kau tiada di sana
disudut korneaku, tiada lagi senyum itu, entah
geliat membuncah bergumul bersama mendung mengulum senja
luruh panjang mendekap gigil di pucuk rantingkegelisahan
kudekap rindu berharap kau berpaling pada senja yang sama
menebar pandang walau tak pernah temukan makna
lamunan berujung pada kerinduan
kutatap bayang dicermin dan kau tiada di sana
disudut korneaku, tiada lagi senyum itu, entah
geliat membuncah bergumul bersama mendung mengulum senja
luruh panjang mendekap gigil di pucuk rantingkegelisahan
kudekap rindu berharap kau berpaling pada senja yang sama
menebar pandang walau tak pernah temukan makna
Sunday, October 21, 2012
Lukisan Lalu
Tatap lukisan lalu berbingkai sajak hati
diammu membisu,
pandangan kosong tanpa makna
tak lagi kulihat aku terlukis dalam korneamu
relung terasa sepi
tipis kabut silaukan tatapanmu
menyerbu rasa tiba-tiba, teriakkan ketidakmengertian ini
kau angkuh dengan sejuta pertanyaan
tidak percaya itu adalah lukisan lalu
akankah panjang perhentian tanpa sapa ini
diammu membisu,
pandangan kosong tanpa makna
tak lagi kulihat aku terlukis dalam korneamu
relung terasa sepi
tipis kabut silaukan tatapanmu
menyerbu rasa tiba-tiba, teriakkan ketidakmengertian ini
kau angkuh dengan sejuta pertanyaan
tidak percaya itu adalah lukisan lalu
akankah panjang perhentian tanpa sapa ini
Friday, October 19, 2012
Pada pertengahan Oktober
Tuesday, October 16, 2012
Tetes Bening pada Ujung Daun
Tetes bening pada ujung daun perlahan bergelayut
ceritakan tentang sajak angin yang tak tersampaikan
terngiang sapa gemulai lembutmu,
wangi dan harum menelusup dalam pori-pori hati
kuhidangkan perjamuan hati
pada perhelatan singkat suatu saat nanti
berharap tetes bening pada ujung daun
kembali sejukkan
sajak rindu yang meradang
ceritakan tentang sajak angin yang tak tersampaikan
terngiang sapa gemulai lembutmu,
wangi dan harum menelusup dalam pori-pori hati
kuhidangkan perjamuan hati
pada perhelatan singkat suatu saat nanti
berharap tetes bening pada ujung daun
kembali sejukkan
sajak rindu yang meradang
Wednesday, October 10, 2012
Kucium Hangat Mendung
Kucium hangat mendung
berharap singkap gelap dalam sentuhan dingin malam
mendung masih berarak di langit Jakarta
di atas tugu proklamasi bulan sabit mengintip dan sembunyi
tenggelam jagat hentikan langkah
menghampar bisu bebaskan jiwa
dari kefanaan dunia
kucium hangat mendung
berharap singkap gelap agar kau menjelma
seperti lengkung emas terpahat abadi pada ranum pipimu
ah hangat mendung masih saja berarak
sembunyikan lengkung itu
kuharap pundakmu rindukan sandaran sajakku
berharap singkap gelap dalam sentuhan dingin malam
mendung masih berarak di langit Jakarta
di atas tugu proklamasi bulan sabit mengintip dan sembunyi
tenggelam jagat hentikan langkah
menghampar bisu bebaskan jiwa
dari kefanaan dunia
kucium hangat mendung
berharap singkap gelap agar kau menjelma
seperti lengkung emas terpahat abadi pada ranum pipimu
ah hangat mendung masih saja berarak
sembunyikan lengkung itu
kuharap pundakmu rindukan sandaran sajakku
Saturday, October 6, 2012
Pada Gerimis Senja Awal Oktober
Pandang sayu pada gerimis membadai menjelang senja
adalah dongeng lama yang hadirkan cerita lalu
aku berenang dalam korneamu ditiap rintik satu-satu
tut tut keyboard berirama iringi detik yang berdetak
pada dinding bisu abadikan masa lalu
Kau bukanlah igau bagiku tapi kau adalah irama
menderas seiring waktu
ciptakan nada bersama gemericik, sergap senyum
hadirkan belahan indah pada ranum pipimu
Ah gerimis
hujan
selalu hadirkan yang lalu
hingga sajak kembli hadirkan cerita baru
adalah dongeng lama yang hadirkan cerita lalu
aku berenang dalam korneamu ditiap rintik satu-satu
tut tut keyboard berirama iringi detik yang berdetak
pada dinding bisu abadikan masa lalu
Kau bukanlah igau bagiku tapi kau adalah irama
menderas seiring waktu
ciptakan nada bersama gemericik, sergap senyum
hadirkan belahan indah pada ranum pipimu
Ah gerimis
hujan
selalu hadirkan yang lalu
hingga sajak kembli hadirkan cerita baru
Tuesday, October 2, 2012
Masih Kusimpan Catatan Itu
Sunday, September 30, 2012
Purnama Akhir September
Monday, September 24, 2012
Masihkah Ada Rindu dalam Rasamu
Memandang lalu lalang dari jendela preanger
perlahan dingin merayap di semak-semak malam
sembunyikan luka diantara rimbun kesedihan
engkau yang berdiam di setiap makna keterasinganku
lalu, kutuliskan rindu pada pekat berharap hangatkan
di tiap lembar daun jendela yang kusapa lirih sebut namamu
kembali berkelana dihimpit waktu, pada
persemayaman rindu
Tapi kesunyian selalu datang, inikah
makna rindu dalam rasamu
kucumbui angin kucumbu dingin
penjarakan bayangmu
Bayangan pucat pudar berpendar
seperti awan berarak tanpa hangat sapamu
perlahan dingin merayap di semak-semak malam
sembunyikan luka diantara rimbun kesedihan
engkau yang berdiam di setiap makna keterasinganku
lalu, kutuliskan rindu pada pekat berharap hangatkan
di tiap lembar daun jendela yang kusapa lirih sebut namamu
kembali berkelana dihimpit waktu, pada
persemayaman rindu
Tapi kesunyian selalu datang, inikah
makna rindu dalam rasamu
kucumbui angin kucumbu dingin
penjarakan bayangmu
Bayangan pucat pudar berpendar
seperti awan berarak tanpa hangat sapamu
Tuesday, September 18, 2012
Batik Hati Kian Pudar
Menyayat pada sekeping hati
berjalan mainkan instrumen rindu
satukan sketsa pecah berserak tanpa terlukis wajah
keping-keping itu berlari tinggalkan pigura hati
tertawa dan semakin menjauh
rangkaian bunga pada kain putih itu tlah terputus
ikatan-ikatan canting pada lilin pun memudar
batik hati terkulai rebah membuncah asa
tungku tlah mati tiada menghangatkan, beku
aku merasakan dengan sekeping hati
tetesan hangat malam tak lagi meniti
tiupan lembut pada canting kerinduan tak lagi terdengar
terkulai kain putih membisu hiasi sajakku
berjalan mainkan instrumen rindu
satukan sketsa pecah berserak tanpa terlukis wajah
keping-keping itu berlari tinggalkan pigura hati
tertawa dan semakin menjauh
rangkaian bunga pada kain putih itu tlah terputus
ikatan-ikatan canting pada lilin pun memudar
batik hati terkulai rebah membuncah asa
tungku tlah mati tiada menghangatkan, beku
aku merasakan dengan sekeping hati
tetesan hangat malam tak lagi meniti
tiupan lembut pada canting kerinduan tak lagi terdengar
terkulai kain putih membisu hiasi sajakku
Sunday, September 16, 2012
Catatan Bisu penuh Luka
Tak lelah pandangi potretmu
masih terasa percikan dari korneamu menembus rasa
tapi kembali luka yang tercipta
berlari aku dari catatan kita tapi selalu saja
bait-bait rasa itu bagai puzzle waktu
selalu hadir dan iringi helaan nafasku
hari yang indah dengan detik berdetak ternoda luka
luka yang bernama itu kian lama kian akut
hingga ingin kupinjam bahumu tuk sekedar bersandar
akankah lukisan itu kan luntur oleh waktu
akankah sajak-sajak ini kan memudar tanpa kau maknai
percik itu kembali menyala tiap kucoba sembuhkan luka
hingga terpekur dalam kegundahan kucatat dalam sajak bisu
goresan itu terlalu dalam mengakar membuat setapak
semakin jelas pernah kita lalui
pelangi senja takkan hadir tanpa gerimis sapamu
ingin berlari tinggalkan catatan lalu, tapi tangan ini
selalu saja goreskan catatan bisu penuh luka tanpa kau mengerti
masih terasa percikan dari korneamu menembus rasa
tapi kembali luka yang tercipta
berlari aku dari catatan kita tapi selalu saja
bait-bait rasa itu bagai puzzle waktu
selalu hadir dan iringi helaan nafasku
hari yang indah dengan detik berdetak ternoda luka
luka yang bernama itu kian lama kian akut
hingga ingin kupinjam bahumu tuk sekedar bersandar
akankah lukisan itu kan luntur oleh waktu
akankah sajak-sajak ini kan memudar tanpa kau maknai
percik itu kembali menyala tiap kucoba sembuhkan luka
hingga terpekur dalam kegundahan kucatat dalam sajak bisu
goresan itu terlalu dalam mengakar membuat setapak
semakin jelas pernah kita lalui
pelangi senja takkan hadir tanpa gerimis sapamu
ingin berlari tinggalkan catatan lalu, tapi tangan ini
selalu saja goreskan catatan bisu penuh luka tanpa kau mengerti
Friday, September 14, 2012
Dari Sudut Jendela Preanger
Dingin kota kembang masih saja angkuh di ujung malam
pandangi lengang jalanan dari sudut jendela preanger
entah mengapa aku tiba-tiba ingin mengusirmu dari sajakku
entah mengapa aku begitu ingin karena kamu tak pernah mampu maknai sajakku
Sejenak aku ingin berhenti ungkap kata yang selalu imajikan kamu
tentang dirimu yang tak lagi maknai senja-senja lalu
tentang dirimu yang tak lagi sapa hari-hariku
Pucat masih saja pekat berarak di langit kota kembang
aku t'lah baca pesan yang kamu sampaikan lewat detik-detik waktu,
kepompong tidak lagi bergeliat tuk sekedar bergerak,
kupu-kupu putih tidak lagi kepakkan sayap tuk sekedar hinggap,
apalagi aku rebah di sayap indahmu, susuri waktu yang lalu
Untaian senyum itu tak lagi mampu kutahan,
memudar perlahan menyublim dalam semu hari-hariku
tertegun aku di sudut jendela preanger pandangi lengang jalan,
entah mengapa pada akhirnya aku belum berhenti menulis tentang kamu
pandangi lengang jalanan dari sudut jendela preanger
entah mengapa aku tiba-tiba ingin mengusirmu dari sajakku
entah mengapa aku begitu ingin karena kamu tak pernah mampu maknai sajakku
Sejenak aku ingin berhenti ungkap kata yang selalu imajikan kamu
tentang dirimu yang tak lagi maknai senja-senja lalu
tentang dirimu yang tak lagi sapa hari-hariku
Pucat masih saja pekat berarak di langit kota kembang
aku t'lah baca pesan yang kamu sampaikan lewat detik-detik waktu,
kepompong tidak lagi bergeliat tuk sekedar bergerak,
kupu-kupu putih tidak lagi kepakkan sayap tuk sekedar hinggap,
apalagi aku rebah di sayap indahmu, susuri waktu yang lalu
Untaian senyum itu tak lagi mampu kutahan,
memudar perlahan menyublim dalam semu hari-hariku
tertegun aku di sudut jendela preanger pandangi lengang jalan,
entah mengapa pada akhirnya aku belum berhenti menulis tentang kamu
Tuesday, September 11, 2012
Ah, hanya Mungkin..
Mungkin kamu sudah tidak lagi mengingatku
tapi aku masih temukan kamu dalam auraku
kamu menari, tersenyum meniupkan aroma luka
Mungkin kamu sudah tidak lagi mengingatku
tapi aku masih saja mengenangmu terapung di atas biduk lukaku
diantara kerinduan yang tak bertepi
Mungkin kamu sudah tidak lagi mengenalku
tapi aku masih selalu susuri setapak yang pernah kau lewati
dari rangkaian senyum yang pernah kau titipkan di bibir dan dekik pipimu
Mungkin kamu benar-benar t'lah ingin melupakanku
tapi aku masih menanti sapamu
dari sebuah perjalanan yang pernah tersajak
tapi aku masih temukan kamu dalam auraku
kamu menari, tersenyum meniupkan aroma luka
Mungkin kamu sudah tidak lagi mengingatku
tapi aku masih saja mengenangmu terapung di atas biduk lukaku
diantara kerinduan yang tak bertepi
Mungkin kamu sudah tidak lagi mengenalku
tapi aku masih selalu susuri setapak yang pernah kau lewati
dari rangkaian senyum yang pernah kau titipkan di bibir dan dekik pipimu
Mungkin kamu benar-benar t'lah ingin melupakanku
tapi aku masih menanti sapamu
dari sebuah perjalanan yang pernah tersajak
Friday, September 7, 2012
Ingin Aku Eja Kembali di Ujung Senja
Kulepas kata dalam sajak hingga terbait makna
melangit cakrawala berpendar merasuk sukma
sejuk berpayung awan berselimut kabut, memucat
menghempas serpihan-serpihan duka
Beribu makna t'lah kau baca
rasa t'lah mati dalam beku egomu
aku punguti makna dari kata yang kutulis
ingin aku eja kembali di ujung senja
Bergelayut manja angin bersulamkan rindu
nada tiada lagi merdu iringi langkahku
sayap itu semakin rapuh tuk terbangkan kupu-kupu putih
hingga aku tak mungkin rebah dibahumu
Kulepas kata dalam sajak hingga terbait makna
kupu-kupu takkan menelusup dalam kepompong
tuk sembunyikan kata untukmu
biarlah kembali kuambil, kurangkai walau duka selalu iringi sajakku
melangit cakrawala berpendar merasuk sukma
menghempas serpihan-serpihan duka
Beribu makna t'lah kau baca
rasa t'lah mati dalam beku egomu
aku punguti makna dari kata yang kutulis
ingin aku eja kembali di ujung senja
Bergelayut manja angin bersulamkan rindu
nada tiada lagi merdu iringi langkahku
sayap itu semakin rapuh tuk terbangkan kupu-kupu putih
hingga aku tak mungkin rebah dibahumu
Kulepas kata dalam sajak hingga terbait makna
kupu-kupu takkan menelusup dalam kepompong
tuk sembunyikan kata untukmu
biarlah kembali kuambil, kurangkai walau duka selalu iringi sajakku
Wednesday, September 5, 2012
Kau Bersandar dalam Sajakku
Aku benar-benar temukan sesuatu pada rimbun bulu matamu,
sejukkan tiap detik jantungku
Aku benar-benar temukan sesuatu hadir ditiap kata yang kau lontarkan,
bersama senyum dan simpul di pipi ranummu
Aku benar-benar tak mampu bendung kata kangen di tiap jauh darimu,
hingga keranjang rindu telah bertumpuk untukmu
Aku benar-benar ingin luka rindu berakhir,
bersama senyum sirnakan duka di bahuku
Aku benar-benar ingin kau bagai rintik satu-satu
tetaplah bersandar agar aku tulis sajak rindu untukmu
Tuesday, September 4, 2012
Jubah Musim Berlalu
Mimpikan sebatang pohon rindang di padang kemarau zaman
menggelantung bunga bersama prenjak bersarang di teduh daunmu
metamorfosis kehidupan kan berjalan lalui waktu
bersama angin aku sibak perlahan hatimu
merapat pada cabang ranting dan daun tuk sentuh mimpiku
hingga waktu tanggalkan jubah musim berlalu
hanya pada langkah dan jalin jemarimu
kutahu di kedua matamu sekelebat kasih memudar
sesakkan dada di setiap musim dan mimpi-mimpiku
Saturday, September 1, 2012
Rindu dan Luka
Kerinduan adalah luka
Luka berselimut sutera
mimpi rebah di atas sayap kupu-kupu
berpendar di sapu angin prahara hati
kerinduan adalah luka
mimpi rebah di atas sayap kupu-kupu
berpendar di sapu angin prahara hati
kerinduan adalah luka
ego butakan hatimu
kau lupakan logika
emosi kau selubungkan pada catatan indah itu
Kerinduan adalah luka
pada entah kini berharap
pada entah kini menatap
pada rindu berharap luka membiru
Sunday, August 19, 2012
"Kak, Tisna Pengen Lebaran"
Angin masih saja dingin menusuk pori-pori, malam ini tidak seperti malam sebelumnya. Padat Lalu lintas semakin menjadi. Ini malam ke 28 Ramadhan puncak pemudik mulai memasuki wilayahku. Seperti tahun-tahun sebelumnya aku piket di posko lebaran.
Lengang tak pernah hadir sedikit pun dari deretan dan sorotan lampu mobil dan motor serta klaskson pembagian tim pun dilaksanakan, satu tim menuju ke stasiun weleri dan satu tim tetap standby di Posko PMI.
"Kak kami berangkat dulu, semangat pagi!!!"
"Okey Semangat pagi selamat bertugas!!"
Mereka pun berlalu meninggalkan kami di posko, serombongan dengan ambulace perlahan tinggalkan PMI. Sesaat kuingat senyum mereka dengan penuh semangat wajah-wajah remaja yang meluangkan waktu demi kemanusiaan. Sangatlah membanggakan diantara ribuan warga masih ada remaja yang peduli pada sesama dengan berkorban meninggalkan keluarga dan kesibuka di rumah menjelang lebaran.
Waktu menunjukkan pukul 23.45 beberapa teman minta ijin untuk istrihat dengan harapan bergantian piket saat dua jam berikutnya. aku duduk memandang jalan yang semakin padat. Beberapa pemudik berhenti dan minta ijin beristirahat. Lima orang dengan motor ber plas AD berhenti dan langsung lelap di tenda peristirahatan. Perlahan berhenti mobil sedan dengan rombongan keluarga kecil pun menumpang sekedar istirahat dan ke kamar mandi.
Kembali sepi sunyi suasana di Posko karena memang hanya aku yang terjaga, hanya bisa merenung dan berharap tidak ada kejadian apa-apa malam ini.
HPku bergetar ternyata ada informasi teman di status Facebooknya yang menyampaikan terjadi kemacetan panjang di jalur lingkar kaliwungu. Waktu menunjukkan pukul 01.03, kupikir hanya kemacetan karena mobil padat dan jalur simpang yang menjadikan tersendat.
"Kalian stanby di posko, aku coba cek ke TKP ada kemacetan panjang"
"Siap Kak..!!"
Kupacu dengan lumayan cepat karena memang ada celah. sampai di 6 Km menjelang titik kemacetan kulihat deretan mobil panjang mengular berhenti tanpa bergerak. Meraung sirene mobil patroli melewatiku dengan cepat disusul beberapa mobil ambulance. Feelingku mulai berkata bahwa ada kejadian hebat di depan.
Tanpa pikir panjang aku ambil jalur berlawanan ketika ada ambulance kembali meraung kuikuti hingga dalam waktu singkat aku bisa mencapai titik lokasi kejadian. Subhanallah kulihat Bus besar melintang di jalur yang salah sementara sebuah minibus APV ringsek bagian depan dan kudengar jerit tangis, ternyata sebuah minibus L300 teronggok di bawah jalan dengan ringsek 90%. Segera aku minta ijin ke petugas untuk bergabung dengan Tim PMI lain serta SAR yang lebih dulu sampai di lokasi.Kebetulan lokasi kejadian berada pada are perbatasan dua wilayah kabuaten dan kotamadya,
Empat orang terlihat bergelimpangan di dalam mobil yang dipenuhi dengan tas dan bawaan mudik mereka. Tiada gerakkan sedikit pun dari mereka, kulayangkan pandangan pada seorang gadis kecil sekitar 2 tahun usianya yang merintih kesakitan karena kepala dan dadanya mengucurkan darah. tanpa kusangka ada seorang penumpang yang masih sadar merangka keluar dari mobil yang ringsek itu.
"Tisna, Kamu gak papa?"
"Pak dhe Tisna Ngantuk..."
hanya itu jawaban yang terucap, kemudian gadis itu pun lunglai dalam dekapan pakdhenya.
"Angkat segera bawa ke Rumah sakit"
"Siap.."
Kunaikkan ke tandu ambulance dan segera meraung memecah pagi yang purba menjelang sahur di malam ke 28 ramadhan.
"Kak, Tisna Pengen Lebaran...." tiba-tiba terjaga
"Iya, Tisna sudah sampai kan, sebentar lagi pakai baju baru" kucoba hibur dia.
Terlihat tanpa kesakitan sedikit pun gadis kecil itu memandangiku tanpa bicara, entah paham apa yang terjadi atau shock hebat yang melanda dirinya. Kututup perdarahan yang mulai berkurang rembesan darahnya, dan ku cek seluruh tubuhnya adakah luka lain yang perlu ditangani. Ambulan semakin kencang menuju RS.
"Kak, Tisna Pengen lebaran...."
"Iya Tisna, Tisna sabar ya...."
"Kak Ayah dan Ibu Mana? kok gak ikut di sini...?"
"Ayah Ibumu nanti menyusul Tisna.."
Kujawab sekenanya karena tak mungkin kuberitahukan bahwa ayah dan ibunya sudah tidak lagi bernyawa di kursi belakang yang hancur.
"Kak, tolong bilang Ayah Ibu Tisna Minta maaf, Tisna pengen pakai Baju baru kak, Tas Tisna mana Kak...?"
"Iya Tisna nanti bila sudah sampai tisna ganti baju baru ya.."
"Kak, Tisna pengen Lebaran..."
Raungan ambulance melemah dan memasuki area UGD, segera perawat menyambut kami dengan sigap memindahkan tisna ke ruang penanganan. Kucuci tangan dan bersihkan beberapa percikan darah yang menempel. Terngiang dengan jelas permintaan Tisna yang selalu diucapnya selama perjalanan menuju RS.
Ambulance meninggalkanku karena harus menjemput korban berikutnya. Aku putuskan ikut ambulance berikutnya untuk kembali ke lokasi karena memang harus cepat kembali.
Lima Menit berlalu Pintu UGD terbuka dan seorang perawat keluar dan membersihkan diri.
"Mas, Kecelakaannya di mana? apa begitu mengerikan kondisi mobilnya?"
"Iya mas...." kujawab sekenanya karena aku curiga dengan wajah perawat tersebut.
"Terimakasih Mas, kita bagian dari orang-orang yang berusaha menyelamatkan sesama tapi Allah berkehendak lain terhadap hambanNya.Kami sudah berusaha tapi luka terlalu parah dan gadis kecil itu tidak dapat kami selamatkan"
Inalillahi Wainnalillahi Rojiun. Hanya itu yang bisa kurapal dari bibirku tanpa terucap.
"Kak, Tisna pengen Lebaran....." kembali mengiang di telingaku
Meraung dua ambulance memasuki area UGD dan keluarlah dua jenazah dipindahkan ke ruang perawatan, menyusul Tisna, hanya kuberharap semoga mereka orang tua Tisna, sehingga keinginan untuk berlebaran bersama kedua orang tuanya terkabul di ruang ini.
"Ayo kembali ke lokasi masih ada 3 jenazah lagi"
Aku hanya berjalan menuju ambulance tanpa menjawab ajakan mereka, kududuk tanpa bicara, terbayang derita Tisna, tanpa mengeluh sakit ia jalani takdir yang harus dijalani sebelum sampai kampung halaman untuk berlebaran.
Sirine kembali meraung agar diberi jalan tuk cepat mencapai lokasi.
"Kak, Tisna pengen Lebaran..."
"Maafkan Kakak, Tisna. Kakak tidak bisa mencarikan Baju barumu karena kakak tidak tahu dimana tas kamu"
Kaliwungu
17 Agustus 2012 (01.35 WIB)
Lengang tak pernah hadir sedikit pun dari deretan dan sorotan lampu mobil dan motor serta klaskson pembagian tim pun dilaksanakan, satu tim menuju ke stasiun weleri dan satu tim tetap standby di Posko PMI.
"Kak kami berangkat dulu, semangat pagi!!!"
"Okey Semangat pagi selamat bertugas!!"
Mereka pun berlalu meninggalkan kami di posko, serombongan dengan ambulace perlahan tinggalkan PMI. Sesaat kuingat senyum mereka dengan penuh semangat wajah-wajah remaja yang meluangkan waktu demi kemanusiaan. Sangatlah membanggakan diantara ribuan warga masih ada remaja yang peduli pada sesama dengan berkorban meninggalkan keluarga dan kesibuka di rumah menjelang lebaran.
Waktu menunjukkan pukul 23.45 beberapa teman minta ijin untuk istrihat dengan harapan bergantian piket saat dua jam berikutnya. aku duduk memandang jalan yang semakin padat. Beberapa pemudik berhenti dan minta ijin beristirahat. Lima orang dengan motor ber plas AD berhenti dan langsung lelap di tenda peristirahatan. Perlahan berhenti mobil sedan dengan rombongan keluarga kecil pun menumpang sekedar istirahat dan ke kamar mandi.
Kembali sepi sunyi suasana di Posko karena memang hanya aku yang terjaga, hanya bisa merenung dan berharap tidak ada kejadian apa-apa malam ini.
HPku bergetar ternyata ada informasi teman di status Facebooknya yang menyampaikan terjadi kemacetan panjang di jalur lingkar kaliwungu. Waktu menunjukkan pukul 01.03, kupikir hanya kemacetan karena mobil padat dan jalur simpang yang menjadikan tersendat.
"Kalian stanby di posko, aku coba cek ke TKP ada kemacetan panjang"
"Siap Kak..!!"
Kupacu dengan lumayan cepat karena memang ada celah. sampai di 6 Km menjelang titik kemacetan kulihat deretan mobil panjang mengular berhenti tanpa bergerak. Meraung sirene mobil patroli melewatiku dengan cepat disusul beberapa mobil ambulance. Feelingku mulai berkata bahwa ada kejadian hebat di depan.
Tanpa pikir panjang aku ambil jalur berlawanan ketika ada ambulance kembali meraung kuikuti hingga dalam waktu singkat aku bisa mencapai titik lokasi kejadian. Subhanallah kulihat Bus besar melintang di jalur yang salah sementara sebuah minibus APV ringsek bagian depan dan kudengar jerit tangis, ternyata sebuah minibus L300 teronggok di bawah jalan dengan ringsek 90%. Segera aku minta ijin ke petugas untuk bergabung dengan Tim PMI lain serta SAR yang lebih dulu sampai di lokasi.Kebetulan lokasi kejadian berada pada are perbatasan dua wilayah kabuaten dan kotamadya,
Empat orang terlihat bergelimpangan di dalam mobil yang dipenuhi dengan tas dan bawaan mudik mereka. Tiada gerakkan sedikit pun dari mereka, kulayangkan pandangan pada seorang gadis kecil sekitar 2 tahun usianya yang merintih kesakitan karena kepala dan dadanya mengucurkan darah. tanpa kusangka ada seorang penumpang yang masih sadar merangka keluar dari mobil yang ringsek itu.
"Tisna, Kamu gak papa?"
"Pak dhe Tisna Ngantuk..."
hanya itu jawaban yang terucap, kemudian gadis itu pun lunglai dalam dekapan pakdhenya.
"Angkat segera bawa ke Rumah sakit"
"Siap.."
Kunaikkan ke tandu ambulance dan segera meraung memecah pagi yang purba menjelang sahur di malam ke 28 ramadhan.
"Kak, Tisna Pengen Lebaran...." tiba-tiba terjaga
"Iya, Tisna sudah sampai kan, sebentar lagi pakai baju baru" kucoba hibur dia.
Terlihat tanpa kesakitan sedikit pun gadis kecil itu memandangiku tanpa bicara, entah paham apa yang terjadi atau shock hebat yang melanda dirinya. Kututup perdarahan yang mulai berkurang rembesan darahnya, dan ku cek seluruh tubuhnya adakah luka lain yang perlu ditangani. Ambulan semakin kencang menuju RS.
"Kak, Tisna Pengen lebaran...."
"Iya Tisna, Tisna sabar ya...."
"Kak Ayah dan Ibu Mana? kok gak ikut di sini...?"
"Ayah Ibumu nanti menyusul Tisna.."
Kujawab sekenanya karena tak mungkin kuberitahukan bahwa ayah dan ibunya sudah tidak lagi bernyawa di kursi belakang yang hancur.
"Kak, tolong bilang Ayah Ibu Tisna Minta maaf, Tisna pengen pakai Baju baru kak, Tas Tisna mana Kak...?"
"Iya Tisna nanti bila sudah sampai tisna ganti baju baru ya.."
"Kak, Tisna pengen Lebaran..."
Raungan ambulance melemah dan memasuki area UGD, segera perawat menyambut kami dengan sigap memindahkan tisna ke ruang penanganan. Kucuci tangan dan bersihkan beberapa percikan darah yang menempel. Terngiang dengan jelas permintaan Tisna yang selalu diucapnya selama perjalanan menuju RS.
Ambulance meninggalkanku karena harus menjemput korban berikutnya. Aku putuskan ikut ambulance berikutnya untuk kembali ke lokasi karena memang harus cepat kembali.
Lima Menit berlalu Pintu UGD terbuka dan seorang perawat keluar dan membersihkan diri.
"Mas, Kecelakaannya di mana? apa begitu mengerikan kondisi mobilnya?"
"Iya mas...." kujawab sekenanya karena aku curiga dengan wajah perawat tersebut.
"Terimakasih Mas, kita bagian dari orang-orang yang berusaha menyelamatkan sesama tapi Allah berkehendak lain terhadap hambanNya.Kami sudah berusaha tapi luka terlalu parah dan gadis kecil itu tidak dapat kami selamatkan"
Inalillahi Wainnalillahi Rojiun. Hanya itu yang bisa kurapal dari bibirku tanpa terucap.
"Kak, Tisna pengen Lebaran....." kembali mengiang di telingaku
Meraung dua ambulance memasuki area UGD dan keluarlah dua jenazah dipindahkan ke ruang perawatan, menyusul Tisna, hanya kuberharap semoga mereka orang tua Tisna, sehingga keinginan untuk berlebaran bersama kedua orang tuanya terkabul di ruang ini.
"Ayo kembali ke lokasi masih ada 3 jenazah lagi"
Aku hanya berjalan menuju ambulance tanpa menjawab ajakan mereka, kududuk tanpa bicara, terbayang derita Tisna, tanpa mengeluh sakit ia jalani takdir yang harus dijalani sebelum sampai kampung halaman untuk berlebaran.
Sirine kembali meraung agar diberi jalan tuk cepat mencapai lokasi.
"Kak, Tisna pengen Lebaran..."
"Maafkan Kakak, Tisna. Kakak tidak bisa mencarikan Baju barumu karena kakak tidak tahu dimana tas kamu"
Kaliwungu
17 Agustus 2012 (01.35 WIB)
Friday, July 27, 2012
Pada Pagi Prematur
Friday, July 13, 2012
Pada Sayap Kunang-kunang
Tuesday, July 10, 2012
Adalah Luka
langit biru pucat merona
kelabu temaram tanpa purnama
luka abadi bersemayam menggema
riuhkan teriakkan rindu dalam gigil kemarau
pada pasir kutorehkan kata
biar angin singkirkan eja tanpa makna tersisa
pada batu pun tak pernah membekas
entah pada apalagi kan kuungkap luka
ada luka pada rasa menyesak
memboreh, mengoyak hati
luka menganga tanpa sempat kuraba
kelabu temaram tanpa purnama
luka abadi bersemayam menggema
riuhkan teriakkan rindu dalam gigil kemarau
pada pasir kutorehkan kata
biar angin singkirkan eja tanpa makna tersisa
pada batu pun tak pernah membekas
entah pada apalagi kan kuungkap luka
ada luka pada rasa menyesak
memboreh, mengoyak hati
luka menganga tanpa sempat kuraba
Thursday, July 5, 2012
Purnama Menepi
resah menelisik di lorong jiwa
sepi penjarakan ruang asa ditiap perjalanan malam
persemayaman t'lah kau hadirkan
gundukan tanah merah t'lah kau tutupkan
belati kau tancapkan bak nisan
kosong kembali hampa
embun tak jawab ketika kutanya
selalu saja ada api ditiap siraman kesejukkan yang kuhadirkan
bagai berpijak pada ngarai terjal dalam lembaran karpet berbusa
mengambang di atas persemayaman rasa
Sunday, July 1, 2012
Akankah Sempurna Purnamaku Esok
Purnama belumlah sempurna
bulan separoh mengambang tanpa makna
aku titipkan pada sajakku
mungkinkah rembulan kan bawa pelangi?
ingin aku bertengger di sayap kupu-kupu putih
hingga kutemui kamu di purnama sempurna esok
kuukir kembali remah-remah berserak
berharap tersketsa wajahmu hadir
seperti kepiting kecil berlari sembunyi di batu-batu
terhempas ombak masih saja bercengkerama denganku
aku melangkah cari secuil rembulan
agar sempurna purnamaku esok
dan kubawa kembali kamu dalam tiap makna sajakku
bulan separoh mengambang tanpa makna
aku titipkan pada sajakku
mungkinkah rembulan kan bawa pelangi?
ingin aku bertengger di sayap kupu-kupu putih
hingga kutemui kamu di purnama sempurna esok
kuukir kembali remah-remah berserak
berharap tersketsa wajahmu hadir
seperti kepiting kecil berlari sembunyi di batu-batu
terhempas ombak masih saja bercengkerama denganku
aku melangkah cari secuil rembulan
agar sempurna purnamaku esok
dan kubawa kembali kamu dalam tiap makna sajakku
Thursday, June 28, 2012
Ini tentang Rindu dan Belati
Menelusup riuh dalam pori-pori kulitku
kerinduan lambat laun mempurba
seperti gurindam XII jarang termaknai saat ini
berkali dentingan puitis lirih rapal namamu
berkali tatapan ini kosong pandang bayangmu
tapi selalu belati yang muncul
sayat rindu hingga luka kembali menganga
menelusup riuh dalam pori-pori kulitku
kerinduan yang lambat laun mempurba
bulan masih redup seperti malam-malam lalu, pucat
tak jua purnama menjemput
ini tentang rindu luruh tenggelam dalam sepi
entah apa arti makna tatapanmu,
entah apa arti genggaman jemarimu
entah apa arti senyum indahmu
bila belati selalu saja sayat rindu hingga luka kembali
kerinduan lambat laun mempurba
seperti gurindam XII jarang termaknai saat ini
berkali dentingan puitis lirih rapal namamu
berkali tatapan ini kosong pandang bayangmu
tapi selalu belati yang muncul
sayat rindu hingga luka kembali menganga
menelusup riuh dalam pori-pori kulitku
kerinduan yang lambat laun mempurba
bulan masih redup seperti malam-malam lalu, pucat
tak jua purnama menjemput
ini tentang rindu luruh tenggelam dalam sepi
entah apa arti makna tatapanmu,
entah apa arti genggaman jemarimu
entah apa arti senyum indahmu
bila belati selalu saja sayat rindu hingga luka kembali
Tuesday, June 26, 2012
Pada Malam Bulan Separuh
malam masih sisakan kekuatan matahari senja yang lalu
malam simpan rapat tatapan korneamu, hingga serupa cerpin dalam korneaku
malam angkuh dalam pekat, remah-remah bulan separuh tersenyum
ingatan tentang senja kembali menggema tiba-tiba terputar kembali
walau rintik satu-satu pelangikan langitku
jejakmu kian jelas tapaki alur setapak dalam irama sajakku
dalam buai sinar bulan separuh kau pun luruh
isyarat pada kata menuai makna puitis wajahmu
tersenyum dalam simpul indah di pipi ranumu
pada bulan separuh sajakku memanggilmu
pada bulan separuh hadirlah dalam rinduku
pada gigil daun pada ranting kutitipkan salam
malam simpan rapat tatapan korneamu, hingga serupa cerpin dalam korneaku
malam angkuh dalam pekat, remah-remah bulan separuh tersenyum
ingatan tentang senja kembali menggema tiba-tiba terputar kembali
walau rintik satu-satu pelangikan langitku
jejakmu kian jelas tapaki alur setapak dalam irama sajakku
dalam buai sinar bulan separuh kau pun luruh
isyarat pada kata menuai makna puitis wajahmu
tersenyum dalam simpul indah di pipi ranumu
pada bulan separuh sajakku memanggilmu
pada bulan separuh hadirlah dalam rinduku
pada gigil daun pada ranting kutitipkan salam
Saturday, June 23, 2012
Lara dalam Labirin Hati
Lara tengah berkuasa di labirin hati
kekaburan makna tersisa dari sebuah elegi kejujuran semu
tiada terucap, tiada terbayang wajah dari sekeping cermin
berlalu genggam senyum dibibirmu
dinding-dinding sajakku terukir sayatan kata
tajam meluluhkan keindahan lalu
lembar-lembar sajak t'lah banyak kupas meretas dalam bilik kita
sajak bukanlah kertas lemah kan robek tertetes airmata
sajak ini kan abadi terkubur tanpa batu nisan
sekerat duka membiru memar luka meradang
tenggelam dalam duka mengeram menghentikan tarian puitis bibirmu
melenggang tanpa menoleh kau titipkan dukamu abadi
kekaburan makna tersisa dari sebuah elegi kejujuran semu
tiada terucap, tiada terbayang wajah dari sekeping cermin
berlalu genggam senyum dibibirmu
dinding-dinding sajakku terukir sayatan kata
tajam meluluhkan keindahan lalu
lembar-lembar sajak t'lah banyak kupas meretas dalam bilik kita
sajak bukanlah kertas lemah kan robek tertetes airmata
sajak ini kan abadi terkubur tanpa batu nisan
sekerat duka membiru memar luka meradang
tenggelam dalam duka mengeram menghentikan tarian puitis bibirmu
melenggang tanpa menoleh kau titipkan dukamu abadi
Jerit Luka pada Kata
Dalam bilik hatiku tersimpan sajak dukamu
duka di sepanjang musim penantianmu
kusimpan kata-kata dalam sajakku
jerit-jerit kata terluka kian mengeras
sayatkan perih tiap maknai lagi kenangan lalu
berharap kau temukan makna sajak dukaku
biarlah kusimpan dalam
kedalaman rasa, dan
pada gugat gaguku batu membisu
duka di sepanjang musim penantianmu
kusimpan kata-kata dalam sajakku
jerit-jerit kata terluka kian mengeras
sayatkan perih tiap maknai lagi kenangan lalu
berharap kau temukan makna sajak dukaku
biarlah kusimpan dalam
kedalaman rasa, dan
pada gugat gaguku batu membisu
Wednesday, June 20, 2012
Gerimis Luka
Gerimis satu-satu merentas luka
perih dan menganga
gerimis tak seindah senja yang lalu
kurangkai gerimis tuk sketsakan wajahmu
tapi, serangkai kata t'lah buyarkan lukisan puitisku
kupeluk gerimis agar kau menjelma
tapi, berhamburan luka semakin menganga
tak lagi kulihat bayangmu di sela-sela awan berarak
apalagi tuk temukan dekik pipimu
sekerat rindu terkulai lemah
asa kerinduan berbuah manis t'lah pahit tersaji
menggelepar dalam karat yang berkerak
nanar padangku terhimpit gerimis luka
terhempas berselimut bara
sekerat kerinduan terbang tinggal luka terperi
terhujam gerimis kata dalam sajak duka
perih dan menganga
gerimis tak seindah senja yang lalu
kurangkai gerimis tuk sketsakan wajahmu
tapi, serangkai kata t'lah buyarkan lukisan puitisku
kupeluk gerimis agar kau menjelma
tapi, berhamburan luka semakin menganga
tak lagi kulihat bayangmu di sela-sela awan berarak
apalagi tuk temukan dekik pipimu
sekerat rindu terkulai lemah
asa kerinduan berbuah manis t'lah pahit tersaji
menggelepar dalam karat yang berkerak
nanar padangku terhimpit gerimis luka
terhempas berselimut bara
sekerat kerinduan terbang tinggal luka terperi
terhujam gerimis kata dalam sajak duka
Monday, June 18, 2012
Sepucuk Kata di Penghujung Eja
Kesendirian berselimut pekat
lelah merayap perlahan, sepi ....
hanya pada sajak aku bertutur
berimajinasi, bercengkerama pada makna hati
luka, duka, sepi mengoyak lelah
sepucuk kata di penghujung eja.
Seperti memandang bulan berkabut tak bersuara
angkuh dalam kepucatan luka
perlahan tangisan puitis membayang,
hanya pada bait kembali aku bertutur
lelah merayap perlahan, sepi ....
hanya pada sajak aku bertutur
berimajinasi, bercengkerama pada makna hati
luka, duka, sepi mengoyak lelah
sepucuk kata di penghujung eja.
Seperti memandang bulan berkabut tak bersuara
angkuh dalam kepucatan luka
perlahan tangisan puitis membayang,
hanya pada bait kembali aku bertutur
Sunday, June 17, 2012
Masihkah Kita di Sana
Terdiam (aku) sendiri
kulayangkan angan membuka apa yang sudah terlewati
(kita) mungkinkah masih di sana
Senja ini tergelar begitu gamblang (kita) t'lah toreh sajak indah
hanya (kita) yang dapat maknai dan terjemahkan sajak abstrak ini
kini berhelai-helai bab t'lah (kita) tulis
perih kadang tereguk dari secangkir pertengakaran
senyum kadang singkirkan perih dalam palung kepasrahan
senja ini aku kembali menyapamu
walau usang kan kembali redam bayang itu
Subscribe to:
Posts (Atom)